Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Soal Muhrim: Masihkah Diperlukan...???

7 April 2010   19:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:55 809 0
[caption id="attachment_113196" align="aligncenter" width="300" caption="Sheikh Yusuf Qardawi (http://www.paldf.net/forum/showthread.php?t=286428)"][/caption] Tulisan ini diilhami oleh pertanyaan Komasianer yang sedang belajar di Vienna, Austria, Ve Rhayesha bagaimana soal muhrim bagi wanita yang bepergian yang diwajibkan harus didampingi muhrim (bahasa arabnya, mahram, yang artinya tidak boleh dinikahi). Saya disini tidak bicara soal hukum, biarkan ahlinya yang akan menentukan seperti MUI, NU, MU, dsb, seperti fatwa rokok dan bunga bank yang baru-baru ini dikeluarkan oleh MU. Tapi saya mau cerita aja, sebagai bagian dari analisa dan bacaan sekitar soal itu dari masa ke masa. Pada jaman dulu, dunia kejahatan seperti perampok dan pemerkosaan yang menyeramkan begitu marak di dunia Arab. Kalau kita membaca sejarah sastra Arab (al-Adab al-Araby) sejak pra-islam kawasan tersebut masih dibelenggu oleh dunia kajahatan tadi. Misalnya di dalam sejarah 'sastra' itu ada aliran sastrawan perampok. Tokoh yang paling terkenal diantara mereka adalah 'Ta'abbata Syarran' (kalau mau ditrjemahkan secara literal adalah Si Ketiak Jahat. bahasa Betawinya, 'ketek'...hahahaaa....ketek bau luh). Kenapa digelari demikian? Karena golok (bahasa Betawinya, bendo) selalu terhunus dan dikempit di ketiaknya, bila ada mangsa cepat ditebas. Sedangkan perjalanan pada jaman dulu itu semuanya menggunakan hewan seperti onta sebagai kendaraan atau berjalan kaki. Sehingga tidak bisa 'kabur' dan ngabrit seperti mengendarai motor atau mobil di jaman sekarang. Nah produk fikih yang dibaca sekarang juga merupakan ijtihad para ulama dan a'immah pada abad pertengahan tersebut, sehingga tema-tema dunia modern tidak ada babnya dibahas di buku fiqh klasik, seperti soal korupsi, KKN, mark-up, dsb. Biasanya topik muhrim itu juga dibahas yang banyak hubungannya dengan persoalan perjalanan haji atau umrah. Kalau soal pendidikan perempuan, setahu saya tidak ada konteks bahasan muhrimnya, karena perempuan di dunia Islam saat itu masih dipingit, padahal hadist disuruh Nabi untuk menuntut ilmu hingga ke negeri Cina. Tidak seperti di dunia modern ini yang 'mabur' dan melanglang buana ke berbagai belahan bumi ciptaan Allah ini untuk menuntut ilmu, seperti Kompasianer Ve tadi, atau Kompasianer Dinda Handayani di Rusia, dll. Cerita berikutnya, adalah kenyataan yang juga dilakukan para kiayi dan ustaz, yang anak perempuan sekolah ke pesantren yang jauh dari kotanya. Misalnya di masyarakat Betawi yang biasanya menyekolahkan putrinya ke Pesantren Gontor Putri di Mantingan, Jawa Timur. Banyak ustaz yang melepas putrinya tersebut di terminal bus Pulo Gadung dengan memakai jasa bus malam eksekutif dan turun di depan pesantren menjelang subuh. Lho? Kenapa tidak menerapkan hukum muhrim dan diantar hingga tiba di Jawa timur. Kan putri tersebut bepergian jauh. Atau misalnya, putrinya melanjutkan kuliahnya ke Mesir atau Kuala lumpur. Kenapa tidak diantar hingga ke Cairo atau KL?? Kan wajib harus ada muhrim. Karena merasa aman, naik bus dan pesawat dari bandara dan di tempat tujuan sudah ada yang jemput, dsb. Jadi, karena merasa aman, sehingga soal muhrim diabaikan oleh para ustaz tadi. Kisah yang lain lagi, soal muhrim di dunia travel haji dan umrah. Bukan rahasia umum lagi kalau di dunia travel umrah, jamaah perempuan yang berangkat umrah tanpa pendamping mahramnya, bisa dikadal-kadalin dan diakal-akalin dengan membuat 'muhrim-muhriman' (muhrim palsu, padahal dosanya masuk kategori 'Syahadah zur', kesaksian palsu, wah-wah...repot dong). Dengan beaya Rp. 150 ribu, bisa dibuatkan surat muhrim untuk memenuhi persyaratan mahrm yang diwajibkan oleh Kedubes Arab Saudi. Tapi giliran TKW, gak perlu pake muhrim (mahram). Kalau kata Kompasianer kang Iwan, Tuhan dimau dikibulin. Nah repot bener dong, mau ibadah. Padahal kalau mau ke negara lain tidak ribed, apalagi negara yang membebaskan visa. Beli tiket dan langsung terbang. Dari kisah yang saya gambarkan di atas, yang melatarbelakangi munculnya kenapa seorang perempuan, sebagai mahluk lemah dan penakut (zaman dulu yang masih serem, jalan kaki atau naik unta) perlu didampingi laki-laki yang masih ada hubungan darah (tidak boleh menikah), kalau bukan muhrim juga sama saja tidak boleh, karena bisa saja pager makan tanaman....hahahaaaa.... Terus, produk fikih yang merupakan produk abad pertengahan itu perlu dikontekstualisasi dengan ruang dan waktu jaman sekarang sebagaimana sering dikatakan oleh Sheikh Yusuf Qardhawi yang moderat, bahkan beliau membolehkan miqat jamaah haji dari Jeddah bagi penumpang pesawat, padahal Nabi tidak pernah mengatakan Jeddah sebagai miqat dan tidak ada haditsnya. Apakah ijtihad Sheikh Qaradawi salah, tidak bersandar pada hadits, dsb. Berdasarkan ungkapan yang saya gambarkan, bisa saja soal muhrim itu ditinjau kembali karena tidak diperlukan lagi mengingat manajemen perumrahan sudah bagus dan bahkan ada paket 'airport to airport', dsb. Lagian siapa sih yang mau umrah niat mau serong dengan orang lain, dan ngapain jauh-jauh. Jadi gimana soal muhrim itu jadinya?. Pihak otoritas pembuat fatwa seperti  MUI, MU, NU, dll, perlu meninjau kembali fatwa soal muhrim tersebut. Jadi, apakah soal muhrim: Masihkah diperlukan ???

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun