Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Aku Bukan Pelakor

15 September 2019   17:41 Diperbarui: 15 September 2019   17:55 58 8
"Rin, kamu di mana?"

"Lagi di rumah tapi masih ke toko bentar, sampean jadi ke rumah?"

"Iya mau mampir sebentar boleh?"

"Dengan senang hati, aku tunggu ya."

Wanita cantik itu sudah sampai di depan rumahku, pintu pagar yang sudah karatan kubuka berderit sedikit memekakkan telinga.

"Masuk mbak."

"Aku mau minta tolong, temani aku merias Rabu besok, bisa?"

"Aku cuma bisa pagi saja."

"Baik tak masalah. Nanti kakakku jemput kamu ya."

Aku mengangguk. Kami ngobrol sebentar tak lebih dari lima belas menit. Mbak Ayu pun pamit.

Mbak Ayu tukang rias pengantin, aku mengenalnya waktu ada pelatihan sebuah produk kecantikan, aku bukan profesional hanya sekedar ingin tahu bagaimana melakukan perawatan wajah.

***

Rabu pagi, aku kondisikan semua siap tanpa kecuali, anak-anak aku pesankan ojol untuk pergi sekolah, karena aku jarus lebih pagi membantu merias.

Suara sepeda motor berhenti di depan rumah.
Aku segera keluar menyambut utusan mbak Ayu, tapi kog laki-laki.

"Maaf mau cari siapa?" Aku bertanya saat melihat fia akan mengetuk pagar.

"Ini rumah Irin ya?"

"Tanpa basa basi pakai embel embel langsung dia sebut nama.

"Iya."

"Aku diminta Ayu jemput kamu, ayo sudah ditunggu."

"Tapi," kalimatku menggantung.

"Ayu bilang GPL, cepetan sudah mengantri yang mau dirias."

"Masih dengan ragu aku naik ke boncengan. "Ah mbak Ayu kog gak bilang kalau yang jemput laki-laki." Aku menggerutu.

Setelah hari itu aku jadi sering berinteraksi dengan kakak mbak Ayu, karena dia bagian foto grafer pengantinnya, bila aku ada waktu aku diajak merias.

Suatu hari saat dia mengantarku pulang, menanyakan tentang suamiku, mungkin selama ini kog tak terlihat hanya melihat aku dan anak-anak.

"Suamimu mana?"

"Ada."

"Kog gak pernah kelihatan?"

"Kerja luar kota, sebulan sekali pulang."

"Owh. Gak marah kalau tahu aku antar?"

"Bisa jadi."

"Nah terus?"

"Kapan-kapan kalau mbak Ayu ajak aku merias gak usah fi antar jemput ya?"

"Terus?"

"Aku bisa naik ojol kog, gak papa."

Kakak mbak Ayu ini selalu memberi perhatian baik dengan ucapan maupun tondakan. Ini yang membuat aku jadi merasa kaku, gak bisa relax kala ada dia, takut salah mengartikan.

Sepintas terlihat baik memang, care juga mungkin karena aku baru kenal saja. Aku baru tahu kalau dia bukan kakak kandung mbak Ayu ketika dia pamit pindah ke kota lain. Selama ini aku sangka dia kakak asli, atau sepupuh, begitu akrab sekali.
Ternyata dia orang lain yang sudah dianggap seperti kakak. Oalah aku ini sudah tua masih telmi saja, tidak ngerti.

Lama tak bertemu kakak mbak Ayu kenapa jadi ada rindu ya? Aku juga merasa bersalah berbohong tentang suamiku. Aku sendiri ditinggal kerja ke luar negeri sudah bertahun lama tak ada kabar. Sudah berusaha menghubungi kedutaan mencari dimana rimbanya, tak jua ada jawaban. Sebertinya hilang terbang ke angkasa atau ditelan bumi. Aku dan dua anakku ditinggal dalam ketidakpastian.

Andai dia tak berambisi menjadi TKI waktu itu, mungkin dia malu pada keluargaku yang belum bisa membahagiakanku.

Ponselku berdering, kulihat sebuah nomor yang tak kukenal.

"Ya, hallo?"

"Rin, apa kabar? Ini aku Ezar."
"Owh mas Ezar." Seketika dadaku berdegup kencang. Hmm begini ya orang merindu, barusan dipikirkan sudah nyambung saja. Eh mungkin aku hanya GR saja. Kutepis rasa bergejolak agar terlihat wajar.

"Aku lagi di kota ini, ketemuan ayo."

"Di mana? Sama mbak Ayu juga."

"Aku habis dari rumah Ayu, sekarang mau ketemu kamu lah. Aku jemput ya, eh suamimu ada?"

"Mmm belum pulang lagi."

"Baik tunggu."  

Kami berboncengan menyusuri jalan kota, ada ketidak nyamanan ketika jalan bersama, para mata memandang penuh tanya.

Kami hanya berbicara basa basi, tak ada yang penting bagiku, hanya sekedar say hello lama tak bertemu.

Yang kami bicarakan juga seputar orderan rias pengantin dan foto, sesekali membicarakan mbak Ayu.

"Menurutmu bagaimana Ayu?"

"Baik, cantik, energik." Aku hanya bisa berkata itu karena baru kenal.

"Makasih mbak sayang." Aku mendelik mendengar dia menyapa pramusaji dengan mbak sayang,

Mungkin karena dunianya diantara keglamouran menurutku membuat mas Ezar, memanggil sayang pada semua wanita adalah sapaan yang wajar. Sejurus perutku jadi mulas melilit tak karuan, akupun pamit ke kamar mandi.

Pas aku akan kembali ke meja kami sudah ada mbak Ayu di sana dengan wajah masam dan terlihat berbicara serius dengan mas Ezar. Aku urung untuk mendekat, kuambil jalan memutar mendekati meja tanpa diketahui mereka.

"Kak Ezar! Kamu ini ya datang gak ajak aku keluar makan-makan eh malah ajak Irin. Lupa ya sama aku!"

""Ayu, sabar kenapa aku nanti kan bisa ketemu kamu lagi to."

"Gak mungkin."

"Aku janji."

"Eh ngapain sih kamu sama Irin, gak takut apa sama suaminya?"

"Takut lah, tapi kan gak ada, lagi pergi."

"Ih dosa tau, mending sama aku lah."

"Iya nanti, pasti."

"Ingat, meski kamu aku anggap kakakku, kamu tetap lelakiku, meskipun kamu terkadang menjengkelkan dan nggilani."

"Ha ha ha apanya yang nggilani Ayu sayang."

"Embuh, pikir sendiri. Aku kehilangan kebersamaan kita sejak kamu kenal dia kak."

"Kamu sendiri yang diem, aku sering halo halo kamu."

"Dulu kita kemana-mana bersama, jauh tetap berkomunikasi, pulang kerja kita habiskan waktu ngopi bersama, sekarang? Dasar dia itu ya, tukang rebut saja."

"Eh jangan gitu lah, aku masih sayang masih care sama kamu."

Jantungku berdebar kencang mendengar percakapan itu, sesak seketika oksigen tak mampu mengalir ke otak. Aku merasa menjadi penyebab diantara mereka.

Aku rasa masalah itu harus disudahi, aku akan pergi dan menjauh, toh selama ini juga mesra enggak juga kog. Malah kalau aku tanya ini itu selalu dijawa 'heran'

Aku segera melangkah ke meja hanya untuk mengambil tas dan berpamitan.

"Mbak Ayu, sudah tadi ya? Untung mbak datang, kami tinggu dari tadi. Karena sudah ada mbak Ayu, aku pulang duluan ya, makasih." Terlihat wajah mbak Ayu terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun