Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Ikhlas dan Kekuatan Hati

16 Januari 2011   02:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:32 750 0

Oleh : Atep Afia Hidayat -

Dalam belasan jam itu  bisa menghasilkan tulisan 20 halaman, bisa berkenalan dengan puluhan orang baru dengan beragam latar belakang, bisa mendaki gunung dengan ketinggian di atas 1.000 meter di atas permukaan laut.

Ya, dalam belasan jam orang bisa berbuat apa saja, mulai dari mencapai sebuah prestasi spektakuler sampai hanya tertidur atau pasif tidak berbuat apa-apa. Waktu yang dimiliki oleh orang yang sukses untuk beraktivitas adalah belasan jam, begitu pula yang dimiliki oleh orang yang gagal.

Persoalannya, apakah dalam beraktivitas itu selalu ikhlas dan menggunakan kekuatan hati. Banyak orang bekerja keras dan mencapai sukses, namun suksesnya semu dan keropos, karena tanpa landasan ikhlas.

Menurut Erbe Sentanu dalam bukunya Quantum Ikhlas, sebagian orang menafsirkan ikhlas secara salah. Komponen ikhlas yang terdiri dari sikap syukur, sabar, fokus, tenang dan bahagia, justru dianggap sikap yang lemah. Sikap itu dikhawatirkan akan membuat mereka kurang dihargai orang, tidak tercukupi secara materi, atau tidak tercapainya tujuan hidup karena tidak adanya ambisi.

Padahal yang terjadi justru sebaliknya. Dalam kondisi ikhlas – yang sekarang telah dibuktikan secara ilmiah – manusia justru akan menjadi sangat kuat, cerdas dan bijaksana. Kita bisa berpikir lebih jernih, mampu menjalani hidup dengan lebih efektif dan produktif untuk mencapai tujuan. Bahkan hubungan kita dengan siapa pun akan terjalin semakin menyenangkan.

Dengan aplikasi ikhlas maka sudut pandang kita tentang siapapun hanya didasarkan pada kekuatan hati yang bersandar pada ke-Maha Besar-an Allah. Kita melihat orang lain adalah sesame mahluk ciptaan Allah, sama-sama dihidupkan dan dimatikan oleh Allah, sama-sama tidak memiliki daya dan upaya kecuali atas pertolonganNya.

Dengan demikian kalau kita menyukai seseorang maka landasannya hanya karena Allah, begitu pula kalau kita membenci seseorang juga hanya karena Allah. Kata demi kata yang keluar dari mulut kita hanyalah kalimat-kalimat indah, sejuk, nyaman, bahagia dan selalu memotivasi orang lain untuk secara bersama-sama menikmati langkah demi langkah kehidupan.

Kehidupan yang dijalani sangat membutuhkan kekuatan hati. Dengan demikian kekuatan hati perlu diaktivasi, jangan dibiarkan tergolek lemah dan tak berdaya. Hati seperti otot, kalau tidak dilatih maka otot itu akan lembek tak bertenaga, tetapi kalau dilatih secara teratur maka otot akan menjadi massif, kuat, kokoh dan bertenaga.

Hati yang bertenaga akan siap menaklukkan berbagai rintangan dan teka-teki kehidupan. Hati yang bertenaga itulah hati yang ikhlas, hati yang dilandasi penyerahan diri kepada Sang Maha Kuasa, Allah SWT.

Bagaimanapun, sebagai mahluk manusia memerlukan sandaran dan gantungan. Manusia memang harus bersandar dan bergantung, karena pada dasarnya manusia itu lemah dan labil. Yang menjadi sandaran dan gantungan itu tentu harus yang kuat, bahkan yang maha kuat, Allah SWT, tempat bergantung seluruh mahluk.

Banyak manusia yang bersandar dan bergantung pada dirinya, pada manusia lain, pada jin,pada cerita fiktif atau pada tuhan yang palsu. Banyak manusia yang memper-tuhan-kan manusia lainnya, karena tidak mampu mencapai Tuhan Pencipta Alam Semesta. Dalam kondisi yang demikian yang muncul hanyalah ke-ikhlas-an semua dan kekuatan hati yang palsu. Paradigma mengenai hidup dan kehidupan pun menjadi salah arah, meskipun pada saat itu tercapai kesuksesan, tetapi hanyalah kesuksesan semu, palsu, fiktif dan hanya fatamorgana.

Sebenarnya ukuran kesuksesan sejati itu terletak pada pencapai ikhlas dan kekuatan hati yang prima, sehingga interaksi vertikal dan horizontal bisa dijalani dengan penuh kebahagiaan, kebahagiaan sejati. (Atep Afia).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun