Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Pramugari Itu Tersenyum dan…?

26 Mei 2014   02:39 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:07 265 0

Belum lama ini ada kabar tentang pramugari yang sempat membuat heboh pembaca berita online di internet dan itu memicu berbagai jenis komentar, baik yang apresiatif maupun yang kritis. Pramugari tersebut diberitakan bernama Inanike Agusta yang bekerja untuk Garuda Indonesia. Ia terlihat sedang solat di salah satu baris kursi pesawat dan peristiwa itu difoto oleh penumpang asal Malaysia dan di-upload di internet sehingga pujian pun diberikan kepadanya, ‘dalam situasi sibuk seperti itu pramugari ini tetap berusaha semaksimal mungkin menjalankan ibadahnya’. Sebaliknya, komentar kurang enak juga dilontarkan, ‘begitu saja heran, sudah biasa orang solat di bis atau kereta, tapi tidak heboh’, atau ‘penampilannya solat tapi kelakuannya belum tentu, namanya aja pramugari.’

Lalu pertanyaannya adalah mengapa foto dan pemberitaan pramugari solat itu menjadi topik yang menarik dan kontroversi?

Secara umum, memang ada stereotip miring tentang profesi pramugari yang sudah membayangi banyak orang, yaitu profesi yang menonjolkan kecantikan atau daya tarik fisik dan mempunyai kecenderungan bergaya hidup glamor. Artinya dengan gaji yang lumayan leluasa, bepergian ke sana ke mari, dan dikagumi banyak orang karena kemolekannya, bisa mengundang banyak tawaran-tawaran ‘wah’ dari siapapun yang mampu memberikan banyak fasilitas keduniaan.

Banyak pula diceritakan dan dikabarkan di media internet kisah hidup pramugari, baik pengalaman pribadi atau pengalaman orang yang mempunyai teman, keluarga, atau pasangan pramugari. Mereka gaya hidupnya materialistis, bebas, kurang bermoral, dan seabreg pandangan negatif lainnya. Bahkan yang paling sering dicitrakan adalah bahwa pramugari itu bisa ‘dipake’ secara seksual oleh kolega, terutama pilot atau atasannya untuk memuluskan karirnya di penerbangan. Gaya hidup pramugari juga dipandang sebelah mata oleh banyak orang, berpindah-pindah tempat, menginap di hotel, bebas melakukan apa saja tanpa sepengetahuan keluarga, dan sangat mudah untuk terbawa pada gaya hidup konsumerisme, karena biasanya penghasilan besar akan membawa kepada gaya hidup yang hedonisme, bila tidak bijak membelanjakan uangnya.

Namun ada juga yang mengisahkan tidak semua pramugari seperti itu. Meskipun sangat mudah untuk masuk dalam gaya hidup glamor, banyak pramugari yang tetap konsisten dengan nilai-nilai yang dipegangnya dan tetap dekat dengan keluarganya, tetap perhatian sama papah dan mamahnya. Kalau sedang jauh dengan keluarga ditelfon ditanya kabarnya ia akan menjawab dengan senyum ‘aku baik-baik aja mah/pah’ sambil menahan tangis dan sedih dalam hati karena kangen rumah, tak mau membuat orangtuanya ikut tambah sedih karena anaknya lagi berada di tempat nun jauh di sana.

Pengalaman saya dengan pramugari pun tidak banyak. Paling dengan beberapa maskapai penerbangan internasional dan dengan hampir semua maskapai penerbangan domestik. Yang paling sering hanyalah membalas senyuman dan sapaan mereka atau saya menyampaikan minuman atau makanan apa yang saya inginkan dan mengucapkan terima kasih kepada mba pramugari sambil dalem hati mengagumi penampilannya ‘hmmmm… cantiknya mba ini…’

Pengalaman cukup berbeda adalah ketika beberapa kali melakukan penerbangan dengan Emirates Airlines di mana saya pernah dipindah dari kelas ekonomi ke kelas bisnis dan menikmati layanan ini dengan dipanggil nama, ‘Mr. Hakam, what would you like to drink?’ Dalem hati, ‘Wow di kelas bisnis saya dipanggil dengan nama saya, jadi tersanjung diriku,’ (hehehe… lebay).

Interaksi yang lebih dari itu adalah ketika saya sedang melakukan salah satu dari beberapa penerbangan yang saya alami dari London ke Jakarta dengan Etihad Airlines. Perjalanan London-Abu Dhabi lancar-lancar saja dan mulus. Tapi di perjalanan Abu Dhabi-Jakarta ada sebuah cerita. Setelah transit di Abu Dhabi ternyata saya salah pilih posisi duduk waktu melakukan check in online, seharusnya tidak saya ubah posisi duduknya. Jadinya, ya sudahlah posisi tempat duduk ini tidak terlalu bagus dan tidak ada jendelanya sehingga penerbangan terasa sumpek. Ini adalah penerbangan ketika saya sudah menyelesaikan kuliah S2 dan hati saya gundah gelisah tak menentu karena masih menunggu hasil disertasi saya, apakah lulus atau tidak. Ditambah lagi saya meninggalkan untuk selamanya, setelah tinggal di sana dua tahun, kota yang sangat saya cintai, London!

Kepala pusing dan mual, serasa mau pingsan, sampai akhirnya saya tidak tahan dan bergegas menuju ke toilet. Berjalan dengan pusing dan pandangan kabur hampir pingsan, saya meraba-raba mana pintu kamar kecil toilet. Bukannya sampai ke toilet, saya malah nyasar ke bagian ‘dapur pesawat’ tempat pramugari menyimpan dan mempersiapkan makanan. Dengan pandangan remang-remang nampak di depan saya sesosok pramugari yang sedang beres-beres mendadak menoleh ke saya dan saya pun terjatuh lemas, tiduran di lantai karena sudah tidak kuat lagi. Saya pun tergeletak tak berdaya. Tak lama pramugari ini segera memanggil rekan pramugara dan pramugari lainnya untuk melihat kondisi saya. Kaki saya diluruskan dan ada seonggok tabung oksigen yang entah dari mana datangnya. Masker oksigen pun dipasang menutupi hidung dan mulut saya, dan rasanya ‘Hmmmmm…. Aaaaaahhhhh… Rasanya seperti baru dibangkitkan dari tidur dan ditiupkan udara taman surga yang sejuk dan menghidupkan raga yang lemas tak berdaya ini…’ Beberapa menit saya terdiam dan menikmati oksigen segar ini sambil perlahan melihat sekeliling saya, ternyata sudah berkumpul beberapa kru baik hati yang sangat peduli padaku (hahaha… lebay, padahal itu mah udah standard prosedur mereka kalo terjadi hal-hal kaya gini, jadi ga usah ge er deh) Alhasil, saya tidak jadi pingsan… Untunglah.

Setelah semua kelihatan membaik, berulang kali pramugari yang setia mendampingi saya ini mengecek kondisi saya dengan bertanya ‘Gimana rasanya/How do you feel?’ Saya jawab ‘Ya, udah mendingan/Ya, I’m getting better.’ Beberapa menit kemudian masker oksigen pun dilepas dan saya sudah bisa duduk sambil ditemani oleh seorang penumpang ibu-ibu muda (katanya ia adalah mantan pramugari, sekarang menjadi pengusaha travel agent). Ia membantu memberikan saya minyak kayu putih ke leher saya. Kita pun ngobrol basa basi bla bla bla… Saya ditanya ‘udah makan belum tadi waktu pramugari membagikan makan?’ Saya jawab ‘Ya, udah’. Dia pun mengambil sendiri sepotong sandwich yang masih tersedia di dapur pesawat seraya berkata, ‘Nih makan lagi, biar sehat.’ Saya pun makan sambil duduk di kursi lipat cabin crew persis di sebelah pintu pesawat, sambil sesekali melihat tulisan instruksi cara mengoperasikan pintu pesawat yang terbaca jelas disertai handle pintu yang kalau dibuka saat itu tentu saja akan kacau balau karena kita sedang cruise di ketinggian 40,000 feet. Dalem hati saya bilang, ‘Oh di sini rupanya pramugari duduk waktu take off dan landing.’ Ternyata lebih enak duduk di kursi penumpang yang lebih empuk dan dilengkapi dengan banyak hiburan di layar sentuh LCD.

Masih di kursi kabin kru dekat pintu dan dapur pesawat, obrolan pun masih ngalor ngidul cerita ini itu dengan ibu-ibu muda tadi, dan salah satu senior flight attendant datang, membuka tirai pemisah ruang baris penumpang dengan ruang kabin kru. Ia mendapati saya sedang ngobrol dengan ibu-ibu muda tadi. Ia bertanya sambil senyum, ‘Hi, how are you?’ Saya jawab ‘I’m good, thank you.’ Dia bilang, ‘Haah, you’re travelling very far on your own, maybe you are lonely and you just need someone to talk with you.’ Saya jawab, ‘Haaa, ya, maybe…’ Jadilah kita pun ngobrol bertiga beberapa menit. Salah satu informasi menarik yang saya dapat dari senior flight attendant tadi adalah para pramugari ini diharuskan mempertahankan kesehatan dan penampilan fisiknya. ‘Bila diameter pinggang/perut kami bertambah beberapa inchi saja, maka supervisor kami akan tahu dan kami akan ditegur karenanya.’ Dalem hati saya berkata, ‘Hmmm… Pantesan pramugari selalu tampil menarik, dijaga ketat oleh supervisornya!’ Setelah pulih saya pun kembali ke tempat duduk saya dan memejamkan mata, sejenak beristirahat sambil menikmati sisa perjalanan di udara ini.

Saya mulai berfikir bahwa sebenarnya pramugari itu adalah seorang profesional yang harus bekerja maksimal untuk proses penerbangan yang selamat dan aman. Tuhan memberikan keselamatan terbang melalui tangan-tangan semua individu dan tim penerbangan yang terlibat dalam sistem dan bekerja dengan sungguh-sungguh, termasuk pramugari.

Seperti profesi lainnya yang mempunyai kriteria dan persyaratan tertentu, sebelum diterima sebagai flight attendant ada banyak tahapan test yang harus dilalui seperti penampilan fisik, kemampuan kognitif, keterampilan bahasa, dan manner atau sikap tertentu yang disyaratkan untuk pekerjaan ini. Setelahnya akan ada training yang serius dalam berbagai aspek penerbangan untuk membekali calon pramugari bekerja maksimal seperti in-flight Safety dan in-flight service yang terdiri dariaviation security, dangerous goods, aviation knowledge, crew resource management (CRM), civil aviation safety regulation (CASR), aviation medicine & first aid, emergency drill (wet drill, fire fighting, evacuation drill, jungle survival), passenger handling & ticketing, social etiquette, public speaking, communication skill, poise & grace, table manner, dan lainnya.

Tentu saja setiap pekerjaan ada lika-likunya sendiri, dan citra positif atau negatif pramugari itu tidak seharusnya terbentuk atas dasar prasangka saja karena kita tidak bisa menghakimi orang tanpa bukti yang jelas.

Pramugari itu adalah salah satu profesi yang menitikberatkan pada aspek pelayanan dan keselamatan dengan cara yang senyaman dan semenarik mungkin selama perjalanan pesawat sehingga customer akan senang dan terbang bersama maskapai mereka lagi. Berbeda dengan tim dan kru behind the scene, pramugari adalah bagian dari on-stage performance atau icon-nya maskapai penerbangan yang langsung menjadi penilaian awal para pengguna jasa penerbangan.

Jakarta 25 Mei 2014 19.11

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun