Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana Pilihan

Tragedi Lomba!

8 November 2021   22:10 Diperbarui: 8 November 2021   22:18 317 21
Langkah kakinya terus saja melaju. Seakan tak pernah lelah.

"Apa yang kau cari anak muda?"

Ia hanya tertawa. Lebih baik melangkah dari pada tidak sama sekali. Begitu pikirnya. Mungkin!?

Orang tak akan akan tahu, jika tak diberitahu. Orang juga tak akan mengerti jika tak dijelaskan. Selebihnya hanya praduga, sakwasangka, dan kecurigaan saja.

Ia tak peduli pada sekelilingnya. Ia tak peduli semua orang mencibirnya. Yang penting tidak merugikan orang lain saja.

Begitulah pelajaran berharga dari mendiang ibunya.

"Nak, nanti jika kamu sudah besar jangan pernah membuka telinga lebar-lebar. Buka secukupnya saja."

Hanya pesan pendek itulah yang masih mengiang  dalam benaknya. Dengan begitu hatinya jadi lapang.

Kata orang tak ada jalan yang tak berliku. Kadang turun, ladang menanjak. Sekali waktu akan terjatuh. Permainan hidup! Begitulah kodrat yang harus dilalui.

Setelah itu! Tepuk tangan bergema. Namanya dipanggil dari atas podium dengan serentet gelar kejuaraan. Sampai-sampai ada yang nyeletuk, "Selalu namanya! Apa hebatnya sih!?"

Ia yang terbaik, ia yang terpopuler, ia yang... Dan seterusnya.

Empunnya diri hanya menunduk saja, sambil asyik memainkan gawai. Seolah sebutan atas namanya hanya angin lalu saja.

"Kau naik ke sana. Wakili aku ke podium ambil hadiah dan piagam penghargaan itu," katanya pada teman di sebelahnya.

Orang-orang hanya mengenal nama besarnya. Buah karyanya. Tampangnya tersembunyi dibalik nama alias yang disematkan oleh sahabatnya berpuluh tahun lalu.

Apalah artinya juara, jika lomba tak menguras tenaga? Seberapa banyak yang menginginkan predikat juara? Di luar sana, di luar kepalanya rebutan bukan lagi jadi jalan normal yang ditempuh. Kadang lewat negosiasi, lewat komisi, bahkan ada yang tega memainkan langkah hitam.

Benar! Langkah yang sangat hitam, menyingkirkan siangan dengan cara kejam. Hanya mereka yang pernah melakukan yang paham strateginya.

Yang ia tahu, lomba bukan tengan berebut juara. Lomba bukan tentang siapa yang kalah dan siapa yang menang. Lebih dari itu, lomba adalah tentang kebiasaan.

Pengumuman pemenang hanya beberapa menit disampaikan. Setelahnya teedengar riuh tepuk tangan. Jeprat-jepret lampu kamera, lalu kenangan tersimpan rapi dalam file foto atau video. Apa manfaatnya?

Sebagian orang akan memajang dan memamerkan lewat sosial media. Kemudian decak kagum dan para pemuja. Selebihnya...

"Nak, nanti jika kamu sudah besar jangan pernah membuka telinga lebar-lebar. Buka secukupnya saja."

Benar kata bunda, saat telingamu lebar kau akan mendengar apa saja. Kemudian akan menjadi besar kepala. Kakimu akan berat membawa besarnya kepala, besarnya dada. Lalu langkahmu akan gontai. Larimu tak akan laju.

Sayangnya ia telah lupa!

Dengan menjadi juara, kenangan manis akan berkesan untuk langkah selanjutnya. Pengalaman riuhnya tepuk tangan akan selalu bergema mengisi telinganya. Mengisi kenangan pada hati pemirsa, menjadi panutan orang lain untuk mengejar dan meraihnya.

Ia jua lupa, juara adalah dambaan bagi setiap peserta lomba. Apalagi hadiah besar bisa digunakan apa saja. Jika tidak untuk dirinya, bisa saja dibagian sebagai hadiah dan kenang-kenangan untuk teman atau sahabat-sahabatnya.

"Aku masih ingat," katanya.

"Dahulu aku pernah jadi juara. Aku pernah naik ke atas panggung megah dalam iringan ribuan tepuk tangan. Mataku hingga silau oleh sorot lampu kamera. Aku memikul hadiah yang sangat banyak...," lanjutnya.

"Apakah yang seperti itu tak membuatmu bangga?"

Setelah setahun berlalu orang-orang mulai melupakan namanku. Jangankan namanku, peristiwanya saja mereka sudah lupa. Apalagi kenangan manis saat aku berdiri di sana. Lupa....

Langkah kakinya terus saja melaju. Seakan tak pernah lelah.

"Apa yang kau cari anak muda?"

Ia memang tak lagi muda. Langkah kakinya tak lagi segesit dahulu. Aliasnya masih tersemat di dalam dirinya. Sayangnya orang-orang tak lagi mengenalnya. Apalagi mengenangnya....

Lalu apa yang kau cari?

"Aku tak lagi ingin ikut lomba?"

Kenapa? Kau takut kalah ya?

"Tidak. Tidak, bukannya aku takut kalah. Tapi aku takut jadi juara lagi. Dan berikutnya orang-orang akan melupakan aku kembali. Sedihnya itu di sini!"

Sambil menjauh tangannya menepuk dada.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun