Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Memakrifati Makna Pahlawan

10 November 2011   22:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:49 608 0

Judul Buku      : Senopati Pamungkas

Penulis             : Arswendo Atmowiloto

Penerbit           : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Terbit           : 2010

Isi 5 Jilid         : 580 + 580 + 568 + 552 + 552 Halaman

Harga              : 375.000,-

Beberapa waktu lalu, saya mengkhatamkan pembacaan novel silat mahatebal; Senopati Pamungkas. Tahun 2004, novel ini pernah terbit dalam format dwilogi. Tahun 2010, dalam format pancalogi plus cover dan kemasan baru, novel ini hadir kembali. Tentu masih dengan kekuatan narasi dan kenakalan logika pengarangnya, Arswendo Atmowiloto, yang berserakan di setiap halaman. Kekuatan lain novel ini ada dalam pembuatan nama dan karakter tokoh-tokohnya, deskripsi geografis sebuah wilayah, dan deskripsi detail Keraton Majapahit lengkap hingga pendopo, bangsal, hingga gua bawah tanahnya.

Dengan menjadikan masa Kerajaan Singosari dan Kerajaan Majapahit sebagai latar cerita, Arswendo mengajak pembaca untuk mengenal watak agung para leluhur nusantara (Jawa), telatah yang sejak dulu tercatat sebagai negeri berperadaban besar. Ia juga tak alpa memperdengarkan bunyi intrik politik yang lazim terjadi dalam sejarah sebuah kerajaan besar. Soalnya, dalam realitas politik Indonesia saat ini, bunyi itu kembali terdengar terus berdering. Dari sanalah keculasan, kepongahan, serta nafsu duniawi yang membalung-sumsum di dalam diri hampir seluruh manusia politik di negeri ini bermoyang.

Terkait Hari Pahlawan, 10 November, yang lazim diperingati oleh bangsa Indonesia, saya merasa novel ini cocok dibaca untuk memakrifati hal-ihwal apa dan siapa itu pahlawan. Novel ini kembali menjadi penting ketika kian hari bangsa ini hidup dalam dunia yang bertabur nama para pahlawan. Bahkan akhir-akhir ini tak sedikit tuntutan akan penetapan status pahlawan untuk beragam tokoh. Memang, sampai kapanpun, manusia membutuhkan pahlawan. Terutama karena kisah-kisah kepahlawanan selalu sarat kabar tentang keluhuran dan keagungan. Seperti yang tersirat dari sifat kepahlawanan tokoh utama novel ini, Upasara Wulung. Ada beberapa hal penting yang saya catat dari sana.

Karakter Pahlawan

Pertama, seorang pahlawan adalah sosok yang telah memahami inti kehidupan, yaitu sikap pasrah. Nihilnya tabiat pasrah-diri akan menyuruk manusia ke dalam kubangan kesesatan materialisme duniawi. Tak hanya itu, untuk menutup kesesatannya, ia akan rajin membangun citra diri. Padahal di dalam hidup, tak penting harta-benda dan jabatan. Sebagaimana tak perlu kepintaran dan kepandaian. Yang terpenting adalah laku pasrah (sumarah). Bukan pikiran dan bukan pula perasaan yang utama (Jilid I, hal. 457). Keduanya hanya tipuan dunia. Apa yang ada tinggal dijalani saja.

Inilah ciri-ciri seorang pahlawan. Ia tak tersangkut oleh materialisme duniawi. Detak-detik pikir, tindak, dan rasanya hanya ditujukan untuk memetik kerelaan (ridho) Tuhan. Bila ia telah tiada, keluarga besar sang pahlawan pasti tak mau barang selangkahpun untuk mem-pahlawan-kannya. Meski jasanya memang besar. Baik untuk masyarakatnya. Bahkan untuk bangsa dan negaranya.

Itu semua tampak di dalam diri Upasara Wulung, sang tokoh utama novel ini. Sejak kecil hingga tahun keduapuluh usianya, ia digembleng oleh Ngabehi Pandu di Ksatrian Pingitan, yaitu padepokan untuk mencetak kesatria terbaik di zaman Singosari. Selama itu ia hanya memahami ilmu silat. Berbagai jurus dan ilmu kanuragan habis dilumatnya. Tak terkecuali Kitab Bumi (Bantala Parwa) dan Kitab Penolak Bumi (Tumbal Bantala Parwa), dua kitab babon ilmu silat dan kanuragan di tanah Jawa.

Suatu ketika Upasara bersabung dengan jago silat senior, Ugrawe, abdi setia Jayakatwang, dan Kyai Sangga Langit, jago silat dari negeri Tartar yang memihak Jayakatwang. Ia terpojok. Tepat saat kematian akan menjemputnya, ia memasrahkan diri. Ajaib! Tiba-tiba ia memainkan Ilmu Tepukan Satu Tangan yang bunyinya terdengar seperti tepukan dua tangan, yaitu ilmu tingkat tinggi yang hanya dikuasai oleh tokoh legendaris yang telah moksa, Eyang Sepuh. Padahal ia belum pernah mempelajari ilmu itu.

Ugrawe dan Kyai Sangga Langit bertekuk-lutut. Seluruh pendekar berdecak-kagum. Di bagian akhir cerita, saat para pendekar tanah Jawa ditaklukkan oleh putra mahkota Kerajaan Tartar, Pangeran Sang Hiang dengan laskar barisan apinya, Upasara tampil sebagai juru selamat. Setelah gagal meladeni Upasara dengan jurus-jurus khas negerinya, Pangeran Hiang akhirnya mengaku kalah. Lebih dari itu, ia bahkan meminta Upasara untuk sudi diangkat menjadi saudaranya.

Kedua, perubahan sejati tak akan pernah terjadi kecuali hanya jika diaktori oleh kaum lemah-jelata yang telah sampai pada maqom kesempurnaan rasa tulus. Mereka telah mati sebelum mati. Karena itu, mereka menjadi wadah titah Tuhan di dunia. Bukan kaum elit yang di sini disimbolkan oleh Mpu Sora, Mpu Renteng, Senopati Anabrang, Patih Nambi, dan Dyah Halayudha. Sebab mereka hanyalah segerombol begundal kekuasaan. Meski mereka mahir ilmu silat dan tergolong cempiang dalam olah ketatanegaraan. Kaum lemah-jelata yang telah men-tulus-kan hatinya yang berulangkali disebut dalam jilid III & IV novel ini sebagai mahamanusia itulah yang nanti akan memimpin perubahan.

Tak salah jika maqom tokoh utama dalam novel ini diduduki oleh Upasara Wulung yang tak jelas asal, nasab, dan silsilahnya, namun memiliki ketulusan suwita (pengabdian) pada kemanusiaan. Demi kepentingan negara, rasa cintanya pada Gayatri, putri Kertanegara, Raja Singosari, pun ia korbankan. Walau ia tahu apa yang disebut “kepentingan negara” tak lebih hanya sepicis kepentingan pribadi Sang Raja dan para pembantunya yang -celakanya- diaminkan oleh para pandita dan cerdik-cendikia. Dapat ditebak, Upasara menyingkir tepat sebelum Sang Raja berniat menyingkirkannya.

Ketiga, uraian ihwal keberadaan Perguruan Awan sungguh amat menohok pakem positivistik cum feodalistik lembaga pendidikan. Jika selama ini lembaga pendidikan identik dengan keberadaan guru dan murid, dengan menghadirkan profil Perguruan Awan di novel ini, tertib seperti itu diruntuhkan habis-habisan. Sebab di Perguruan Awan tak ada guru. Tak ada murid. Tak ada yang menggurui. Tak ada yang memuridi. Jika pun ada guru, maka semua adalah guru bagi semua. Jika pun ada murid, maka semua adalah murid bagi semua.

Pemerdekaan manusia, independensi diri, dan kreatifitas nirbatas mutlak dikedepankan dan ditekankan kepada semua murid. Siapa saja boleh keluar-masuk perguruan yang berlokasi di hutan itu. Siapapun (di)bebas(kan) untuk mencipta ilmu, mengembangkannya, lalu menyebarkannya secara cuma-cuma. Begitulah seharusnya dunia pendidikan kita ditata. Agar setiap hari akan lahir seorang pahlawan tanpa mengalami sumbatan kehidupan. Karena itu kiranya para pendidik dan pengelola lembaga pendidikan di Indonesia perlu membaca novel ini.

Orang-orang salah

Hemat saya, hanya ada beberapa novel saja yang setanding dengan novel ini. Di antaranya Mushashi (PT. GPU, 2002) karya Eiji Yoshikawa dan Nagabumi I & II (PT. GPU, 2009 & 2011) karya Seno Gumira Ajidarma. Sayang, novel ini tak cukup cakap dalam disiplin deskripsi waktu. Tak dibilang pula berapa usia berjibun tokoh-tokohnya yang terkadang kerap menginterupsi kelancaran arus cerita. Lalu persejiwaan “yang sejarah” dan “yang fiksi” terasa mengacaukan pelajaran sejarah yang ada di otak saya.

Tapi bagi masyarakat pendamba perubahan serta bagi siapa saja yang ingin mendapatkan pencerahan ihwal apa atau siapa itu pahlawan, novel Senopati Pamungkas ini penting untuk dibaca dan dicamkan. Bahwa tugas pahlawan adalah meluruskan sejarah. Setelah itu, ia akan terbuang –dan bahkan dibuang. Sebab sejarah yang baru saja ia luruskan adalah jatah bagi orang-orang salah yang rajin bersolek hingga tampak selayak orang-orang saleh.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun