Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Klasifikasi Agama, Syarat Agama, dan Ciri Agama

1 Juli 2020   12:37 Diperbarui: 1 Juli 2020   12:37 6725 0
A. Tema :  Klasifikasi agama, syarat agama dan ciri agama
B. Nama : Anisatul laila
Semester : ll (dua)
Jurusan : Pendidikan matematika
Kampus : ITSNU PASURUAN
tahun : 2019
C.  Identitas dosen : Muhammad Mukhlis, M. pd.
D. Problem : peran agama dalam masyarakat multikultural
E.  Teori
Agama yang sudah masuk dalam masyarakat multikultural akan
mengalami proses akulturasi sehingga agama bisa memiliki banyak versi
khususnya dalam aspek implementasi. Mulai dari segi pemahaman sampai
pada arti penting agama sesuai dengan kultur masing-masing daerah atau
tempat. Dari masyarakat multikultural inilah lahir perbedaan ekspresi
dalam melaksanakan perintah agama.
Peranan menjadi sangat penting ketika agama telah dianut oleh
kelompok-kelompok sosial manusia, yang terkait dengan pemenuhan
kebutuhan hidup manusia yang kompleks dalam masyarakat. Pada
perkembangan yang demikian itulah agama menjadi berkaitan langsung
dengan kebudayaan dalam masyarakat sehingga agama dan masyarakat
serta kebudayaan mempunyai hubungan timbal balik yang saling
berpengaruh.
Dalam perspektif sosiologi, agama dipandang sebagai sistem
kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu. Agama
berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu maupun
kelompok. Oleh karena itu perilaku yang diperankan oleh individu
ataupun kelompok itu akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran
agama yang dianutnya. Perilaku individu dan sosial digerakkan oleh
kekuatan dari dalam, yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama yang
telah menginternalisasi. Peter L. Berger melukiskan agama sebagai
suatu kebutuhan dasar manusia karena agama merupakan sarana untuk
membela diri terhadap kekacauan yang mengancam manusia. Agama
dapat dipandang sebagai kepercayaan dan perilaku yang diusahakan oleh
suatu masyarakat untuk menangani masalah yang tidak dapat dipecahkan
oleh teknologi dan teknik organisasi yang tidak diketahuinya.
Kondisi masyarakat yang multikultural juga pernah terjadi dalam
sejarah Islam. Pada masa kejayaan Islam seperti di Baghdad dan Kordoba,
masyarakat di kota-kota tersebut adalah sangat plural. Dengan segala kemampuannya untuk mengakomodir kondisi sosial yang multikultural
ini, Islam akhirnya tetap bisa eksis dan jaya. Sejarah mencatat bahwa
sikap toleransi dan inklusivitas merupakan kunci dalam masyarakat
multikultural. Sikap toleran telah ditunjukkan oleh para penguasa Muslim
ketika mereka menaklukkan beberapa wilayah seperti Mesir, Syiria
dan Persia. Ilmu pengetahun yang sudah berkembang dengan pesat di
wilayah-wilayah itu justru sepenuhnya didukung oleh Islam untuk terus
dikembangkan. Tidak hanya itu, komunitas-komunitas agama lain seperti
Kristen, Yahudi dan bahkan Zoroaster juga diperbolehkan menjalankan
agama masing-masing dengan bebas. Sikap inklusif atau terbuka juga bisa
dilihat pada para sastrawan dan filsuf Muslim pada masa keemasan Islam.
Selain menggunakan al-Qur'an dan hadis sebagai sumber yang paling
otoritatif, mereka juga menggunakan sumber-sumber dari kebudayaan
lain.
Sampai batas tertentu, respons agama terhadap kecenderungan
multikulturalisme memang masih terkesan ambigu. Hal itu disebabkan,
agama kerap dipahami sebagai wilayah sakral, metafisik, abadi, samawi
dan mutlak. Bahkan, pada saat agama terlibat dengan urusan 'duniawi'
sekalipun, hal ini tetap demi penunaian kewajiban untuk kepentingan
'samawi.' Berbagai agama, tentu saja, berbeda-beda dalam perkara
cara dan berbagai aspeknya, namun agama-agama tersebut hampir
seluruhnya memiliki sifat-sifat demikian itu. Karena sakral dan mutlak
maka sulit bagi agama-agama tersebut untuk mentoleransi atau hidup
berdampingan dengan tradisi kultural yang dianggap bersifat duniawi dan
relativistik. Oleh karena itu, persentuhan agama dan budaya lebih banyak
memunculkan persoalan daripada manfaat. Apalagi, misalnya dalam
konteks Islam, kemudian dikembangkan konsep bid'ah yang sama sekali
tidak memberikan ruang akomodasi bagi penyerapan budaya non-agama
Sebenarnya, cita-cita agung multikulturalisme tidak bertentangan
dengan agama; namun demikian basis teoritisnya tetap problematik.
Nilai-nilai multikulturalisme dianggap ekstra-religius yang ditolak oleh
para teolog Muslim sehingga sulit untuk mengeksplorasi tema tersebut.
Memang belakangan telah muncul prakarsa yang dilakukan sejumlah
pemikir Arab, seperti Mohammed Abed al-Jabiri, Hassan Hanafi, Nasr
Hamid Abu-Zaid dan lain-lain, untuk merekonsiliasi antara tradisi dan
agama. Namun, gagasan-gagasan mereka mendapat tanggapan keras dari
ulama-ulama konservatif.
Padahal Tuhan dalam kitab-Nya jauh-jauh hari sudah menyeru
tentang multikulturalisme. "Wahai manusia, Kami telah menciptakan
kamu dari diri yang satu, laki-laki dan perempuan dan Kami telah
menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian dapat
saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antaramu di mata Allah
adalah yang paling bertakwa di antara kamu. Sungguh, Allah adalah Maha
Mengetahui" (49:13). Perlu dicatat bahwa ayat ini tidak hanya ditujukan
bagi Muslim atau golongan secara eksklusif, tetapi ia diawali dengan
seruan yang inklusif, "wahai manusia." Inilah seruan yang mencakup
semuanya. Seruan ini mengingatkan manusia bahwa mereka adalah satu
keluarga besar, dengan moyang yang sama, meskipun mereka hidup dalam
keluarga yang berbeda-beda. Ini adalah peringatan bahwa perbedaan
dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan adalah mungkin.
Manusia layaknya seikat kembang, masing-masing bunga memancarkan
keindahannya, sementara kombinasi dari semua bunga yang berwarna warni itu akan memancarkan pemandangan yang lebih indah. Pernyataan
dalam al-Qur'an yang meyakinkan tentang luasnya persaudaraan manusia
ini adalah dasar yang sangat kokoh bagi kedamaian untuk semuanya.

F.  Analisa

Multikulturalisme adalah suatu keniscayaan, apalagi dalam konteks
Indonesia. Keragaman ras, suku, bahasa dan agama merupakan ciri khas
serta kelebihan dari bangsa Indonesia yang membedakannya dengan
bangsa lain. Namun demikian, perbedaan yang tidak dikelola dengan
baik akan menimbulkan konflik dan perselisihan. Oleh karena itu, harus
ada formula untuk mendamaikan dan menyatukannya.
Dalam masyarakat modern, multikulturalisme lebih kompleks
lagi. Sebab budaya baru terus bermunculan akibat akses komunikasi dan
informasi yang tak terbendung. Saat terjadi pertemuan antara globalisasi
negara-bangsa (nation-state) dan kelompok identitas maka kemunculan
dari kelompok-kelompok identitas ini semakin menguat. Globalisasi akan
mendorong penguatan kesadaran politik dalam kelompok-kelompok
ini dan membuka kesadaran yang mendorong pentingnya identitas.
Globalisasi memberikan kesempatan kepada kelompok-kelompok
identitas untuk menemukan akar identitasnya.
Pemahaman agama, sebagai salah satu pilar penting dalam
membentuk masyarakat adil dan sejahtera menjadi penting untuk
diperhatikan. Artinya, kerigidan, penuhanan atas pemahaman sendiri
dan menganggap yang lain sebagai golongan sesat harus diberantas.
Sebab pada hakikatnya tidak ada kebenaran apa pun yang menginjak dan
meniadakan kebenaran lain

G. Referensi
http://www.mardetymardinsyah.com
Abdullah, M. Amin, Pendidikan Agama Era Multikultural-Multireligius,
Jakarta: PSAP

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun