Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Pilihan

Belajar dari Krisis Demi Kestabilan Sistem Keuangan

31 Oktober 2014   23:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:00 793 0

“1998 adalah tahun yang pelik. Saat itu negara akan bangkrut. Kalau perusahaan yang bangkrut, akan merumahkan karyawannya, kemudian menghentikan usahanya. Lhaini negara sebesar Indonesia! Tidak mungkin mau dibiarkan bangkrut”.

Kalimat di atas diucapkan oleh seorang ekonom di sebuah ruangan Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM beberapa tahun yang lalu, saat saya sedang melakukan penelitian tentang pengaruh kondisi ekonomi makro terhadap kinerja perbankan di Indonesia. Diskusi mulai menghangat saat membicarakan tentang ketahanan perekonomian Indonesia, terlebih saat memasuki masa-masa krisis moneter 1998 dan menghadapi gelagat krisis pada 2008.

Kejadian krisis 1998 merupakan kenangan buruk perjalanan perekonomian kita. Saat itu krisis sebenarnya bermula dari Baht (Thailand) yang terdepresiasi lebih dulu, kemudian Rupiah terkenacontagion effect (dampak rambatan) dan ikut mengalami pelemahan. Dalam tempo yang relatif cepat, Rupiah benar-benar 'tumbang' dari Rp 2.396 pada Januari 1997 hingga mencapai puncaknya pada Juni 1998 pada posisi Rp 14.900 bahkan sempat menyentuh Rp 17.000-an per dolar AS.

Jatuhnya Rupiah kemudian merambat ke berbagai lini yang ada dalam sistem keuangan lainnya, dan yang terparah adalah perbankan. Pada November 1997 pemerintah akhirnya menutup 16 bank. Kebijakan yang awalnya bertujuan menyehatkan perbankan ini justru membuat kepanikan dan mengakibatkan penarikan dana besar-besaran (bank runs) oleh nasabah (dikutip dari Simorangkir, 2011: 56-58, dalam Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank Indonesia, Juli 2011).

‘Sakitnya’ sistem keuangan kemudian menular ke berbagai sektor perekonomian, bahkan melompat dan menyerang berbagai sektor non-ekonomi. Ingatan kita tentu masih kuat saat mengenang rentetan kejadian selama 1998; mahasiswa ramai-ramai turun ke jalan, kerusuhan terjadi di berbagai lapisan, masyarakat menjarah pertokoan, investor pun tunggang langgang meninggalkan Indonesia. Dengan kata lain pada 1998 krisis ekonomi telah menjangkiti segala dimensi.

Kejadian serupa seolah terbayang kembali, dan dikhawatirkan akan terulang saat krisissubprime mortgage menyerang sistem keuangan Amerika Serikat 2008 silam. Ketika itu Bank of England (BOE) terus melakukan injeksi likuiditas akibatbank runs, pasar saham global berjatuhan (terendah sejak September 2001), Lehman Brothers bangkrut, Ukraina, Pakistan, Eslandia, Hongaria dan Belarusia menerima bantuan finansial dari IMF, hingga AS secara resmi dinyatakan berada dalam kondisi resesi oleh National Bureau of Economic Research (NBER), serta The Fed yang terus menurunkan suku bunga hingga mencapai level 0,25 persen, yang merupakan level terendah dalam sejarah (Outlook Perekonomian Indonesia 2009, Bank Indonesia 2009; 45-46).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun