Dan sering mulai dari awal. Belajar menghadapi jalan yang terjal, juga tak jarang terbentur dengan harapan-harapan yang majal.
Ada pada suatu titik kita berharap pada cahaya dalam ruang keluarga, di sebuah rumah pada suatu masa.
Belajar lagi bagaimana mengajarkan cinta kepada anak-anak kita. Mungkin menulis angka, mengeja kata, atau menumbuhkan harap saat mereka belajar naik sepeda.
Memakaikan sepatu agar mereka melangkah tak ragu. Memakai seragam, menyandang tas sekolah, dan di ujung sana mimpi tak selalu digapai mudah.
Saat anak-anak remaja, cinta bukan bercerita soal kawan, tapi bisa berubah menjadi lawan. Anak-anak tiba-tiba menjadi pemberontak, kita harus sering melapangkan dada menampung kata, "tak".
Tentu, mereka merasakan cinta yang lain. Cinta yang berapi. Jikalau tidak pandai menyikapi diri ia dapat membakar, melukai hati.
Beranjak dewasa, mereka menemukan titik baru, menciptakan garis yang lain. Jauh berbeda dengan jalan yang pernah kita lalui.
Mereka, tentu, ingin pula mempunyai cerita sendiri.
Anak perempuan, akan membawa kisah bersama suami dan anak-anak mereka. Yang lelaki, akan merasakan menjadi pemimpin di tanah rantau orang lain.
Kita? Kita pulang pokok, kembali berdua.
Mungkin untuk merintang-rintang waktu kita banyak membaca, sering bertukar sapa dengan para tetangga, menyiram bunga, atau juga menghapalkan doa-doa.
Sesekali kita akan melihat foto-foto lama sambil memutar lagu. Membersihkan rumah berkali-kali, walaupun kita tahu takada lagi yang harus dibersihkan.
Kita sering cemas dan berdebar setiap kali ada kendaraan lewat depan rumah. Adakah itu anak dan cucu-cucu kita? Tapi harapan kita sering berakhir kecewa.
Mungkin mereka sudah lupa. Ah, kini kita mudah sekali tersinggung. Pendengaran yang semakin berkurang, penglihatan yang tak lagi tajam, membuat gerak kita semakin lamban.
Tubuh kita juga rentan dengan perubahan cuaca. Mudah masuk angin, batuk-pilek, dan sulit tidur.
Dalam situasi seperti ini kita ingin anak-anak berkumpul. Biarlah kita sebagai pendengar, dan anak-anak yang bercerita. Ditingkahi cucu-cucu kita yang berlarian, menangis, atau satu sama lain bertengkar.
Kita selalu rindu dengan suasana seperti itu. Namun, itu sulit sekali terwujud. Selain mereka disibukkan dengan pekerjaan, rumah anak-anak kita juga jauh dari sini.
Akhirnya ...!
***
"Akhirnya kita memang harus sampai pada titik ini," katamu, seraya meletakkan cangkir tehmu.
"Ya. Tapi rasanya aku tak sanggup kalau hidup tanpamu. Biarlah aku mati terlebih dahulu."
"Kau egois. Tidak, aku juga tak sanggup hidup sendiri. Biar aku saja yang mati terlebih dahulu."
"Kalau begitu kau juga egois."
Kita berpandangan, tertawa pelan.
"Padahal anak-anak, juga cucu-cucu kita, sudah sering mengajak untuk tinggal bersama mereka."
"Ya."
"Kalau aku meninggal terlebih dahulu, kau mau tinggal bersama anak-anak?"
"Kau sendiri, kalau aku meninggal terlebih dahulu, kau mau tinggal bersama anak-anak?" Kau membalikkan pertanyaanku.
"Ng, mungkin."
"Ya, mungkin."
"Berarti, meninggalkan rumah ini?"
***
Lebakwana, Oktober 2021