Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Let Me Love You By Myself, Dear !

4 September 2013   04:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:23 477 10

By : Auda and Anindya

Menjawab sekenanya pertanyaan dari setiap orang yang menanyakan tentang kedekatan kita adalah mudah untuk kulakukan. Toh, aku hanya bersandiwara demi menjaga martabat perempuanku agar tak jatuh di hadapan mereka, sekaligus tetap menjaga nama baikmu di kantor ini. Namun, menafikan rasaku yang terlanjur membesar padamu, mampukah aku?

*

Seringnya kucurahkan isi hati pada Maria sahabatku, kurasa iapun teramat bosan mendengar intensitasnamanya yang selalu kusebut. Dia dan hanya dia, Hendra. Maria, tak pernah lelah menasehatiku, meski tak jarang nasehatnya terkontaminasi dengan racun amarah. Namun tetap saja, Maria yang paling mengertiakan kekhawatiranku bila tak mendengar kabar dari sang lelaki, dan Maria juga yang tak henti-hentinya mengomel ketika aku memandangnya dengan tatapan kosong setelah mendengar nasehatnya.

Aku tahu bahwa itulah bentuk ketegasannya yang jengah dan tak sanggup melihat linangan air mataku, hingga suatu hari ia berkata, "kau gila, Sarah. Otakmu korslet. Coba kau benturkan dulu kepalamu ke dinding. Kalau berdarah, semoga kau bisa lupa sama si Hendra bodoh itu!"

"Mungkin benar, aku sudah gila, oleh sebabnya yang tak pernah, ah... bahkan ia tak boleh tahu akan kesungguhanku padanya. Aku tak ingin dia mengetahui rasa ini, Maria. Let me love him by myself and i won't tell him, Sist." Jawabku sembari menyeruput Espresso pahit pesananku di cafe itu, kemarin.

Jawabanku itu semakin mengesalkan Maria, “Ok, sampai kapan kau mau segila ini? Sampai kapan kau mau mengorbankan perasaanmu? Sampai kapan? Sampai kau mati?” tanyanya sambil memukul-mukul meja.

“Biarkan saja aku begini, toh yang dia tahu, aku selalu baik-baik saja,kan?” senyumku lirih.

Mendengar jawaban ringanku, Maria sedikit melemah. Ia pun diam sejenak sembari menyeruput Espresso "Ada yang salah dengan pikiranmu, Sarah. Sepertinya sebelum mengenal Hendra, kau tak pernah sebodoh ini. Bukankah kau perempuan pintar yang tak mudah menyerah, bahkan melawan penyakitmu sendiri?”.

Dan aku hanya terdiam, mendengarkan amarah Maria yang saat itu seperti ingin menelanku hidup-hidup.

*

Layaknya mentari dan rembulan yang sudah diatur oleh sang pencipta untuk menyinari manusia setiap harinya, begitu pula adamu bagi hatiku. Hati seorang perempuan yang menunggumu, selalu, bahkan rela membuang waktunya demi menantimu. Benar, wujudmu memang tak pernah pergi. Kau ada di dekatku, bersamaku lewati hari sembari menikmati kopi kegemaranku di cafe yang letaknya tak jauh dari rumahku. Aku selalu ingat pesananmu, selalu teh, kan?

Ya... aku tahu, kau memang kurang menyukai kopi. Aku mengetahui apapun yang kau sukai maupun yang kau benci. Hubungan kita teramat dekat, nyaris tak terpisahkan. Di setiap waktumu, pasti ada diriku, begitupun aku ada untukmu. Namun tetap saja, adaku di sisimu bukan sebagai cintamu. Dengan penuh kerelaan hati, aku pun mampu menjadi sandaran bagimu. Tentu saja, ini akan menambah kemarahan Maria sahabatku, jika ia tahu, aku selalu ada buatmu sedang kau tak tahu rasaku padamu.

*

Layaknya seekor Hiu yang bersiap menelan mangsanya hidup-hidup, kali ini Maria pun semakin marah mendengar curahan hatiku.

“Perempuan bodoh!!! Lelah kudengar namanya kau sebut. Amarahku meledak-ledak ketika nama itu terlontar dari bibir manismu, Sar. Sadarlah Sarah, Hendra tak baik untukmu. Kau itu terlalu lembut untuknya. Temukan lelaki lain. Jangan dibodohi perasaanmu yang membabi buta seperti itu.”

Tersentakku ketika melihat wajahnya memerah. Demi meredam amarahnya, maka kujawab sekenanya "Baiklah, akan kucoba." Senyumku pada Maria dan dibalas pelukan olehnya, lalu ia pun berkata, "Aku tidak mau melihat kakakku terus menangis demi lelaki yang tak pernah melihatnya."

*

Malam Minggu, sahabat sekaligus adikku ini berencana pergi bersama teman dekatnya. Melihat aku yang mengurung diri sedari pagi di kamar, ia pun berinisiatif mengajakku. “Sarah, jalan yuk. Jam 7, temanku datang. Kita mau nonton The Conjuring.”

“What the hell is that, Sist? Kau gila mau malam mingguan, ngajakin aku, terus nonton film hantu itu. Kamu saja yang pergi. Aku di rumah saja.” Jawabku.

“Mau apa kau di rumah? Mau menggalau lagi tentang Hendra dan berharap Hendra tiba-tiba muncul di hadapanmu? Impossible, Sist! Forget him or u’ll lose your chance to get your future with somebody like, Gaston Castano or Abraham Samad, maybe.” Lelucon Maria membuatku sedikit tersenyum.

“Ok, Sarah. Jangan aneh-aneh deh. Kalau kamu ‘gak mau ikut, aku pergi sekarang. Assalamu’alaikum kakakku yang suka menggalau.” Godanya dan kujawab, Wa’alaikumsalam adikku yang suka marah-marah.”

*

Sepeninggalan Maria, sadarku kembali berseru bahwa memendam perasaan cinta kepada seseorang itu seperti menghempaskan harga diri ke dalam sebuah peti mati, lantaran aku tak pernah mengatakan apapun padanya. Bukan karena aku tak berani mengungkapkan rasaku, toh bila memandang kedekatan kami selama ini, hubungan kami amat baik, bahkan cenderung intim, walaupun tanpa penetrasi seksual.

Ya... sampai kini memang tak pernah kusampaikan padamu. Aku memilih untuk mengunci mulutku rapat-rapat ketika harus menatapmu. Maria selalu mengancamku bahwa dia akan mengatakan ini semua padamu, namun selama ini dia masih menjaga perasaanku.

*

"Ah... Seandainya kau tahu, Ndra." batinku sembari mendengarkan lagu Adele - One and only yang mewakili perasaanku saat ini. Rasanya, aku tak ingin mendengar amarah Maria lagi, tentang Hendra. "Aku tak mau kalau angin nerakanya Maria tiba-tiba menyalak dan mengatakan keadaan hatiku yang sebenarnya padamu.

Aku tak mau Maria tiba-tiba menamparmu di muka umum atau berteriak-teriak yang pada akhirnya mempermalukanmu. Aku mencintaimu, Ndra. Untuk itulah, aku memilih mendiamkan ini semua dari Maria, untuk melindungimu. Baiklah, aku tetap diam dan menjalani kehidupan seperti biasanya." Kembali kumembatin. sesaat kemudian, mulai kutuliskan semuanya :

Sesungguhnya aku tak sanggup menahan buncahan rasa yang bergejolak ini. Namun adat ketimuran negeri yang kuagungkan ini memberiku dua pilihan. ‘Katakan dan kau akan merasakan malu yang luar biasa oleh kejujuranmu padanya atau memendam rasamu sampai waktu yang, ah... bahkan kau sendiri tak mampu menakarnya.’ Teramat berat bagiku memikul rasaku. Sungguh inilah timbangan yang mesti kupikirkan masak-masak. Tentunya, aku tak mau salah langkah. Ya... Karena aku perempuan.

Mungkin perkataanku tadi akan dianggap terlalu berlebihan bagi para penjunjung emansipasi negeri ini, namun tidak bagiku. Bagiku kata cinta tak lebih dari sekedar mengebiri hati nuraniku, ya... lagi-lagi karena aku perempuan.

Dan selalu, ketika cinta mulai mendekat aku selalu merasa ingin berlalu pergi. Namun entah mengapa, dadaku begitu sesak kala aku harus menepis rasa yang mulai bermunculan kini. Aku tak mungkin mengatakan padanya bahwa aku mencintainya, karena aku perempuan. Sampai saat ini, alasan ini yang menghalauku agar tak berbuat bodoh.

Sahabat, tahukah kau apa yang mungkin sedang aku alami? Terbesit dalam bayangku bahwa cinta hanya sekedar hasrat egoisme pribadi. Ingin rasanya, aku tak pernah mau jatuh cinta baik pertama maupun terakhir kali. Mungkin, dengan sikap ramah dan tegasku, aku cukup dengan melumpuhkan hati milik setiap laki-laki, lalu senyumku akan terkembang tanda jiwaku tengah berbangga, menikmati kekalahan mereka. Namun, dalam hatiku? Siapa yang tahu bahwa hatiku tengah berdarah?

Semua rasaku padamu seperti saat kucecap si hitam ini. Canduku pada kopi adalah seperti inginku padamu. Telah kunikmati beragam jenis si hitam ini, seperti pernah kutelusuri beberapa adam sebelummu, bahkan setelah mengenalmu. Namun tetap saja, pikiranku tertuju padamu. Jiwakupun sakit rasanya jika ada yang dengan tanpa rasa bersalahnya mengulitimu.

Aku memang bukan perempuan yang mampu mencandumu, membuatmu melupakan kesibukanmu dan meluangkan harimu untuk sedikit mengenalku lebih dalam. Mungkin Aku tak termasuk dalam kriteriamu. Namun berbeda dengan apa yang kurasa.

***

"Rasanya cukup itu yang kutuliskan malam ini, sebaiknya aku bersiap untuk tidur saja." Pikirku. Namun tetap saja, ketika telah berbaring, masih saja kupandangi langit-langit kamar sembari berucap, "Meramu rasaku padamu adalah bagaikan meramu secangkir kopi. Semakin pekat rasanya, semakin berselera kucicipi harumnya."

"Jika pada kopi saja diperlukan keahlian sebagai Cupping Test agar dapat kutentukan cita rasa kopi yang nikmat, bagaimana pula dapat kunafikan rasaku padamu?"

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun