Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Lukisan Wanita Ungkluk

11 Juli 2019   18:01 Diperbarui: 11 Juli 2019   18:03 22 1
Aku tidak mungkin akan menghadiri undangannya jika tidak mengingat ia adalah kawan baikku. Huh! Melihat lukisannya yang jauh dari kata menarik di pikiranku saja tidak pernah terpikirkan olehku. Kalau saja aku tidak pernah mengikrarkan janji padanya. Dasar lidah tak bertulang yang dengan lancangnya mengeluarkan kata-kata bermakna persetujuan.

Kawan baik seperti apa yang kalian harapkan? Pertemuan kami sangat singkat, bahkan pertemuan yang tidak bisa diduga. Hanya satu jam atau mungkin setengah jam lebih tepatnya. Tidak, kurasa empat puluh lima menit itu lebih tepat.

Rabu malam yang dingin. Suasana bar terlihat biasa saja, jauh dari kesan ramai. Tidak bisa disebut sepi juga. Mungkin belum terlalu malam karena belum begitu nampak banyak pengunjung. Namun, aku sudah menyelesaikan _one night stand_-ku.

"Margarita?"

"Ya. Aku tidak ingin mabuk malam ini. Kurasa segelas margarita masih membuatku nampak waras," kataku setelah meneguk minuman yang telah kutaburi garam di depanku.

"Lagi pula ini masih sore, masih banyak urusan yang harus aku selesaikan," lanjutku seraya melanjutkan tegukan berikutnya.

Kuselipkan sebatang rokok di antara bibirku yang bergincu merah menyala, menutupi warna aslinya yang hitam. Nyala api dari pemantik seorang pria di sebelahku mengharuskan kepalaku menengok ke arahnya.

Baru kusadari keberadaan pria yang menyapaku tadi. Rambut ikal dan kacamata berbingkai kotak bertengger di hidungnya yang mancung. Mata jenakanya tampak menyipit ketika menawarkan api dari pemantiknya. Sementara jari telunjuk dan jari tengah tangannya yang bebas terselip sebatang rokok yang terbakar sia-sia. Abunya dibiarkan menjuntai, hendak jatuh.

Di depannya nampak tablet sketsa dengan goresan yang masih setengah jadi. Kelihatan jelek dari arahku. Bukan bermaksud menghina. Goresan setengah jadi itu belum berwujud, tidak jelas ia akan melukis apa atau memang aku bukan pakar menilai lukisan. Pasalnya, belum ada yang mampu melukisku dengan sempurna. Kali pertama dan terakhir, aku dilukis dengan tubuh menyerupai batang korek api dan kepala seperti bola pingpong. Sejak saat itu aku memutuskan tidak boleh ada seorang pun yang melukisku.

Rupanya ia menyadari pandanganku yang belum beralih dari tablet sketsanya.

"Belum selesai."

Tangannya mulai meliuk, menggoreskan pena di atas benda pipih berukuran A4 itu. Perlahan namun pasti wujud seseorang mulai nampak.

"Cukup."

Kujentikkan jari hingga abu rokok itu rontok dari batangnya, berhambur masuk ke dalam asbak. Pandanganku beralih ke arah bartender yang sibuk meramu minuman.

"Kau bisa datang melihat lukisan ini sekitar tiga minggu lagi. Aku menunggu kehadiranmu."

"Hah?"

"Yup, aku mengundangmu melihat lukisan ini. Di hari pertama."

Pria itu beranjak meninggalkan kursinya.

"Bagaimana aku bisa tahu ...?"

"Kau akan tahu dan kupastikan kau akan tahu itu, Wanita Ungkluk!"

"Oke, aku akan datang."

Maka, di sinilah aku berada sekarang, di dalam sebuah gedung bernama Galeri Nasional Indonesia. Sebenarnya aku enggan melangkahkan kaki setelah melihat undangannya yang benar-benar kentara.

Undangan itu berupa baliho dengan stempel kecil lunas pajak reklame yang terletak di dekat bar tempat kami bertemu. Ternyata bukan hanya itu, spanduk dengan tulisan serupa juga tersebar menjelang acara.

Pameran lukisan karya Baradi Mumtaz dengan tema dunia malam, mempersembahkan _masterpiece_ Wanita Ungkluk.

Deg.

Sejenak aku tertegun membaca tulisan yang ada di baliho di pojok jalan menuju bar.

Wanita Ungkluk?

Apakah ini undangan yang ia maksud?

Ini kali pertamaku datang ke gedung Galeri Nasional Indonesia, lebih tepatnya mendatangi pameran lukisan. Ternyata selain pameran lukisan, terdapat juga pameran seni instalasi.

Meski ini kali pertama bagiku, tapi aku tetap percaya diri dibanding mereka yang datang berbondong-bondong. Masa bodoh dengan pengetahuanku yang minim soal seni. Bukankah orang akan memandang penampilan dulu daripada otak yang tertutup rapat oleh kepala?

Kuyakinkan penampilanku sebelum melangkah lebih jauh menyusuri lorong. Gaun malam _sleeveless_ berwarna hitam sepanjang lutut dengan tas Hermes kw premium yang tidak akan diketahui dengan mudah oleh fashionista Hermes abal-abal.

Aku akui lukisan Baradi Mumtaz memang keren. Otakku yang nol besar soal seni saja berani memberi penilaian yang tinggi pada karya-karyanya. Kakiku melangkah pasti layaknya seorang pengagum sejati, sesekali aku manggut-manggut dengan dagu bertopang pada tangan kananku. Wah, elegan sekali gayaku malam ini.

Sudah setengah jam aku menjejakkan kaki di gedung ini, kini pandanganku mengarah pada lukisan yang memang mirip diriku.

Bibir merah menyala dengan sebatang rokok terselip. Tatapan mata tajam yang siap mengintimidasi lawan bicara serta alis tebal hasil lukisanku karena aku sudah mencukurnya habis. Ya, aku memang ahli melukis alis. Sepertinya, alis merupakan satu-satunya _masterpiece_-ku.

Belum puas aku mengamati lukisan itu.

"Bagus, kan?" tanya seorang pria berambut ikal dengan kacamata berbingkai kotak bertengger di hidungnya yang mancung.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun