Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Swasembada Pangan Melalui Teknologi Iradiasi

15 Desember 2011   13:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:13 809 1

Musim kering terlewati, dan saat nya musim hujan tiba. Debit hujan yang terlampau besar, membuat orang mengeluh. Bukan hanya banjir, tetapi melambungnya harga-harga kebutuhan pokok makin menguras dompet. Mulai harga beras yang meroket, hingga harga sayur mayur pun ikut terkerek naik. Ada solusi yang sedikit ekstrim,yaitu  penggunaan teknologi nuklir.

Awalnya keberadaan nuklir ini ditujukan untuk kemaslakhatan umat yang ada dunia ini. Masih terlintas perang dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat. Teknologi nuklir dijadikan senjata pemusnah massal bagi musuh-musuhnya. Membuat orang merinding mendengar kata nuklir. Belum lagi kecelakaan di reaktor nuklir, yang bisa menyebabkan efek sangat buruk dalam jangka pendek dan jangka panjang pada manusia seperti kejadian di Chernobyl - Ukraina di era 80-an.

Namun seiring berkembangnya zaman, teknologi ini layak untuk diperhitungkan. Tanpa kita sadar sebenarnya teknologi ini telah kita gunakan di beberapa rumah tangga kita. Penggunaan microwave adalah salah satunya. Melalui radiasi kecil, makanan bisa kita panaskan secara instan. Saat ini, pengembangan teknologi ini pun digunakan untuk pengawetan bahan makanan.

Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) telah mengembangkan teknologi nuklir ini berupa iradiasi untuk pengawetan pangan. Mitos nuklir yang menakutkan itu pun dihapus melalui penemuan penggunaan teknologi yang dikenalkan sejak tahun 1950 di Amerika Serikat. Munsiah Maha, seorang ahli iradiasi pangan dari BATAN menjelaskan, iradiasi pangan mempunyai kelebihan dan keunikan dibandingkan dengan proses pengawetan makanan yang selama ini banyak orang menggunakan. Penggunaan sinar-X, sinar gamma, dan sinar elektron, mempunyai daya tembus yang besar dan tidak menimbulkan perubahan suhu pada bahan pangan yang diiradiasi (Maha,M. 1981-1982, “Prospek Penggunaan Tenaga Nuklir dalam bidang Teknologi Pangan, PAIR-BATAN).

Beberapa penelitian di luar negeri menjelaskan jika jumlah makanan yang rusak akibat gangguan serangga atau mikro organisme di negara-negara yang sedang berkembang mencapai 20% hingga 40%, atau bahkan mencapai 60% sampai 70% di negara yang beriklim tropis. Nah, inilah yang sedang kita keluhkan. Banyaknya produk pangan kita terutama hasil perkebunan dan pertanian tak bisa dijadikan buffer stock (persediaan untuk penyelamat).

Akhir tahun 2010, kita sempat dikejutkan melejitnya harga cabe rawit yang harga saat itu bisa mencapai Rp 90 ribu per kilogram. Banyaknya lahan cabe dan kegagalan panen menjadi alasan terbesar meroketnya harga bahan sambal itu. Padahal, sebelumnya harga rata-ratanya hanya berkisar Rp 3 ribu hingga 5 ribu saja per kilogramnya. Wajar saja, jika Badan Pusat Statistik pun menjadikan cabe rawit sebagai komoditi penyumbang inflasi pada kelompok bahan makanan di akhir tahun 2010 sebesar 15,64%.

Data dari Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur menunjukkan, kontribusi rata-rata produksi sayuran di Jawa Timur terhadap nasional cukup besar. Antara tahun 2005 – 2009, komoditi cabe rawit sanggup berkontribusi secara nasional sebesar 33,53%, disusul komoditi bawang merah sebesar 28,10%. Sedangkan untuk buah-buahan seperti komoditi Jeruk besar mencapai 40,84%, disusul komoditi mangga sebesar 37,10% pada kisaran tahun yang sama.

Jika melihat kondisi seperti ini, wajar jika Jawa Timur merasa was-was jika kegagalan panen di pertanian akan menyebabkan inflasi seperti tahun sebelumnya. Konsepnya, pengendalian sumbangan inflasi, terutama  di kelompok  bahan makanan, akibat anomali cuaca tak menentu seperti saat ini bisa diatasi jika ada buffer stock yang cukup pada komoditi ini. Namun, kita masih terkendala dalam proses penyimpanan stok bahan komoditi tersebut, akibat tak bisa diawetkan dan disimpan dalam waktu yang sedikit lebih lama.

Penggunaan teknologi iradiasi pangan inilah yang diharapkan bisa memberikan terobosan baru agar bahan pangan terutama sayuran dan bahan makanan pokok bisa disimpan untuk buffer stock. Sehingga saat ada kegagalan panen akibat cuaca yang tak bersahabat, maka tak akan terjadi kelangkaan bahan makanan, yang secara otomatis tak akan menimbulkan gejolak harga yang besar akibat tingginya permintaannya.

Memang masih ada cara-cara konvensional untuk menyimpan bahan pangan ini, diantaranya, pengalengan, pengemasan, pendinginan, penggunaan bahan pengawet, pemanasan, dan fermentasi. Namun cara-cara tersebut, menurut ahli dari BATAN, Dr. Zubaidah Irawati,Apu (PATIR-BATAN), masih menimbulkan dampak negatif terutama pada bahaya jangka panjang setelah penggunaan ataupun perubahan rasa yang ditimbulkan. (paparan dalam “Sarasehan Teknologi Iradiasi untuk Pengawetan Pangan dan Sterilisasi”, 2 November 2011 di Ruang Binaloka, Kantor Gubernur Provinsi Jawa Timur). Sebagai contoh, saat terjadi bencana Tsunami tahun 2004 silam, beberapa bahan makanan bantuan dari swasta, seperti daging olahan dan ikan asap, untuk bantuan korban telah di-sterilisasi dan di-iradiasi, sehingga bisa bertahan untuk jangka waktu yang sedikit lebih lama. Bahkan, rasa dan bentuk sama sekali tak mengalami perubahan.

Membantu Ekspor Produk Agrobisnis

Data menunjukkan beberapa sentra sayuran dan buah-buahan seperti bawang merah, bawang putih, mangga, jeruk, manggis terdapat di Jawa Timur yaitu di daerah seperti Pasuruan, Probolinggo, Malang. Melihat potensi hasil hortikultura yang cukup besar, maka sasaran ekspor pun ikut menjadi target. Meski masih kalah dengan produk andalan ekspor seperti tembaga, kertas, kayu dan barang kayu, serta aluminium, tapi produk agrobisnis khusunya di Jawa Timur masih prospektif.

Kecilnya nilai ekspor tersebut ditengarai karena produk agribisnis ini tak bisa bertahan lebih lama. Hanya sekitar 1 hingga 2 bulan pasca panen, produk ini sudah tak dapat dikonsumsi lagi. Selain itu, ekspor buah Indonesia masih terkendala hama yaitu ulat buah. Beberapa buah asal Indonesia disebut masih belum berstandar kualitas bebas ulat buah agar layak ekspor. Padahal, beberapa buah asli Probolinggo, seperti mangga, memiliki potensi merambah pasar ekspor baru ke Korea Selatan. Bahkan, peritel modern terbesar di negara itu sempat mengutarakan keinginannya ekspor mangga secara besar-besaran.

Diharapkan dengan teknologi iradiasi, produk agrobisnis bisa bertahan lebih lama 6 bulan hingga 8 bulan. Secara perhitungan matematis, potensi kerugian pun sanggup direduksi antara 10% sampai 15%. Jika demikian, maka produk buah kita bisa comply di negara tujuan ekspor.

Kerjasama perdagangan regional ASEAN di tahun 2015 mendatang bisa menjadi sasaran tepat jika produk agribisnis kita bisa masuk di pasar ASEAN. Lihat saja data ekspor buah dari Badan Pusat Statistik (BPS), dimana volume ekspor buah Januari-Oktober 2011 mencapai 509.672 ton, naik 42,54% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 357.564 ton. Sementara untuk nilainya mengalami kenaikan hingga 60,27%, dari 214 juta dollar AS di tahun 2010, menjadi 344 juta dollar AS ditahun 2011.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun