Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Jadilah Pahlawan Bangsa bukan Pengkhianat Bangsa!

11 November 2013   18:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:18 1707 0

KAMU semua pasti udah pada nyambung dengan lagu di atas. Yups, tuh lagu wajib yang dinyanyikan setiap penyelenggaraan upacara bendera minimal seminggu sekali tiap hari Senin pagi. Katanya sih, untuk menghormati arwah para pahlawan yang telah berjasa terhadap nusa dan bangsa.

By the way, bulan November gini emang paling asik ngomongin tentang pahlawan. Soalnya tiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia biasanya suka memperingati momen itu sebagai hari pahlawan. Pahlawan kemerdekaan pembela bangsa dan Negara pun dipuja-puja dan disanjung. Bahkan khas Negara nasionalis yang suka mengadakan upacara bendera, mengheningkan cipta bagi arwah para pahlawan juga menjadi menu wajib.

Terlepas dari lirik lagu mengheningkan cipta yang nyerempet pemujaan terhadap para pahlawan secara berlebihan, pada faktanya jasa para pahlawan itu diabadikan Cuma sebatas monument dan museum, nggak lebih.

Pahlawan bangsa dipuja

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Kamu semua pasti pernah mendengar ungkapan tersebut baik di sekolah ataupun di warta berita TV nasional. Alhasil, penghargaan jasa para pahlawan ini diwujudkan dalam bentuk materi berupa patung, monumen, prasasti dan semacamnya. Semua hal tersebut memberi kesan heroik agar bisa ditiru oleh generasi setelahnya.

Upacara tiap hari Senin dan hari-hari besar nasional pun digelar, dalam rangka mengingat jasa para pahlawan dan menumbuhkan semangat nasionalisme di kalangan generasi penerus. Bagi mereka yang mangkir upacara karena satu dan lain alasan, bakal dituduh tidak berjiwa nasionalis dan tidak  menghargai perjuangan para pahlawan. Tapi sesungguhnya, apakah bisa kesetiaan nasionalisme diukur dari rajin enggaknya seseorang ikut uparaca bendera?

Wajah-wajah para pahlawan dicetak dalam bentuk poster kemudian ditempel di dinding-dinding kelas mulai SD sampai SMA. Dianggapnya dengan cara seperti ini jasa para pahlawan itu sudah terbayar lunas. Padahal faktanya generasi muda kita termasuk kamu-kamu semua belum tentu juga mengenal mereka yang dipajang itu. Kenal saja enggak apalagi meneladani perjuangannya. Maka tak heran di kelas saya dulu ketika zaman SMA, foto-foto para pahlawan itu diganti dengan foto-foto penghuni kelas terutama mereka yang memang kepingin sok ngartis. Dan uniknya, tak ada satu guru pun yang protes. Mungkin dianggapnya lebih kreatif karena mereka berpose ibaratnya pahlawan dengan warna hitam putih seolah-olah gambarnya diambil tempoe doeoloe (baca: tempo dulu).

....pahlawan juga banyak yang dibuatkan patungnya. Mereka toh tak pernah meminta untuk dipuja dan dipuji sedemikian rupa. Mereka hanya ingin agar perjuangan yang telah dilakukannya diteruskan dengan sebaik-baiknya....

Tidak itu saja, pahlawan juga banyak tuh yang dibuatkan patungnya. Bukannya menghormati dan menghargai, para pahlawan ini riskan dipuja-puja berlebihan sehingga menghilangkan esensi makna kepahlawanan itu sendiri. Mereka toh tak pernah meminta untuk dipuja dan dipuji sedemikian rupa. Mereka hanya ingin agar perjuangan yang telah dilakukannya diteruskan dengan sebaik-baiknya, bukan malah dinodai dengan menggadaikan negeri.

Pahlawan bangsa dikhianati

Loh, kok? Apa mungkin pahlawan bangsa dikhianati? Tega nian para pengkhianat itu. Yups, coba kamu perhatikan bagaimana para pahlawan bangsa ini dikhianati oleh mereka yang mengaku sok nasionalis.

Perjuangan para pahlawan demi memerdekakan rakyat negeri ini dari penjajahan bangsa asing, penuh dengan pengorbanan darah, harta, airmata bahkan nyawa. Mereka tidak rela harga diri sebagai bangsa dinjak-injak harkat dan martabatnya, sehingga tak ada jalan lain kecuali berjuang. Dan ketika akhirnya perjuangan itu telah membuahkan hasil, ternyata pengkhianat bangsa mengambil alih peranan. Dimulai dari kampanye agar rakyat memilihnya, para pengkhianat ini menggadaikan negeri Indonesia dengan harga murah melalui UU. Di antara UU itu adalah UU migas, UU kelistrikan, dan banyak UU lainnya yang intinya adalah ketundukan terhadap kekuatan asing yang jelas-jelas berniat menjajah Indonesia dalam wajah baru.

....Para pengkhianat ini bersembunyi di balik jas rapi dan berdasi yang kerjanya cuma rapat basa-basi. Sedikit ada peluang untuk memperkaya diri, maka korupsi pun dilakoni....

Para pengkhianat ini bersembunyi di balik jas rapi dan berdasi yang kerjanya cuma rapat basa-basi. Sedikit ada peluang untuk memperkaya diri, maka korupsi pun dilakoni. Gak peduli lagi deh sama rakyat yang mati kelaparan, yang penting keluarga sendiri aman dan sejahtera. Bolehlah sekali-kali terjun ke lapangan berbaur dengan rakyat miskin asal dengan syarat disorot kamera demi keuntungan memperoleh suara bila pemilu datang.

Itulah gambaran Indonesia kini dengan para pejabat yang sok mengaku berjiwa nasionalis dan sok menasehati pentingnya menghargai jasa para pahlawan. Di saat yang sama mereka pula yang menjual bangsa ini pada asing, melakukan korupsi besar-besaran di seluruh lapisan jabatan, menggusur rakyat tak berdaya dan diganti dengan mal-mal modal asing, dll.

Sungguh kasihan para pahlawan kita, jerih payahnya disalahgunakan oleh para pejabat oportunis itu. Darah dan nyawanya ternyata Cuma seharga bangunan fisik gedung-gedung bertingkat atas nama pembangunan. Dimanakah rakyat kecil yang dulu selalu dibela oleh para pahlawan itu? Ternyata rakyat yang dicintai oleh para pahlawan itu tinggal di kolong jembatan, berlari-lari dikejar satpol PP, bayi-bayi yang busung lapar,

Ayo, hargai jasa pahlawan!

Menghargai jasa pahlawan bukan Cuma bisa dilafalkan di mulut atau hanya berbentuk seremonial belaka dengan mengheningkan cipta pada upacara bendera. Menghargai jasa para pahlawan adalah pertama mula meluruskan sejarah bangsa yang banyak dibelokkan demi kepentingan golongan tertentu saja, utamanya sih yang sedang berkuasa pada saat sejarah ditulis. Sudah saatnya kebohongan public mulai dibongkar dan kebenaran ditunjukkan ujud nyatanya.

....Bung Tomo tidak semata-mata membela bangsa dan Negara saja. Lebih dari itu, mengusir penjajah dari bumi tempatnya berpijak adalah sebuah kewajiban dan kesadarannya dalam berakidah Islam....

Bung Tomo dengan suaranya yang menggelegar dan menggugah semangat berjuang arek Suroboyo, tidak semata-mata melakukan itu semua demi membela bangsa dan Negara saja. Lebih dari itu, mengusir penjajah dari bumi tempatnya berpijak adalah sebuah kewajiban dan kesadarannya dalam berakidah Islam. Jika bukan karena dorongan Islam, mengapa pula Bung Tomo bersusah-payah memekikkan takbir sebelum menyerang musuh?

Pahlawan yang lain demikian pula. Mulai dari nama-nama sekaliber Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Cik Ditiro, Cut Nyak Dien, Ki Ageng Tirtayasa, dll berjuang melawan penjajah bukan semata-mata membela bangsa dan Negara. Islam adalah motivator utama ketika akidah dan syariah yang saat itu menjadi peraturan kerajaan-kerajaan Islam di nusantara, diinjak-injak oleh para imperialis Belanda. Hal inilah yang seringkali disembunyikan dari kita, seolah-olah kesan yang ditimbulkan adalah para pahlawan itu sangat nasionalis sekali perjuangannya.

Pada faktanya, para pahlawan itu tidak mengenal istilah nasionalisme ketika itu. Mereka berjuang karena dorongan akidah Islam mengingat penjajah mulai menginjak-injak harga diri mereka sebagai manusia. Parahnya lagi, para penjajah itu mulai bertingkah dengan visi mereka sebagai misionaris yaitu berusaha memurtadkan penduduk nusantara yang notabene muslim untuk menjadi Kristen. Jadi, sudah saatnya jalannya sejarah yang gak bener itu untuk kembali diluruskan. Dengan cara inilah, jasa para pahlawan itu akan terlihat jelas sehingga generasi muda mampu menghargainya dengan bingkai sejarah kejujuran.

Langkah kedua untuk menghargai jasa para pahlawan adalah menjalankan roda pemerintahan negeri ini dengan baik dan benar. Baik artinya adalah dikelola oleh mereka yang memang orang baik di bidangnya. Bukan hanya professional namun juga berahlak mulia sehingga jauh dari niat dan tindakan korupsi ataupun hal-hal yang merugikan rakyat. Benar artinya adalah negeri ini dikelola dengan aturan yang benar. Aturan yang benar ini sudah diberikan panduannya oleh Yang Mahamemiliki Kebenaran berupa syariat Islam dalam segenap aspek kehidupan, bukan Cuma kalo mati dan kawinan saja Islam baru dipake.

Langkah selanjutnya adalah menjadikan sejarah itu sebagai cermin untuk melangkah ke depan. Sejarah kelam jangan ditutupi namun jadikan pembelajaran agar jangan terulang. Misal sejarah kelam dihapuskannya kalimat ‘dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya’ dari sila pertama Pancasila. Lalu sejarah kelam Tanjung Priok 1984 yaitu dibunuhnya para ulama yang menolak azas tunggal oleh rezim orde baru di bawah LB Moerdani. Gak perlu deh ditutup-tutupi lagi karena toh yang namanya bangkai pasti akan tercium juga.

Hal yang sama berlaku juga dalam sejarah emas Indonesia yaitu berani meluruskan bengkoknya sejarah kebangkitan nasional. Budi Utomo yang jelas-jelas menolak persatuan Indonesia dan menolak pemakaian bahasa Indonesia karena para pimpinannya lebih memilih bahasa Jawa dan Belanda, tidak lagi pantas dijadikan tonggak kebangkitan nasional. Syarikat Islam (SI)-lah yang pertama kali menyadarkan pentingnya persatuan nasional melalui Kongres Nasional Central SI di Bandung. Bila pemerintah berani mengambil langkah kejujuran ini, maka so pasti generasi muda kita gak akan pernah hidup lagi dalam kebohongan sejarah, insya Allah.

....Memperingati hari pahlawan, jadilah pahlawan paling tidak bagi diri kamu sendiri. Pahlawan bukan cuma sebatas skala nasional, tapi Pahlawan Internasional. Bila Islam yang kita bela, sudah tentu nusa dan bangsa termasuk di dalamnya....

Jadilah Pahlawan, bukan Pengkhianat

Memperingati hari pahlawan tahun ini, camkan dalam diri kamu untuk menjadi pahlawan paling tidak bagi diri kamu sendiri. Jangan jadi pengkhianat karena tempat yang pantas buat mereka cuma di neraka. Ih…takut banget kan? Pahlawan bukan cuma sebatas skala nasional, tapi jadilah pahlawan yang lintas batas sebuah bangsa yang sempit. Pahlawan Internasional dengan Islam saja yang layak mendapat pengorbanan kita, bukan nusa dan bangsa. Bila Islam yang kita bela, sudah tentu nusa dan bangsa termasuk di dalamnya. Tapi bila membela nusa dan bangsa, belum tentu kita masuk surga karena sungguh Rasulullah melarang kita untuk berashobiyah alias terpecah-pecah karena kesukuan dan kebangsaan.

Muslim di Malaysia, di China, Amerika, Arab, Inggris, Palestina, di mana pun mereka berada, mereka adalah saudara kita. Jangan sampai kita menjadi pahlawan bangsa dengan membunuh saudara seiman, naudzhubillah. Jadi tak ada gunanya deh bertengkar karena hal sepele dengan Negara tetangga seperti yang sering terjadi selama ini masalah perbatasan atau kesenian. Musuh sebenarnya kita adalah kapitalisme yang diemban oleh Amerika dan sekutunya untuk dipaksakan pada kita. Bila kita lengah dan menjadi pengikutnya kayak sebagian besar kebijakan negeri si Komo ini, maka sungguh kita telah menjadi pengkhianat sejati. Pengkhianat bagi negeri, rakyat sendiri, dan hati nurani.

....Semua ada di tangan kita untuk memilih, akan menjadi pahlawan ataukah pengkhianat? Dan semua perbuatan sudah pasti akan ada pertanggungjawaban masing-masing....

Semua ada di tangan kita untuk memilih, akan menjadi pahlawan ataukah pengkhianat? Dan semua perbuatan sudah pasti akan ada pertanggungjawaban masing-masing, tidak hanya di dunia namun di akhirat. KPK dunia mah kecil, tapi KPK di hadapan Allah, siapa yang bakal bisa bertahan? So, tancapkan dalam hatimu bahwa kita adalah generasi baru yang akan menghargai jasa pahlawan tidak sebatas symbol saja, tapi dalam tataran nyata dengan Islam saja sebagai pedoman. Setuju? Harus itu!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun