Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Keadilan Sosial di Negeri Dongeng

11 Agustus 2021   16:16 Diperbarui: 11 Agustus 2021   16:28 931 5
Seorang bocah yang kelaparan dalam dekapan ibunya. Sedangkan tak ada sedikitpun makanan di rumah yang serupa teratak itu. Untuk mengalihkan perhatian anaknya yang tak henti merengek-rengek, ibunya mendongeng cerita tentang kisah Timun Mas dan pangeran putra mahkota sebuah kerajaan.

Alkisah seorang gadis kampung yang berparas cantik jelita bernama Timun Mas yang sedang dikejar-kejar oleh Buto ijo karena menolak untuk untuk dijadikan istrinya, karena membawa tiga benda sakti yang jika dilemparkan bisa berubah menjadi rintangan yang menghambat, dan dengan benda sakti yang ketiga bahkan mampu membinasakan raksasa Buto ijo tersebut.

Di ahir cerita, dikisahkan Timun Mas yang berhasil membunuh raksasa itu oleh raja dinikahkan dengan pangeran putra mahkota kerajaan. Kemudian gadis kampung itu menjadi prameswari dan pangeran menjadi raja menggantikan posisi ayahandanya.

Berkat kepemimpinan raja muda bersama istrinya kerajaan itu menjadi adil makmur sentosa kerta raharja. Tak ada seorangpun warganya yang hidup miskin apalagi sampai kelaparan...

Ketika si anak bertanya tentang ayahnya, dikatakan oleh ibunya bahwa si ayah sedang pergi untuk mencari makanan untuk mereka bertiga. Agar tidak kelaparan lagi. Akan tetapi apa yang terjadi kemudian, ternyata bukan hanya perut mereka saja yang tetap tidak bisa terisi oleh makanan, bahkan ayah si anak, atau suami perempuan itu  kembali pulang dalam keadaan sudah tak bernyawa lagi.

Kisah tersebut ditemukan dalam sebuah cerita pendek yang berjudul Gunung Kidul, karya Nugroho Notosusanto yang terhimpun dalam buku kumpulan cerpen Tiga Kota (Balai Pustaka, 1985).

Cerita pendek dengan berlatar belakang kehidupan pada masa revolusi 1945, tentang sebuah keluarga yang hidup dalam kemiskinan, dan untuk memenuhi kebutuhan perut keluarganya Sang Suami sebagai kepala rumah tangga terpaksa harus mencuri singkong, serta harus dibayar mahal lantaran saat mencuri kepergok ronda malam, lalu kemudian diburu dan digebuki warga satu kampung sampai meregang nyawa, adalah kisah yang juga hingga saat ini seringkali masih terjadi di dalam kehidupan sekitar kita.

Melalui media massa, baik cetak maupun elektronik, dan juga media digital, berita tentang kisah semacam itu  memang masih kerap kali terjadi. Walaupun tidak sama persis dengan kisah yang ditulis mantan menteri pendidikan dan kebudayaan di era orde baru itu.

Kemiskinan, mencuri demi menyambung hidup, main hakim sendiri, adalah tragedi yang suka maupun tidak masih saja terjadi di negeri ini. Lalu apabila kita bertanya, mengapa dan mengapa, hal itu bisa jadi berkelindan dalam sistem tata-kelola kehidupan dalam lingkup berbangsa dan bernegara muaranya.

Betapa seorang nenek tua yang mencuri beberapa buah jagung misalnya, di sebuah kebun milik tetangganya harus diproses hukum, dan divonis bersalah oleh pengadilan. Padahal hal itu dilakukan nenek tua itu hanyalah karena demi menyambung hidup - sebagaimana Pak Kromo dalam cerpen di atas, dan yang hanya tinggal sebentar lagi.

Sedangkan di sisi lain, kita pun seringkali mendengar koruptor yang merampok uang negara demi mengikuti syahwat duniawinya, mendapatkan vonis hukuman yang di mata masyarakat dianggap tidak sebanding dengan kejahatan yang dilakukannya.

Sehingga pada akhirnya, kita pun hanya mampu mengelus dada. Ternyata keadilan yang seadil-adilnya hanya ada di negeri dongeng semata. ***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun