Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Artikel Utama

Dosen Pembuat Skripsi, Refleksi Penghapusan Skripsi

26 Mei 2015   16:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:34 804 8

Bulan ini, di pertengahan 2015, Indonesia kembali disemarakkan dengan isu yang sungguh menarik. Spektakuler. Penghapusan skripsi; tugas akhir mahasiswa calon sarjana strata satu. Sangat menarik, bukan?

Mahasiswa tinggal goyang-goyang kaki selepas Praktik Kuliah Lapangan (PKL), Kuliah Kerja Nyata (KKN), Kuliah Pengabdian Masyarakat (KPM), atau sederet nama lain yang dijadi SKS wajid di perkuliahan akhir. Mahasiswa cukup duduk-duduk manis di warung kopi. Meninggalkan pustaka yang biasanya dipenuhi oleh mahasiswa yang sudah duduk di tahun keempat. Traveling ke mana suka karena beban yang ada dipundak bukan lagi sidang skripsi melainkan waktu wisuda; senang-senang, bahagia dan segala rupa lainnya.

Saya berani memberi angka 10 untuk kepekaan Menristek, Muhammad Nasir yang memberi wacana ini. Skripsi itu memang sampah!

Tiada manfaat dari membuat skripsi selain lelah dan frustasi menghadapi dosen yang sok pintar dengan nilai akademisnya lantas lupa nilai-nilai sosial dan psikologis. Benar sekali. Ada di antara kita yang terkatung-katung karena dosen tidak kunjung mengACC skripsi. Ada sebagian dari kita yang depresi karena dosen mencoret skripsinya tanpa belas kasih walaupun telah diperbaiki dengan sebagusnya. Ada sebagian dari kita yang santai-santai saja karena skripsinya tanpa dibaca dosen pembimbing langsung disidangkan. Ada sebagiand dari kita tanpa susah payah duduk di depan komputer, tanpa susah menelaah buku-buku, tanpa bingung menyelesaikan perhitungan hasil penelitian, tanpa terbeban pembahasan akhir skripsi, karena ada orang lain yang membuat skripsinya, ia tinggal memberi jatah hidup kepada pembuat skripsi itu antara dua juta sampai lima juta rupiah. Selesai. Gampang kok.

Menteri kita, Pak Nasir ini, tinggal pilih seperti mahasiswa menjawab soal-soal pilihan ganda. Isu copy-paste sudahlah teramat umum. Toh, rata-rata skripsi dicopy-paste dari sumbernya, jika tidak dikutip mana mungkin disebut karya ilmiah, jadilah dia novel!

Seorang dosen, juga kompasianer aktif, Pak Muhammad Armand, cukup memukul anggapan Pak Menteri. Skripsi tetap perlu. Jika dilihat lebih mendalam, skripsi memang sangat perlu karena tidak hanya jiplak-menjiplak dari sumber lain, namun lebih kepada pertahanan mental. Membuat skripsi tidak semudah menulis artikel ini di Kompasiana. Kita – semua mahasiswa strata satu – harus semedi sekian lama dalam menyelesaikan skripsi, mencari bahan di pustaka kampus sampai pustaka wilayah, membaca literatur sampai mata sembab, mendiskusinya bersama teman, menerima coretan dari dosen tanpa ampun. Ada yang beruntung. Ada yang kurang beruntung. Ada yang selesai empat tahun dengan isi skripsi “bagus”. Ada pula yang selesai empat tahun dengan isi skripsi “asal-asalan”. Ada yang selesai lima tahun, enam tahun bahkan hampir drop out, di angka delapan tahun, karena dosen terlalu sensitif karena satu dan lain hal atau karena dosen ingin berlama-lama membimbing karena sebagian SPP mahasiswa bersangkutan terus ngacir ke tabungannya.

Faris Saputra Dewa, justru menilai penghapusan skripsi sebagai kehancuran perguruan tinggi. Mahasiswa semester VIII di salah satu perguruan tinggi ini malah menuliskan nominal harga yang harus ditebus saat menyelesaikan skripsi. Ini adalah pertimbangan matang, namun inilah perjuangan panjang dari sebuah kesabaran. Skripsi tidak hanya menguji mental namun menguji penghematan. Saat orang tua mengurangi kiriman perbulan, mahasiswa yang sedang skripsi mau tidak mau harus berhemat, mengerjakan skripsi sebagus mungkin – menurut pemahamannya – sehingga tidak banyak coretan dan mengurangi kertas maupun tinta printer. Pelajaran ini cukup berarti untuk mahasiswa kere. Skripsi membuat hidup tahan banting. Jika biasanya makan tiga kali dengan lauk ikan. Saat skripsi bisa ditekan makan tiga kali dengan lauk garam. Jika tidak, kertas maupun tinta (jika punya printer sendiri) tak bisa dibeli. Atau, skripsi tidak bisa diprint ke rental terdekat dengan harga lima ratus sampai seribu rupiah perlembar (di Aceh).

Mahasiswi lain, Liafit Nadia Yuniar, menilai keputusan Pak Menteri sebagai solusi terbaik karena mahasiswa tidak lagi terbeban dengan tugas akhir dan bisa fokus pada keilmuannya. Saya malah ingin bertanya kepada kompasianer ini, apakah skripsi tidak berhubungan dengan keilmuan yang sedang dipelajari? Skripsi itu sendiri tak lain menelaah ilmu yang kita pelajari selama di bangku kuliah. Skripsi adalah “kerja” lapangan dari ilmu yang kita pelajari. Skripsi mengajarkan bahwa ilmu di perkuliahan itu benar adanya. Sebagai contoh, seorang mahasiswa program keguruan, diajarkan proses belajar mengajar menggunakan model/metode terbarukan, si mahasiswa bersangkutan mengambil judul skripsi dengan model/metode tersebut dengan mengambil materi ajar di SMP/SMA.

Mahasiswa bersangkutan melakukan penelitian ke SMP/SMA, menerapkan model/metode pembelajaran dengan materi ajar tersebut, memberikan ujian di awal maupun di akhir pembelajaran, kemudian dianalisis datanya. Hasil analisis data ini menunjukkan bahwa pembelajaran “sukses” atau tidak menggunakan model/metode bersangkutan. Jika sukses, di kemudian hari, saat mahasiswa ini menjadi guru setidaknya model/metode ini bisa diterapkan. Ini hanya segelintir contoh. Kita bisa mengambil contoh lain sesuai ilmu yang ditekuni di perguruan tinggi dan mengapa skripsi itu perlu. Menyambung masalah dengan tugas akhir lain konteksnya sungguh berbeda dengan skripsi itu sendiri. Mahasiswa telah melalui sederet tugas di akhir perkuliahan, seperti magang (PKL dan lain-lain), namun tetap berbeda dengan penulisan skripsi. Penulisan skripsi lebih kepada tata cara seperti yang disampaikan Pak Armand.

Namun, terlepas dari pro dan kontra penghapusan skripsi, pekerjaan rumah yang mesti dilaksanakan dengan segera oleh Menristek adalah dosen-dosen pembuat skripsi yang berkeliaran di daerah-daerah. Fenomena semakin banyaknya kampus di daerah (Kabupaten/Kota) justru menjadi boomerang bagi mahasiswa dan dosen. Mahasiswa ingin serba praktis sedangkan dosen ingin meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Jadilah skripsi mahasiswa sebagai ajang termenarik mengumpulkan pundi-pundi amal kebaikan di dunia.

Saya mendengar dan melihat kegaduhan ini. “Jika ingin cepat selesai, skripsi saya buat!” demikian kutipan dosen pembimbing. Mahasiswa cukup santai menerima ketukan palu dari dosen pembimbing, karena dirinya tidak susah payah memikirkan skripsi dan coretan panjang bisa dihindari. Mahasiswa tinggal tunggu jadwal sidang dan menerima keputusan LULUS dengan bahagia!

Menristek jangan gampang memberi izin kampus. Poin ini jauh lebih penting dibandingkan penghapusan skripsi. Semakin banyak kampus diberi izin operasi, semakin banyak plagiat skripsi, semakin banyak dosen pembuat skripsi. Tidak salah kampus-kampus didirikan di daerah-daerah namun tampaknya proses belajar mengajar lebih kepada pemenuhan “tabungan” pada punggawa kampus semata.

Dua kampus yang disidak Menristek, di Jakarta (namanya tidak saya sebutkan karena kebenaran belum terungkap dengan jelas), menegaskan bahwa begitu mudahnya menjadi mahasiswa asalkan uang ada. Pemerintah memberi izin berdirinya sebuah kampus, maka plagiatisme ayun-ayun kaki. Mahasiswa cukup bayar SPP tanpa perlu datang tiap hari. Mahasiswa cukup bayar setumpuk uang lalu skripsi jadi karena dosen mengembangkan proyek ini dengan senang hati.

Izin kampus menentukan segalanya. Semakin dipermudah izin berdirinya kampus semakin gampang uang beredar di kampus tersebut. Coba kita belajar pada kampus negeri yang telah lama berdiri di Indonesia. UI, ITB, IPB, UGM, USU, dan kampus-kampus populer lain, mahasiswa tetap pontang-panting mengejar waktu kuliah dan stress berat menyelesaikan tugas akhir. Ini adalah tantangan. Menghapus skripsi gampang saja. Namun, menahan izin berdirinya kampus, bisakah dibendung oleh pemerintah?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun