Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Aduhh, Jangan Dilempar Berkas Pena Saya!

20 Oktober 2010   05:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:16 257 0
[caption id="attachment_295869" align="alignleft" width="218" caption="Surat-surat RA Kartini kemudian dibuat buku "Habis Gelap Terbitlah Terang" (www.google.com)"][/caption] Jangan sekali-kali membuang berkas (naskah) tulisan, hanya gara-gara tidak dimuat atau tidak ada yang mengapresiasi! Bisa jadi kita menjadi orang paling menyesal .... Mari mulai belajar mendokumentasikan.  Beberapa contoh di bawah ini mungkin bisa memotivasi kita untuk mencoba belajar mengarsipkan buah karya kita. Berkas tulisan di Majalah dinding, buletin atau koran dan majalah, dimuat atau tidak dimuat harus tetap diarsipkan. Bisa dengan kliping, bundel, atau  kalo bisa punya koleksi CD kumpulan karya kita. Mengapa? Coretan yang kita buat berupa ekspresi diri kita baik kegundahan, rasa gelisah, atau rasa cemas sesungguhnya dapat dinikmati suatu ketika.  Diary tentang suka duka, pahit getir dan romantika kehidupan semasa remaja di SMP dan SMA boleh jadi menjadi kenangan manis manakala dibaca-ulang di saat ini.  Suatu potret kepolosan dan "kenakalan" di masa remaja tak mungkin bisa diulang.  Manfaatnya, sebagai hiburan sekaligus mengambil hikmah dari episode lalu. Manfaat lainnya, koleksi berceceran bila dikumpulkan bisa menjadi mahakarya luar biasa.  Becermin pada ceceran surat-surat RA Kartini yang secara telaten dikumpulkan karibnya, dr. Abendanon kemudian dijadikan sebuah Buku Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) yang kini banyak diburu. Begitu pula buku Catatan Harian Seorang Demonstran, karya Soe Hok Gie danPergolakan Pemikiran Islam, karya Ahmad Wahib, merupakan buku disambut antusias publik berasal dari berkas catatan harian. Contoh lainnya, Pak Witarsa, guru SD di desa terpencil di Kabupaten Bandung.  Hobinya menulis buku.  Baik cerita anak, carita pondok (cerpen) dan puisi.  Sampai tahun 2000, telah memiliki koleksi setidaknya 10 judul buku bacaan anak, seperti: "Bu Guru Andini", "Mimpi Anak Kawah Putih", dan lain-lain.  Jajang - panggilan umumnya orang Sunda terhadap anak lelaki disingkat Jang - ia tetap mengoleksi dan memiliki prinsip seraya berharap, suatu ketika naskah-naskahnya berubah wujud menjadi buku bacaan atau paling tidak dihargai orang lain. Ketika ada lomba buku bacaan, Jajang mengirimkan karya-karya ke Panitia Lomba. Hasilnya ternyata gagal total. Tapi dirinya tak patah arang, ia terus berusaha.  Seperti dikutip dari bukunya, Jang Guru (2005:76) suatu ketika ia mencoba mengajukan  surat ke Kepala Proyek Pengadaan Buku Bacaan SD/MI, ternyata luar biasa. Karya-karya Jajang diborong dan dicetak menjadi buku bacaan untuk perpustakaan sekolah.  Kegembiraan lainnya, lewat buku bacaan Jajang berhasil menjadi pemenang Sayembara Penulisan Naskah Buku Bacaan tahun 2000, 2003 dan 2004. Termasuk beberapa autobiografinya seperti:Dari Berlumur Lumpur Hingga Menjadi Tamu Negara (2003)  dan Jang Guru (2004). Untuk itu, jangan sekali-kali buang berkas karya tulis kita. Suatu ketika pasti dibutuhkan.  Semakin tua usia tulisan akan semakin berkesan dan bermakna! (**)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun