Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Banjir Akibat Pelanggaran HAM

4 Januari 2020   22:09 Diperbarui: 5 Januari 2020   06:17 792 0
Awal tahun yang disambut riang oleh sebagian orang dengan berbagai perlengkapan meriah mulai dari petasan, terompet, kerang, jagung, ayam, dan tidak lupa arang untuk membakarnya. Namun menjadi cerita lara bagi sebagian masyarakat Ibukota dan sekitarnya yang memulai tahun baru beriringan dengan bencana banjir.

Banjir di Ibukota sudah menjadi masalah klasik yang menjadi kutukan bagi kota metropolitan seperti Jakarta. Dan sudah menjadi tradisi salah menyalahkan antara masyarakat dan pemerintah ketika air meluap dan merendam apapun yang digenanginya.

Lalu siapa yang harus disalahkan? Siapa yang harus bertanggung jawab? Dan apa solusinya?

Sebagai seorang guru geografi, mengangkat permasalahan banjir baik di Ibukota atau di daerah manapun selalu menjadi pembahasan yang menarik.

Mengapa kita tidak boleh membuang sampah sembarangan ke sungai? Mengapa wilayah hutan di bagian hulu harus dijaga? Mengapa kita harus menjaga lahan terbuka hijau diperkotaan? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya mengenai filosofi terjadinya banjir selalu memiliki beragam jawaban.

Namun, selalu pertanyaan seperti ini berujung pada jawaban mengenai agar manusia yang enak, agar manusia yang dapat menikmatinya, dan agar manusia yang tidak terdampak.

Misal, mengapa kita tidak boleh membuang sampah sembarangan? Karena kalau ada banyak sampah di badan sungai, ketika memasuki musim penghujan maka akan berpotensi banjir. Dan kalau sudah banjir, maka repotlah Manusia menyelamatkan barang berharganya.

Apakah jawaban ini salah? Tentu tidak... Tapi dari jawaban ini menunjukan manusia adalah makhluk yang egois. Uuppss...  egois!

Membuang sampah sembarangan ke badan sungai memang dapat menyebabkan banjir ketika masuknya musim penghujan akibat tersumbatnya dan menyempitnya aliran air di badan sungai. Namun bukan itu esensi dari pertanyaan tersebut.

Mengapa kita tidak boleh membuang sampah sembarangan ke badan sungai? Karena itu akan merenggut hak asasi ikan, cebong, yuyu (kepiting kecil air tawar), ular dan berbagai makhluk lainnya yang bertempat tinggal disana.

Mengapa kita tidak boleh melakukan alih fungsi lahan di wilayah hulu sungai? Karena itu akan merenggut hak asasi pohon, ular, tikus, burung, berbagai jenis serangga dan makhluk lainnya yang hidup disana.

Mungkin sebagian dari kita tidak pernah berfikir mengenai hak asasi pohon, ular, tikus, serangga dan lainnya. Dan terdengar menggelitik untuk membahasnya. Namun disitulah sikap ketidak acuhan manusia yang tidak memperhatikan hak asasi setiap makhluk hidup di muka bumi. Kalau yang dibahas HAM (Hak Asasinya Manusia) bicaranya sudah menggunakan urat, tapi tidak pernah sedikitpun kita berdiskusi para pelaku illegal logging yang telah merenggut ratusan hak asasi pohon untuk hidup berdampingan dengan burung, ular, serangga, dan makhluk lainnya.

Sudah seharusnya ditanamkan kesadaran bagi setiap peserta didik untuk memahami arti pentingnya hidup serasi dan berdampingan dengan makhluk ciptaan tuhan lainnya. Tidak selalu kita menceritakan mengenai bagaimana memenuhi kebutuhan manusia, tapi juga kebutuhan ikan, cebong, tikus, ular, pohon, wereng dan lain sebagainya.

Dengan memahami HAM (Hak Asasi Makhluk hidup), kita akan mengetahui jika semua makhluk tercipta melengkapi rantai kehidupan yang saling mengkait dan menyempurnakan. Manusialah satu-satunya makhluk hidup yang mampu memutus rantai kehidupan sehingga memunculkan ketidak seimbangan dan berdampak pada seluruh makhluk hidup.

Maka jangan salahkan air yang mengalir dari hulu Bogor ke hilir Jakarta! Dia mengalir mematuhi hukum tuhan (biasa kita sebut hukum gravitasi). Jangan salahkan tanah yang tidak mampu melakukan infiltrasi dengan maksimal. Jangan menyalahkan sungai yang meluap dan tidak mampu menampungnya. Jangan menyalahkan pintu air yang tidak sanggup menaham luapan air kiriman dari hulu. Dan jangan hanya salahkan gubernurnya saja!

Bukankah sedikitnya lahan terbuka di Jakarta, karna manusia butuh lapangan kerja dan pemukiman?. Dan Bukankah tingginya konversi lahan di wilayah hulu Bogor, karna disana kawassan favorit yang terjangkau masyarakat Ibukota?.

Di kelas kami selalu mendapatkan solusi mengenai permasalahan banjir Ibukota. Namun itu hanya sekedar hipotesis atau justru menjadi cerita fiksi karna memang tidak pernah terealisasikan.




KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun