Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Dawn at War

26 November 2010   00:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:17 56 0
Dunia memanas. Itulah yang pertama kali terlintas di pikiran saya ketika setiap pagi saya terbangun, sesaat setelah duduk sebentar mencoba mengumpulkan kesadaran. Sesaat setelah itu, setelah semua kesadaran dan kesegaran terkumpul, saya mulai melakukan rutinitas sehari-hari, atau jika itu hari libur, saya hanya bisa berharap tidak ada panggilan untuk "rutinitas" tersebut. Ordinary flatulent life I have, content mood I always deal with, and peaceful atmosphere I breathe. Paling tidak itu adalah tiga hal yang seringkali saya syukuri.

Dunia memanas. Saya tidak tahu apa yang orang lain pikirkan, saya bahkan tidak tahu apa yang orang-orang yang dekat dengan saya pikirkan setiap pagi disaat ia terbangun. Apalagi yang dipikirkan setiap pagi dikala terbangun dari tidurnya dari seorang paruh baya yang berada di sebuah Distrik bernama Washington dengan hiruk pikuk politik dunia yang dipengaruhi setiap harinya disana, atau seorang rabi di Tel Aviv yang hidup di antara himpitan ego dan iman, ataupun seorang anak di Gaza dengan playlist hariannya yang diisi dengan alunan peluru dan hentakan artileri.

Dunia memanas. Setidaknya tiga lokasi diatas cukup menjelaskan sumber dari dua kata singkat ini. Layaknya sebuah permainan, setiap pemain memiliki peran-peran spesifik. Makin utama perannya, makin spesifik pula role-nya. Dan, layaknya permanian, pemain-pemain figuran tetap harus dapat tempat. Negara-negara Eropa dengan peran yang cenderung netral dan menutup mata, Timur Tengah yang masing-masing negaranya asyik sendiri, Amerika Latin yang sibuk berpesta narkoba, Afrika yang masih dan masih saja berperang antar sesamanya, Timur Jauh dan Balkan yang melempem setelah kalah dari perang dingin, dan tetangganya yang diam-diam mencoba membangun peradaban dan perekonomian terbesar didunia, Asia Selatan yang mulai ikut terjerumus peperangan, dan Asia Tenggara yang cenderung aman sentausa.

Dunia memanas. Bom demi bom meledak tiap hari, nyawa demi nyawa hilang di wilayah yang itu-itu saja, perundingan demi perundingan diadakan. Semuanya seperti vektor yang tidak beraturan arah. Walaupun paling tidak disaat perundingan, kita masih bisa melihat dua, atau bahkan tiga-empat arah, yang jelas berselisih 180 derajat satu sama lainnya. Setiap vektor memiliki reasoning sendiri, setiap tindakan punya tujuan, setiap langkah berarti terungkapnya motivasi yang asli. Itulah sebabnya setelah atau sebelum perundingan korban yang bertambah justru meningkat, entah dari sisi invader atau dari defender-nya. Entah provokasi atau sekedar penambah motivasi, yang jelas itu nyawa banyak manusia yang dipertaruhkan.

Dunia memanas. Semua sudah semakin jelas. Ternyata apa yang bisa membuat seseorang mengesampingkan moralitas, toleransi, bahkan memunculkan sisi Lucifer dari seseorang bertambah satu poin lagi. Faith. Isu-isu agama semakin sering dijadikan keterangan subjek ataupun objek dari setiap judul di media, isu-isu agama tidak lagi sesuatu yang tabu untuk dibahas mengingat sensitivitasnya yang tinggi, isu-isu agama sudah seperti problematika selebriti di tayangan-tayangan televisi, bedanya banyak orang yang peduli dan rela mati demi kehormatan agamanya. Ternyata opini salah seorang tokoh panutan yang juga budayawan ternama dari Jawa Timur beberapa saat lalu tidak terbukti benar. Ia mengatakan bahwa penganut agama A tidak seharusnya membela agama A karena sebenarnya agama itu pada dasarnya adalah agama yang kuat, solid, agama itu dengan sendirinya menguatkan kembali dirinya. Membela agama tersebut sama saja membuat agama itu tampak lemah juga tidak berdaya tanpa si pembela. If he was talking about "Invisible Hands" with alot of lives shouldn't have lost, he surely was wrong this time.

Dunia memanas. Entah ramalan, entah intuisi, atau perhitungan secara kasar yang secara mengherankan tetap akurat, beberapa tokoh ternama yang jika hidup disaat ini akan menjadi kumpulan orang tertua didunia, telah mengeluarkan pernyataan yang hampir sama bunyinya satu sama lain. Perang selanjutnya yang terjadi bukanlah perang karena wilayah kekuasaan, uang, atau sumber daya alam, tetapi berlandaskan agama. Semakin hari semakin jelas bahwa mereka tidak asal bicara. Takut, cemas, bingung, jika membayangkan apa yang bisa dan akan terjadi.

Dunia memanas, dengan Asia Tenggara yang adem ayem. Dimanakah posisimu wahai negaraku jika engkau masih pantas kupanggil begitu? Dengan hutang-hutang yang sudah harus dibayar setiap bayi sebesar Rp 7,5 juta selama 45-65 tahun kedepan, dengan syarat tidak ada tambahan hutang lagi. Kesemua sumber hutang tersebut berasal dari sumber yang sama, sumber yang memiliki beberapa persen orang-orang tercerdas didunia sebagai pekerjanya. Sumber yang memiliki simbol piramida dan all-seing eye yang terdapat di lembaran 1 US$. Dengan pemimpin yang terhimpit antara kepentingan rakyat yang kritis, sadar politik tapi emotionally immature, dengan kemajuan negara yang dimpimpinnya. Lebih takut, lebih cemas, dan lebih bingung, itulah yang saya rasakan karena biasanya tempat yang aman justru akan menjadi salah satu tempat paling mengerikan saat sebuah perang terjadi.

(Tulisan ini tidak butuh emosi, tidak ingin provokasi. Hanya ingin kecerdasan dan kerendahatian pembaca untuk selalu bersyukur atas apapun yang anda jalani dan dapatkan)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun