Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Sosbud

Pemikiran Cak Nur dalam Politik Islam di Indonesia

28 Juni 2022   09:30 Diperbarui: 28 Juni 2022   09:41 830 2
  1. Biografi Cak Nur
    Nurcholish Madjid lahir pada 17 Maret tahun 1939, dan meninggal 29 Agustus tahun 2005 pada usia 66 tahun. Beliau adalah salah satu filosof Islam papan atas Indonesia, dan beliau telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi filsafat Islam kontemporer, khususnya dalam hal persiapan" Umat Islam Indonesia memasuki zaman modern," pada tahun 1990. Nurcholish, seperti para pemikir "modernis" atau "liberal" lainnya di Indonesia dan di seluruh dunia, menyadari sepenuhnya perubahan sosial besar-besaran yang berdampak pada dunia Islam saat ini.Sementara itu, sejak Indonesia merdeka, dinamika dan evolusi agama dan politik di tanah air begitu merusak sehingga tak pelak lagi berdampak pada situasi umat Islam Indonesia. Apalagi jika dilihat bahwa umat Islam merupakan mayoritas masyarakat Indonesia (sekitar 88 persen menurut Sensus 2010), dan bahwa apapun perubahan yang terjadi pada masyarakat Indonesia akan berdampak dan berdampak pada perkembangan umat Islam.
    Latar belakang pesantren yang kental dengan khazanah tradisional Islam menjadi salah satu ciri khas tumbuhnya pemikiran Nurcholish seperti yang terlihat dalam buku-bukunya. Dia menghabiskan masa remajanya di sekolah asrama, yang tidak diragukan lagi memengaruhi pola pikirnya. Pemikiran Nurcholish sebenarnya adalah semacam "reformasi pemikiran pesantren". Apalagi, dia sudah lama menduga bahwa pesantren menghadapi tantangan berat saat ini. "Jika [pesantren] tidak dapat merespons dengan tepat, pesantren akan kehilangan relevansinya, dan akarnya di masyarakat akan terputus dengan sendirinya, dengan segala biaya yang ditimbulkannya."
    Nurcholish lahir di Jombang, Jawa Timur, dari keluarga pesantren. Berasal dari keluarga NU (Nahdlatul 'Ulama'), namun terkait dengan politik modernis Masyumi. Di Mojoanyar dan Bareng, ia mengenyam pendidikan dasar (SR), serta di Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar, Jombang. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di Pesantren Darul 'Ulum, Rejoso, Jombang, sebuah pesantren (tingkat menengah pertama SMP dan SMA). Ia tidak betah di pesantren karena ia berasal dari keluarga Masyumi NU, oleh karena itu ia pindah ke pesantren modernis, yaitu KMI (Kulliyatul Mu'allimin Al-Islamiyyah), Pondok Pesantren Darus Salam di Gontor, Ponorogo. Dalam setting ini, ia mengasah berbagai kemampuan fundamental Islam, termasuk bahasa Arab dan Al-Qur'an.
    Nurcholish bersekolah di Pesantren Gontor, di mana ia memperoleh berbagai keterampilan dasar dalam ilmu-ilmu agama Islam, kemudian masuk di fakultas adab di IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, di mana ia mengambil jurusan sastra Arab dan lulus dengan gelar Sarjana Lengkap (Drs .) pada tahun 1968. Kemudian, dari tahun 1978 hingga 1984, ia belajar ilmu politik dan filsafat Islam di University of Chicago, mendapatkan gelar Ph.D. dalam filsafat Islam (Pemikiran Islam, 1984) dengan disertasi tentang teori kalam Ibnu Taimiyah. Karir intelektualnya sebagai pemikir Muslim dimulai di IAIN Jakarta, terutama selama dua periode sebagai Ketua Umum PB HMI (Persatuan Mahasiswa Islam), 1966-1968 dan 1969-1971. Antara tahun 1969 hingga 1971, ia menjabat sebagai presiden pertama PEMIAT (Perhimpunan Mahasiswa Islam Asia Tenggara) dan sebagai Wakil Sekretaris Jenderal IIFSO (Federasi Organisasi Mahasiswa Islam Internasional)

  2. Corak Pemikiran Cak Nur
    Setidaknya ada tiga faktor penting yang mempengaruhi pemikiran Cak Nur, selain pengaruh lingkungan keluarga, pendidikan di Gontor, dan pendidikan dari Amerika. Pertama, faktor sosial-keagamaan, yaitu meningkatnya transparansi disintegrasi agama dan perselisihan internal umat Islam karena tidak adanya otoritas kepemimpinan tunggal. Kedua, komponen kehidupan politik yang mengakui tiga tahapan besar dalam proses pertumbuhan Indonesia, yaitu tahapan Orde Baru, Orde Lama, dan Orde Reformasi.Lingkungan politik negara memandang sinis terhadap aktivitas umat Islam baik di masa orde lama maupun orde baru. Ketiga, alasan ekonomi, yang mengungkapkan bahwa meskipun umat Islam adalah mayoritas di Indonesia, mereka juga yang paling miskin dan terbelakang, serta hegemoni siklus ekonomi yang dikendalikan oleh sejumlah sekutu dekat.
    Beberapa unsur tersebut di atas berdampak pada cara berpikir Cak Nur, namun menurut Azumardi Azra, Cak Nur adalah seorang pemikir yang sulit untuk dikategorikan ke dalam satu kategori. Faktor-faktor mungkin dipengaruhi oleh Fazlur Rahman atau Ibn Taimiyyah, tetapi Dia juga bisa sangat kreatif dan berbeda secara imajinatif dari mereka. Hal inilah yang memungkinkan terjadinya ketidaksesuaian dalam penentuan tipologi.
    Sebelum tahun 1970, pemikiran Cak Nur didefinisikan dengan pendekatan idealis, menurut Sufyanto, namun setelah tahun 1970, metode yang digunakan bersifat pragmatis. Di Indonesia, ia dianggap sebagai seseorang realistis karena metode terapi kejutnya.
    M Syafii Anwar mengklasifikasikan Cak Nur sebagai orang yang substantif dalam perjalanan berikut, menyiratkan bahwa refleksinya adalah melakukan upaya besar terhadap filsafat dan orientasi politik yang menekankan ekspresi substansial prinsip-prinsip Islam (perintah Islam) dalam aktivitas politik. Bukan hanya dari segi penampilan, tetapi juga dari segi struktur kepercayaan dan struktur politik mereka. Perlu dicatat bahwa setiap kali Cak Nur menyampaikan pendapatnya, ia akan selalu dikaitkan dengan isu-isu politik; inilah yang membedakan (manhaj fikr) Cak Nur sebagai pemimpin pemikiran dan pengamat politik dalam setiap pemikirannya.

  3. Pemikiran Cak Nur dalam Politik Islam di Indonesia
    Pendapat Cak Nur seringkali mencakup dua topik sekaligus, yakni agama dan negara. Cak Nur seringkali berusaha mengumpulkan pemikiran-pemikiran yang tersebar yang seringkali diabaikan oleh para politisi di ranah negara. Salah satunya adalah Islam politik, yang merupakan pendekatan kritis Cak Nur sebagai intelektual yang bersemangat tentang perlunya mempromosikan proses demokrasi yang sedang berlangsung di sekitar kita. Proses demokrasi akan berhasil jika mampu membuka dinamika pengawasan dan keseimbangan masyarakat (checks and balances)Cak Nur menjelaskan hubungan tidak langsung antara agama dan negara, khususnya pada tataran filsafat politik, secara lugas dan padat. Legitimasi nilai-nilai politik yang mengarah pada kebaikan bersama ditopang oleh agama. Karena karakter negara seharusnya netral secara agama, bahasa politik juga harus netral. Pemikiran politik ini dibagi dalam berbagai kategori oleh Cak Nur, antara lain demokrasi, keadilan, dan keterbukaan.

    Pemikiran Demokrasi
    Salah satu ide Cak Nur adalah untuk mengangkat topik demokratisasi Indonesia. Demokrasi diartikan sebagai terbukanya dinamika masyarakat dalam pengawasan dan keseimbangan (checks and balances). Demokrasi bukanlah demokrasi, tetapi kediktatoran, ketika dirumuskan "sekali dan untuk semua" tanpa ruang untuk perbaikan atau perubahan. Pendekatan demokrasi Cak Nur menekankan pentingnya keterlibatan politik yang luas dan otonom dari masyarakat.
    Ide-ide Cak Nur tentang masalah demokratisasi di Indonesia antara lain;[1]
     
    Pluralisme
    Pluralisme adalah topik penting yang menarik perhatian banyak pemikir Muslim, terutama Cak Nur. Karena Indonesia merupakan negara kepulauan dari segi geografis. Apalagi Indonesia memiliki keragaman suku, dialek, dan budaya yang menunjukkan tingkat pluralitas yang tinggi. Di sisi lain, budaya Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pengaruh berbagai kepercayaan dan agama yang berkembang di tanah air. Akibatnya, kedewasaan politik, kemampuan untuk menerima perbedaan, dan kemampuan untuk menyelesaikan perbedaan tersebut dalam batas-batas keadaban politik, semuanya diperlukan untuk demokrasi.
    Pluralisme, menurut Cak Nur, harus dipandang sebagai pelibatan keragaman yang sejati dalam batas-batas keadaban. Pluralisme, dengan demikian, adalah tatanan sosial di mana kita harus bersedia terlibat dalam perbedaan dan menyelesaikan konflik dengan cara yang beradab.

    Pemikiran Tentang Keadilan
    Semua manusia, secara teori, ingin diperlakukan sama dalam ranah hukum, politik, dan ekonomi. Jika kita melihat kembali persoalan ketidakadilan di bangsa kita, Indonesia, seringkali menjadi sumber ketegangan dan kontroversi di masyarakat Indonesia.

    Ide-ide Cak Nur tentang keadilan antara lain;
     
    Pemberantasan korupsi
    Menurut Cak Nur, Gunnar Midral, ekonom Swedia peraih Nobel, Indonesia termasuk dalam kelompok negara berkembang sebagai kelompok "negara lunak". Tidak adanya disiplin sosial, serta penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan pribadi oleh orang-orang yang memiliki kekuatan ekonomi, sosial, dan politik, disebut sebagai "lunak." Kelas atas memiliki banyak peluang untuk disalahgunakan, tetapi orang-orang dari kelas bawah juga memiliki banyak peluang untuk keuntungan kecil, yang disebut sebagai gejala korupsi.
    Korupsi adalah sistem politik yang dapat diarahkan dengan tingkat presisi yang wajar oleh mereka yang berkuasa. Akibat terburuk dari meningkatnya korupsi adalah tumbuhnya sinisme di masyarakat, serta menurunnya kemauan untuk melawan godaan menerima suap di semua tingkat pemerintahan. Korupsi juga memasukkan komponen yang tidak logis ke dalam rencana perencanaan dan pelaksanaan (misalnya, pembangunan) dengan mendistorsinya.
    Karena realitas korupsi begitu kompleks, dan konsekuensinya begitu dahsyat, satu-satunya cara untuk memberantasnya adalah dengan munculnya kemauan politik yang kuat dan kepemimpinan yang hebat. Kemauan politik yang kuat dan pemimpin yang menginspirasi harus bekerja bersama-sama.

    Pemikiran Tentang Keterbukaan
    Satu hal yang patut kita syukuri adalah pengakuan bahwa Pancasila adalah ideologi terbuka. Pancasila adalah ideologi modern yang diwujudkan pada zaman modern dan dihadirkan oleh seseorang atau sekelompok orang yang berwawasan modern, yaitu para pendiri negara republik Indonesia, dengan tujuan memberikan landasan filosofis bersama bagi masyarakat modern majemuk, yaitu orang-orang Indonesia. Karena Pancasila merupakan ideologi yang dinamis sebagai produk pemikiran modern, dan karena sifatnya yang dinamis memungkinkan Pancasila untuk dipahami dan dipandang sebagai filsafat terbuka.
    Akibatnya, interpretasi satu-of-a-kind (satu dari semua) tidak mungkin, dan Pancasila tidak memungkinkan satu badan memonopoli kewenangan untuk menafsirkannya. Rakyat harus diberi kebebasan untuk berpartisipasi aktif dalam upaya menerjemahkan prinsip-prinsip ideologi nasional dan mewujudkannya dalam kehidupan masyarakat, menurut Cak Nur. Upaya apapun untuk menghentikannya akan membawa malapetaka, tidak hanya bagi negara dan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang beragam, tetapi juga bagi ideologi nasional sebagai titik awal pembentukan gaya hidup bersama. Maka, sesuai dengan konsepsinya sebagai landasan kehidupan sosial politik yang majemuk dan modern, Pancasila harus menjadi ideologi yang terbuka.

    Ide-ide Cak Nur tentang keterbukaan antara lain;
     
    Pandangan Sosial PolitikGerakan reformasi dimaknai dengan kritik terhadap kondisi saat ini dan upaya untuk mencapai negara yang lebih baik. Karena logika ini, tidak ada reformasi yang bisa dimulai dari bawah ke atas, betapa pun radikal dan fundamentalnya reformasi itu. Gerakan reformasi harus dipandang sebagai kelanjutan alami dan organik dari tingkat pluralitas dan dinamika pembangunan masyarakat. Pandangan sosial-politik ini sah-sah saja, menurut Nurcholish Madjid, sepanjang tidak secara mutlak menolak dan menghambat semangat kemaslahatan bersama di antara semua golongan tanpa diskriminasi atau perbedaan  
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun