Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Perahu Kertas Impian

26 Maret 2020   11:19 Diperbarui: 26 Maret 2020   11:40 48 0

Sorak-sorai temannya membuat suasana kelas menjadi riuh. Pak Suripto mengetuk meja berulang kali sambil menyeru, "Anak-anak mohon tenang!" Keributan itu bermula ketika pak Suripto, wali kelas tujuh sekaligus guru sejarah di SMP itu, menanyakan Alin tentang impian dan cita-citnya. Agus awalnya menolak untuk menjawabnya. Sebab, ia menilai ada yang aneh dengan impian dan cita-citanya. Berbeda dengan temannya yang lain, ada yang ingin menjadi guru agar bisa mengamalkan ilmunya, ada yang ingin jadi dokter agar bisa mengobati orang yang sakit, da nada yang ingin menjadi sang pejuang agar bisa memberantas koruptor, ada yang ingin menjadi imam agar di undang tahlilan hanya untuk mendapatkan kue. Yang terakhir itu impian dan cita-cita Angga, teman sebangkunya.
Dalam keadaan terdiam di kursinya, anak perempuan itu terus berpikir dalam otaknya, "Bagaimana cara mewujudkan impian dan cita-citaku?" Tanyanya dalam hati. "Apa impian impian dan cita-citaku bisa terwujud?" ia semakin larut dalam pikirannya sendiri. Jika impian dan cita-citanya seperti teman yang lainnya, maka mungkin saja bisa terwujud. Dengan sekolah setinggi-tingginya, semua itu akan tercapai. Kecuali impian dan cita-cita Angga, karena tidak perlu menjadi imam untuk mendapatkan kue.
"Apa impian dan cita-citamu Alin?" pak Suripto kembali bertanya.
Kali ini dia tak bisa menghindar lagi dengan terus berdiam dengan pikirannya. Pak Suripto terus-terus bertanya hingga membuatnya terpojok, di tambah lagi dengan tatapan teman-temannya yang tertuju padanya.
"Bilang! Apa impian dan cita-citamu? Semua orang harus punya impian dan cita-cita," kata pak Suripto yang berdiri di depan bangkunya.
"Kamu mau jadi polwan?" Tanya pak Suripto sambil menatap Alin sambil tertunduk. Anak itu menggelengkan kepala.
"Jadi pengusaha?"
Kembali Alin menggelengkan kepalanya.
"Lalu kamu mau jadi apa?" Tanya pak Suripto lagi.
Alin mengeluarkan kertas yang sudah di lipat sedikit menyerupai perahu dan di berikan pada pak Suripto. Melihat kejadian itu, seisi kelas menjadi ramai dengan tawa dan sorak temannya yang mencibir. Pak Suripto pun tak mampu menahan hatinya yang tergelitik dengan kejanggalan itu, dan secercah senyum pun lepas dari wajahnya yang sudah mulai keriput.
Danu tertunduk malu karena di tertawakan temannya. Angga pun juga ikut tertawa.
Pak Suripto seketika itu menenangkan suasana kelas,dan kembali memandang Alin dengan sisa senyum di wajahnya.
"Maksud kamu apa Alin dengan dengan kertas perahu itu?" Tanya pak Suripto.
Alin membenam wajahnya, kepalanya tertunduk diatas lipatan kedua tangannya, matanya menekur sepatunya yang menggesek-gesek lantai di bawah mejanya.
"Tak  apa, setiap orang boleh memiliki impian dan cita-citanya sendiri. Terserah! Apa saja," kata pak Suripto membujuk sambil memegang punggungnya.
Pak Suripto terus membujuk Alin agar mau menjelaskan mengenai kertas perahu yang di perlihatkannya. Selain ia harus membuat setiap siswanya mampu menjelaskan impian dan cita-cita mereka sesuai dengan indikator pembelajaran, pak Suripto pun penasaran dengan maksud kertas perahu yang di berikan Alin.
Akhirnya Alin pun berhasil di bujuknya, dan perlahan anak perempuan itu mengangkat kepalanya menatap teman-temannya yang memandangnya bingung, ada juga yang menatapnya dengan tawa yang di tahannya. Kemudian Alin menatap wajah pak Suripto dengan wajahnya yang malu-malu.
"Apa nak? Bilang! Tidak apa-apa tidak usah takut." Ucap pak Suripto meyakinkan Alin yang terlihat masih ragu-ragu untuk mengatakannya.
"Impian dan cita-citaku ada di dalam kertas perahu ini, aku menulisnya di kertas dan aku lipat seperti perahu dan aku hanyutkan ke sungai," kata Alin menjelaskan dengan suara gemetar.
"Oh..." Seru pak Suripto.
"Kenapa kamu melakukan itu?" Tanya pak Suripto menggali lebih dalam, berusaha membuat Alin menjelaskan alasannya.
"Karena kata-kata itu tidak boleh di ucapkan,"
"Kenapa?"
" Karena kalau di ucapkan, nanti iblis dengar, dan iblis akan menggagalkannya," jelas Alin
"Siapa yang bilang begitu?" Tanya pak Suripto lagi.
"Ibuku," jawab Alin datar.
Alin dan ibunya tinggal di sebuah rumah di desa, dekat dengan sungai. Rumah itu di beli dari seorang pejabat yang pindah ke kota, dengan uang tabungan dari hasil usaha jualannya.
Rumah berarsitektur tahun 90an itu memiliki dua kamar. Kamar tengah, sebagai kamar tidur Alin, sementara kamar depan di tempati ibunya. Rumah itu hanya di huni oleh Alin dan ibunya, sedangkan ayahnya sudah lama meninggal. Di beranda depan, ada dua kursi santai dan meja kayu berwarna coklat, bunga-bunga yang bermekaran dalam pot yang sangat cantik dan rapi, satu pohon mangga yang tumbuh dekat pintu pagar, dan sungai tidak jauh dari pinggir rumahnya. Di sanalah biasanya Alin bermain saat pagi hari. Kadang duduk di kursi sambil melihat orang-orang berlalu lalang di depan rumahnya. Terkadang terdiam melihat sepasang orang tua membawa anak mereka membuat Alin iri.
" Alin masih berfikir dan selalu bertanya-tanya dalam hatinya tentang impian dan cita-cita yang sering pak Suripto tanyakan padanya!"
Hingga suatu hari, Alin menemukan secarik kertas di sebuah loker dikamarnya, Alin sangat penasaran dengan isi didalamnya, dan Alin mulai membuka dan membacanya.
" Setelah membaca Alin mulai sedikit mengerti dengan pertanyaan pak Suripto tempo lalu!"
 " Belajarlah dari mereka, jangan takut bermimpi. Lebih baik gagal tapi mempunyai mimpi daripada gagal tapi tidak pernah mempunyai mimpi sama sekali. Alin sangat bersemangat setiap kali membaca kata-kata itu, kata-kata itu juga sangat mengispirasi Alin.
" Dengan perahu kertas itu, Alin yakin dengan impian dan cita-citanya, walaupun Alin hanya mengejar  mimpi-mimpinya yang semu, dan Alin tidak akan membiarkannya hanya sekedar isapan jempol belaka."
"Man jadda wa jadda"! Alin terus menerus menulis kata itu di perahu kertasnya dengan sangat begitu yakin".
" Tulisan di secarik perahu kertas itu semuanya sama!, tak ada satupun yang berubah.
"Alin pergi kesungai untuk menghanyutkan perahu kertasnya, Alin tersenyum ketika arus sungai membawanya".


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun