Ketika kecil di Bandung kami sering mencari belut, impun dan tutut di sawah. Kalau malam hari kami "ngobor" menggunakan karet yang biasa digunakan sebagai tali timba di sumur. Ujungnya dibakar, berfungsi sebagai obor. Kami berjalan di sepanjang pematang sawah untuk mencari belut yang biasanya memunculkan kepalanya dari lubang persembunyian nya, lalu kami tangkap. Kalau siang hari kami pancing namanya "ngurek" menggunakan umpan cacing. Hasil tangkapan kami olah, kadang digoreng atau diberi bumbu, dijemur dijadikan dendeng. Sering juga dibuat pecak belut. Disantap dengan nasi panas, rasanya membuncah lekat di mulut.
Sama seperti ikan, belut memiliki segudang zat gizi. Sumber protein sudah tentu, juga berbagai vitamin dan mineral. Ada vitamin E, kalium kalsium, zinc dan sebagainya.
Sayang kini daerah persawahan sudah banyak berkurang. Hilang sudah daerah perburuan yang menyenangkan. Kalau pun masih ada sawah, belutnya yang sudah menghilang. Bukan hanya belut, impun Dan turut pun ikut hijrah entah kemana. Mugkin punah dilanda pestisida. Sumber protein yang disediakan alam tak lagi tersedia. Sejak dahulu kala manusia mempertahankan hidupnya dengan menggantungkan diri dan menyatu dengan alam. Hidup dari apa yang ada disekitar lingkungan ya sebagai anugerah Sang Pencipta bagi manusia. Namun karena ulah manusia jualah alam menjadi tidak bersahabat lagi. Tidak jarang mala petaka datang menghadang memporak-porandakan kehidupan manusia.