Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kurma

Hore, Dapat "Bentik" Ramadan dari Ayah!

18 April 2021   01:28 Diperbarui: 18 April 2021   01:50 567 6
Ini adalah Ramadan kedua,  tanpa Ayah di rumah. Usahanya di Ibukota belum berjalan baik,  dan belum ada tanda tanda Ayah akan pulang. Senyum karismatis Ayah,  yang tersembul diantara kumisnya yang melintang ala jawara itu,  selalu membuatku rindu.

Meski banyak teman yang mengajakkku bermain siang dan malam.  Mulai bermain betengan,  petak umpet, gobak sodor, bentik,  ular naga,  sampai setinan alias adu gundu. Sejak melek mata menunggu waktu buka, atau bermain di lapangan dekat mushola tempat sholat tarawih dilaksanakan. Intinya, bermain bersama teman teman membuatku sibuk dan lupa. Kadang sarung atau peci jatuh dan tertinggal dimana saja,  aku suka terlupa. Maklum masih SD, kelas dua.

Tapi setelah pulang sendiri di rumah nenek,  aku sering merasakan rindu pada Ayah.  Awalnya rasa ingin melihat wujud Ayah dari dekat,  seperti gemericik air saja. Gerimis tipis yang gampang kuabaikan di bulan biasa.  Begitu masuk bulan Ramadan, hatiku gemuruh memanggil Ayah. Di depan Nenek,  di depan Bu Lik dan Pak. lik adik Ayah. aku tak menampakkan kadar rinduku pada Ayah yang semakin parah.

Sampai suatu malam,  dalam tidur pulasku,  aku bermimpi ketemu Ayah.  Lalu kami makan makan di Restoran.  Semua menu yang enak disodorkan Ayah padaku,  dan langsung kulahap habis.  Meski sudah kenyang,  Ayah terus menambah lauk dan makanan tambahan yang serba enak padaku. Sampai aku kekenyangan dalam mimpiku,  dan aku terjatuh di 'bodak',  kotak beras berwarna hitam yang ditaruh nenek di bawah ranjangku.

Jatuhnya teramat keras dan membuat kepalaku benjol. Karena terantuk pinggiran kayu 'bodak' yang keras itu. Tapi bukan kerasnya kayu yang membuatku menangis histeris. Karena begitu aku sadar,  mataku terbuka,  ternyata tak ada Ayah sama sekali. Aku menangis keras sekali,  tengah malam itu. Sungguh Rindu.

Nenek,  Bu Lik dan Pak Lik menghambur panik ke. Kamarku. Semua wajah terlihat cemas,  melihat kepalaku yang benjol dan air mata yang menganak sungai di pipiku. Nenek segera memelukku dengan penuh sayang. Kepalaku yang benjut,  diusap lembut dengan rakbut panjang beliau. Konon cara itu amat ampuh mengatasi benjol akibat benturan pada anak.

Memang ajaib,  bekas benturan itu cepat kempes. Tapi benjolan di hatiku sudah terlanjur menggembung besar,  seperti bisul besar ingin pecah. Aku ingin Ayahku pulang dari Jakarta, Ramadan ini. Aku  ingin berlebaran di kampung halaman bersama orang tuaku tersayang, Aku ingin Ibu juga pulang, teriakku dalam batin.

Tapi tak ada yang keluar dari mulutku.  Mulutku terkunci,  dan tatapan mataku nanar.  Jauh,  jauh sekali. Keluarga besar Ayah , orang orang yang menyayangi aku,  dan di wanti wanti menjagaku terlihat sedih dan bingung. Apalagi perlahan tapi pasti,  suhu badanku naik terus sejak, malam itu. Tidak kunjung turun.

Akhirnya aku sakit panas tinggi dan tidak. mau makan. Saat teman teman bermainku masih seru dengan ritual bermain saat sore  menjelang buka dan malam habis tarawih. Hingga menabuh beduk membangunkan orang orang sahur. Aku kehilangan keriaan Ramadan yang seru itu. Hatiku teriris sembilu rindu, tak ada yang tahu. Tidak Nenek,  tidak Pak Lik tidak juga Bu Lik ku. Setiap waktu aku nyaris selalu berbisik,, Ayah...

Tak ada jalan. Singkat mengatasi sakitku.  Pelayanan Dokter di masa kecilku dulu,  tidaklah semewah sekarang. Jalan tempatku di besarkan aslinya dsebut Jalan Tembaga,  saat ini sering disebut Jalan Dokter,  karena ada 12 dokter yang besar di jalan yang penduduknya kini sangat makmur itu.

Dulu,  amatlah berbeda.  Untuk. Meredakan panasku,  aku dibawa ke Mbah So,  untuk disembuhkan dengan cara ritual kejawen. Begitu Mbah So datang ke kamarku,  karena aku tak kuat berjalan ke rumah beliau yang hanya seoelemparan batu. Setelah menatap mataku dapam dalam. Sorot mata kucingnya yang tajam langsung membaca pangkal sebab demam panasku yang tak turun turun. Beliau langsung mengunyah garam.  Setelah garam itu halus dimulutnya. Diambilnya gelas air putih,  diminumnya sedikit air. Dikumur kumur sebentar dimulutnya, lalu disemprotkan begitu saja ke ubun ubunku.

Seketika itu,  aku merasakan kesejukan luar biasa. Dsri kepala turum ke badan lalu ke tangan dan kaki. Lamat lamat kudengar Mbah So berkata dengan berwibawa kepada semua yang ada di rumah nenek.

"Tole,  cah bagus,  ini kangen bapak. Suruh pulang dia pingin Ramadan sama bapaknya. Untuk obat. Sementara,  kasih baju bapaknya, syukur yang belum dicuci. Nanti. Kangennya bisa terobati. Jelas?!, " mata Mbah So mendelik menekankan isi pesannya. Sebelum berjalan pulang,  penuh wibawa seperti angin lembut.

Kemudian aku tertidur pulas. Entah karena suwukan alias semburan garam bermantera yang ampuh dari Mbah So. di kombinasi dengan baju 'senguk' Ayahku,  yang sengaja disimpan Bu Lik,  buat obat Kangenku.  Aroma asem asem aneh,  dari baju batik Ayah,  menenangkanku. Menyembuhkanku, suhuku turun dan sakit kepala hebatku menghilang.

Seminggu kemudian, aku sudah mukai. Kuat puasa. Lagi.  Ada yang mengetuk ngetuk pintu kamarku. Tumben pikirku,  biasanya Nenek,   Bu Lik atau Pak Lik masuk tanpa permisi,  di kamarku yang tak terkunci. Dengan kepala masih berat karena kurang tidur sahur tadi.  Aku memaksakan diri,  membuka pintu kamarku.

Krieeet!
Begitu pintu kubuka ada wajah yang oaling kurindukan.  Senyumnya sedikit tapi manis diantara kumisnya yang baplang.ada akar bahar di tangan.kanannnya.dialah Ayahku. Aku langsung menghambur memeluk tubuh yang atletis dan kokoh itu. Kangenku langsung hilang. Sakit hatiku hilang sama sekali. Puasaku jadi ringan tak terasa sama sekali.

Seharian itu,  aku tidak mau jauh jauh dari Ayah, mendengar ceritan  Beliau tentang Jakarta yang banyak. Lampu dan buasnya hewan di perilaku pemgendara warga kota. Dari Ayah,  aku baru tahu, Ibu akan menyusul. pulang,  seminggu sebelum lebaran. Asyik.

Lengkap,  Ramadan kali ini,  bisa dibilang aku anak yang paling bahagia bisa puasa Ramadan bersama Ayah. Aku larut dalam  kebahagiaan yang sempurna.

"Holil,  Holil  . Main 'bentik', Yuk !," ajak teman mainku ramai ramai dari teras rumaj. Aku diam seribu bahasa. Serba salah.  Satu bagian kakiku ingin bersama ayah. Satu bagian lagi ingin bermain bentik,  permainan seru,  menggunakan dua batang kayu, panjang dan pendek.
Satu memukul dari lubang tanah atau tangan,  yang lainnya mencoba menangkap batang yang kecil dengan tangkas.  Seru deh. Kalian harus mencobanya suatu hari.

Melihat aku diam,  tak bergerak dan salah tingkah. Ayah segera menggapai atas lemari.  Dari atas tempat pakaian beliau mengeluarkan dua batang kayu panjang dan pendek yang sudah agak berdebu. Beliau lap sepasang batang kayu yang sudah dikupas  kulitnya dan berwarna coklat tua itu,  penuh perasaan.

"Ini bentik. Ayah,  jaman Ayah kecil,  disembunyikan diatas lemari sini,  ternyata nenekmu tidak tahu. Mainlah sana,  bergembira lah,  tapi ingat. Puasamu nggak boleh batal ya.," pesan Ayah,  sambil memberikan kayu. Buat alat main bentik itu padaku. Aku langsung menerima sepasang kayu bagus itu,  memcium tangan Ayah. Dan berlari menghambur keluar. Hore!  
hore!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun