Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Mengupas Makna di Balik Slogan "Kepak Sayap Kebhinekaan" pada Baliho Puan Maharani

21 Agustus 2021   19:12 Diperbarui: 21 Agustus 2021   19:18 2020 3
Jargon "Kepak-Kepak Sayap Kebhinekaan" kini marak jadi perbincangan, setelah menjadi konten pada baliho bergambar Ketua DPR RI Puan Maharani. Yang menarik, pemilihan tema kebinekaan ini ternyata memuat filosofi yang mendalam, menyentil akar permasalahan sosial yang kerap timbul dalam bermasyarakat dan bernegara.

Menurut Rahmat Sahid, Direktur Politik Sudut Demokrasi Riset dan Analisis (Sudra) dalam tulisannya berjudul "Menangkap Pesan Kebhinekaan di Baliho Puan Maharani yang Jadi Polemik", kebhinekaan adalah warisan etnisitas yang telah melahirkan nilai-nilai luhur dari leluhur masyarakat Nusantara, yang kini bernama Indonesia.

Rahmat berpendapat bahwa semangat kebhinekaan selayaknya terus hidup dalam setiap jiwa anak bangsa, tak boleh usang dengan alasan perkembangan teknologi dan informasi. Fitrah kebangsaan ini, lanjut dia, tak boleh juga lekang karena pengaruh revolusi industri 4.0 yang menuntut transformasi di segala lini kehidupan.

"Upaya untuk mampu bersaing dengan dunia global---dengan menyiapkan kompetensi sumber daya manusia (SDM) serta kecanggihan piranti teknologi---tidak boleh menjadi alasan untuk mengesampingkan kebhinekaan," kata Rahmat.

Menjaga kebinekaan pun tampaknya selalu terbentur dengan berbagai tantangan. Dia mencantumkan sebuah temuan riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta yang dirilis pada Maret 2021.

Studi tersebut mengungkapkan bahwa 30,16% mahasiswa Indonesia masuk kategori rendah sikap toleransinya. Rinciannya, mahasiswa yang sikap toleransi beragama rendah sebanyak 24,89% dan yang sangat rendah sikap toleransinya sebanyak 5,27%.

"Fakta itu cukup mencengangkan karena terjadi di kalangan mahasiswa, yang merupakan pemegang masa depan bangsa, yang padanya melekat label agent of change. Dalam konteks sekarang, mahasiswa seharusnya adalah kaum terpelajar dan terdidik yang paling adaptif mengikuti perkembangan revolusi industri 4.0 dalam bidang teknologi dan informasi," kata Rahmat.

Oleh karena itu, Rahmat menilai bahwa sangat relevan ketika dalam konteks kekinian seorang aktor dan komunikator politik seperti Ketua DPR Puan Maharani menjadikan kebhinekaan sebagai narasi utama dalam pesan komunikasi politiknya.

Dia beranggapan bahwa baliho politik bergambar Puan Maharani dengan tagline "Kepak Sayap Kebhinekaan" perlu disikapi secara positif, agar masalah kebhinekaan menjadi diskursus di ruang publik.

"Di sisi lain, pesan kebhinekaan yang menjadi diskursus substantif di ruang publik juga diharapkan akan semakin menumbuhkembangkan kesadaran betapa berharganya persatuan dan kesatuan di tengah keberagaman masyarakat di Indonesia yang sama-sama kita cintai ini," tutup Rahmat.

Tantangan dalam kebinekaan

Sementara itu, dalam tulisan lain berjudul "Kebinekaan sebagai Modal Sosial", Jannus TH Siahaan, Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran mengatakan bahwa filosofi ini indah karena tidak hanya menjamin kesetaraan dalam kebhinekaan agama, tetapi juga suku, ras maupun golongan di Indonesia, karena agama sering melekat dengan ketiganya.

"Konsep pendirian negara bangsa (nation state) oleh Sukarno menegaskan asas kesetaraan dalam ketatanegaraan, di mana setiap orang dijamin berkedudukan sama di hadapan hukum. Hal tersebut menguatkan konsensus pendiri bangsa sebelumnya bahwa Pancasila yang berjiwa inklusif sebagai dasar NKRI," tulis dia.

Sayangnya, Jannus menilai bahwa kebinekaan Indonesia belum dilembagakan sepenuhnya karena komunikasi sering hanya berlangsung dalam komunitas masing-masing. Interaksi antarwarga negara dengan mindset silo (terisolasi) akan gagal mewujudkan motto "kebinekaan adalah anugerah" karena gagal menjadikannya sebagai modal sosial yang produktif.

"Saya kira, di sinilah peran Pancasila sangat krusial. Para pendiri bangsa sebenarnya sudah melakukan diskusi dan pendalaman serius terkait problem ini sehingga melahirkan Pancasila sebagai dasar negara. Bung Karno menggali Pancasila dari nilai-nilai luhur bangsa berdasarkan kekayaan tradisi, budaya, adat, dan agama," kata Jannus.

Pada sebuah kesempatan, Presiden Joko Widodo juga pernah mengungkapkan bahwa di sisi lain, kebinekaan juga disertai dengan tantangan-tantangan. Tantangan yang harus dihadapi, kata Jokowi, berupa kebutuhan untuk menjaga toleransi antar kelompok dan bagaimana menjaga perbedaan itu tetap terikat dalam satu kesatuan.

Sementara itu, menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, Keberagaman dan kebhinekaan di Indonesia harus kita jalin dengan baik.

"Saya sebagai umat hindu di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama islam merasa nyaman berada di Indonesia. Tugas kita semua adalah bagaimana membina kerukunan tersebut agar semakin lebih baik. Mari kita hormati keberagaman, jaga Negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila," ucap Bintang.

Senada dengan Menteri Bintang, Wakil Menteri Agama, Zainut Tauhid mengatakan bahwa kerukunan merupakan modal berharga bagi Bangsa Indonesia. Kedewasaan berpikir seluruh umat beragama dan peran tokoh agama dalam menyebarluaskan nilai-nilai agama juga sangat penting untuk menjaga persatuan bangsa.

"Kita semua wajib menyadari bahwa kerukunan antara umat beragama merupakan modal berharga bagi keberlangsungan hidup bangsa kita. Perlu kedewasaan berpikir para pemeluk agama dengan pemahaman moderasi beragama yang komprehensif, sehingga dapat mencegah berkembangnya pemahaman radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme," kata Zainut.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun