Mohon tunggu...
KOMENTAR
Analisis Pilihan

Akankah Polarisasi Itu Terus Berlanjut?

1 Juli 2019   22:44 Diperbarui: 1 Juli 2019   22:50 45 2
Paska keluarnya keputusan Mahkamah Kontitusi (MK) tentang sengketa pilpres 2019 seminggu lalu telah mengubah dinamika politik tanah air dan menampilkan wajah baru formulasi koalisi dan oposisi.

Kepastian secara hukum kemenangan Jokowi dan KH. Ma'ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih periode 2019-2024 pun telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) kemarin, Minggu, 30/6/2019.

Namun sengketa pemilu secara politik ternyata belum usai meskipun palu hakim MK sudah diketuk bagi Jokowi-Ma'ruf. Walau Prabowo-Sandi tidak melanjutkan tuntutan hukum ke tingkat lebih tinggi yaitu Mahkamah Internasional tapi "perlawanan" kubu ini belum selesai.

Rencana rekonsiliasi yang diwacanakan oleh pihak petahana pun tak kunjung terwujud karena berbagai kendala politik antara dua tokoh tersebut. Ketika ditanya ke Jokowi, ia katakan silakan tanyakan ke Prabowo Subianto. Sementara itu, sang mantan jenderal itu pun enggan menemui Jokowi sebab momentumnya belum tepat.

Akan tetapi sebenarnya momentum pertemuan dua politisi itu sangat tepat bila tidak dalam suasana politik. Sehingga bila kemarin Prabowo-Sandi tidak hadir di acara penetapan Jokowi-Ma'ruf sebagai pemenang pilpres oleh KPU sudah tepat. Namun jangan sampai ketidakhadiran mereka dibaca sebagai kebencian terhadap Jokowi.

Terlepas dari siapa menang dan kalah. Fenomena pecah belah ternyata masih terus berlangsung. Penolakan Cak Imin dan PKB terhadap kehadiran anggota koalisi baru Jokowi menandakan belum mencairnya semangat elit partai untuk rekonsiliasi.

Gejala tersebut merupakan upaya elit koalisi Jokowi untuk menghadang mantan sekutu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menikmati kekuasaan walau hanya katakanlah satu kursi menteri. Ironisnya setelah koalisi 02 dibubarkan mereka tidak malu-malu merapat ke Jokowi walau cenderung ditolak.

Polarisasi kian kentara terlihat mana kala Wasekjend Partai Demokrat Andi Arief mengeluarkan kalimat tidak etik dengan mengatakan ada dua partai yang terkucil. Maksud Andi Arief barangkali jika Demokrat tidak masuk ke istana maka akan menjadi partai yang terkucil.

Pernyataan Andi Arief tersebut merupakan bentuk polarisasi politik pada tingkat partai. Dia menunjukkan kepada publik partai yang tidak ikut dalam pemerintahan lalu akan terisolasi. Dan lebih mengkuatirkan lagi bila Andi Arief menganggap oposisi sebagai musuh politik negara.

Padahal seorang tokoh politik nasional mengatakan baik didalam maupun diluar pemerintahan sama mulianya bila itu memperjuangkannya kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Lalu jika itu semangat yang diusung oleh sebagai partai politik untuk tetap bertahan diluar pemerintahan, mengapa harus harus ada yang terkucil? Mestinya mereka terhormat.

Sejatinya Andi Arief tidak perlu bersusah payah untuk menciptakan berbagai statement politik kontroversi ketika MK telah berusaha meredam semua ganjang-ganjing pilpres yang telah menguras energi besar. Selayaknya Andi Arief berterima kasih seperti AHY ucapkan untuk Prabowo-Sandi.

Meskipun gaya politik AHY yang juga lebih mementingkan eksistensi dirinya dan partai demokrat namun komunikasi politiknya terlihat manis. Jika pun ada yang menilai AHY sebagai tokoh muda politisi Indonesia yang plin plan, namun itulah politik.

Menurut pengamatan sejumlah pengamat politik kelas kedai kopi mengatakan polarisasi yang sudah menemukan tempatnya selama pemilu 2014 dan 2019 akan terus berlangsung dan dipelihara demi keuntungan politik 2024. Namu isunya begeser secara tajam ke isu agama, nasionalisme, dan radikalisme.

Labeling terhadap kelompok dan individu yang memiliki pengaruh besar dalam satu komunitas tertentu akan semakin laris dan sering digunakan sepanjang 5 tahun kedepan. Misalnya kelompok makar, terorisme, dan liberalisme akan terus dipertentangkan.

Barangkali dan mungkin tidak diragukan lagi bila Prabowo Subianto-Sandiaga Uno gagal mencapai kesepakatan rekonsiliasi dengan penguasa maka mereka akan menjadi sasaran tertuduh atas berbagai peristiwa yang bakal terjadi. Mereka akan tersudutkan dengan berbagai framing yang diciptakan oleh kelompok yang takut pada mereka.

Inilah puncak polarisasi dikembangkan. Meski bukan lagi terbelah pada kubu 01 dan 02 namun pengkotak-kotakkan akan terus berlangsung sebagaimana terlihat pada masa pemilu. Capnya boleh apa saja. Yang jelas siapa saja pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno maka akan disebut sebagai "ekstrimis". Kata teman pengamat politik kelas kedai kopi itu.

Lantas bagaimana? Kita sedang menanti sambil melihat situasi politik yang terus berkembang dari hari ke hari. Terutama soal anggota koalisi baru Jokowi yang akan merapat. Akankah Partai Demokrat dan PAN akan ikut menikmati kekuasaan presiden yang ditentangnya sendiri selama 8 bulan yang lalu? Akankah pula koalisi Jokowi ikhlas membuka pintu bagi AHY dan Faldo Maldini?

Yang perlu diwaspadai oleh bangsa Indonesia saat ini adalah meningkatnya benturan dan gesekan antar umat beragama. Baik sesama satu keyakinan maupun beda keyakinan. Benturan ini dapat meningkatkan polarisasi kian menajam. Konon lagi bila aparat penegak hukum tidak mampu memberikan rasa aman dan rasa adil bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa membeda-bedakan SARA. (*)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun