Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

"Alhamdulillah Yah" Dapat Gaji Pertama

18 September 2011   07:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:51 3288 2
Andai jargon ala Syahrini sudah populer sejak 12 tahun yang lalu - ketika dapat gaji pertama - saya tentu akan mengucap, "Alhamdulillah yah, dapat gaji pertama".  Namun, 12 tahun silam itu, Syahrini belum jadi apa-apa, dia masih berusia 17 tahun, masih duduk di bangku SMA. "Alhamdulillah yah", akhirnya Syahrini bisa jadi sangat populer gara-gara jargon yang tak sengaja dia populerkan itu.

Kalau saya tak salah hitung, sudah 12 tahun saya bekerja di sebuah perusahaan penerbitan. Ini berarti, sudah 144 kali saya menerima gaji dari perusahaan tersebut, di luar bonus dan THR tentunya. Cukup betah memang saya bekerja di tempat itu. Selain saya suka dengan pekerjaannya, saya juga suka berkutat dengan banyak buku di sekeliling saya. Ada chemistry khusus yang saya rasakan kalau berada di tumpukan buku yang banyak, seperti sebutir ekstasi yang membuat saya terus "fly" selama 12 tahun.

Kalau disuruh bercerita tentang gaji pertama yang saya dapatkan tentu ada kisah menarik yang menyertainya. Namun saya perlu bercerita pula kenapa saya bisa terdampar di perusahaan tempat saya bekerja sekarang hingga saya mendapatkan gaji pertama dari perusahaan tersebut. Saya begitu mensyukuri dan menikmati gaji pertama saya yang tak seberapa itu.

Saya ingat, saat saya lulus kuliah dari jurusan Ilmu Komunikasi, Indonesia diterpa badai krisis moneter tahun 1997. Banyak perusahaan yang bangkrut dan memberhentikan pekerjanya. Teman-teman saya yang sudah lulus terlebih dahulu dan mendapat pekerjaan pun banyak yang di-PHK. Melihat fakta itu, perasaan was-was dan nelangsa pun menyelimuti hati saya di tahun kelulusan tersebut. Ingin buka usaha selalu terkendala dengan modal. Lowongan yang paling dominan waktu itu adalah sales atau bagian marketing.

Seperti para lulusan perguruan tinggi lainnya, saya pun banyak melayangkan surat lamaran ke berbagai perusahaan, khususnya perusahaan-perusahaan yang mau menampung background pendidikan saya. Saingan saya bukan hanya para lulusan fresh graduate yang berasal dari perguruan tinggi terkemuka, tapi juga para lulusan yang sudah punya pengalaman kerja yang lumayan. Ada rasa pesimis memang menghadapi persaingan yang begitu ketat tersebut, apalagi di tengah jumlah pengangguran yang begitu tinggi di masa krisis moneter.

Dari sekian ratus surat lamaran, hanya satu dua yang memberi tanggapan, terutama dari perusahaan-perusahaan media massa. Maklum saja, saya suka melampirkan hasil-hasil tulisan saya di media massa cetak lokal kota Medan semasa masih mahasiswa dulu. Jadi, mereka tertarik untuk menanggapi lamaran saya. Ada juga sih di luar perusahaan media massa, meski akhirnya harus kandas di babak penilaian dan tes.

Saya sadar diri, kualifikasi saya sebagai lulusan perguruan tinggi sebenarnya tak ada apa-apanya, bahasa Inggris saya saja belepotan. Kemampuan bahasa Inggris ini memang sangat penting dan itu memang terbukti betapa pentingnya penguasaan bahasa internasional tersebut. Para lulusan masa kini perlu mencamkan fakta ini, apalagi kalau mereka berkeinginan untuk bekerja di perusahaan multi nasional.

Saya pernah dipanggil wawancara di sebuah lembaga ekonomi-perdagangan, hasil kerja sama Indonesia-Jerman di Jakarta. Waktu itu mereka sedang membutuhkan seorang "marketing communication", salah satu persyaratannya adalah mampu berbahasa Inggris dengan aktif. Dalam curriculum vitae (CV), saya sebutkan kalau bahasa Inggris saya aktif (ini bohonglah). Hari tes wawancara pun tiba, tak banyak pelamar yang dipanggil, bangga juga rasanya. Saya dipanggil ke sebuah ruangan kecil yang dingin, seorang perempuan muda mempersilahkan saya duduk. Dia sedang membolak-balik sebuah berkas di atas mejanya, mungkin itu berkas lamaran saya.

Sesi tanya-jawab pun berlangsung, in english tentunya. Di situ saya kena batunya, pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan sebenarnya tak begitu sulit, seperti berasal dari mana, lulusan dari mana, kemampuan personal seperti apa, dan tujuan bekerja apa. Kalau disuruh menjawab dalam bahasa Indonesia pasti jawaban saya akan lancar-lancar saja, tapi kalau harus dijawab dalam bahasa Inggris, alamak, jawaban saya hancur lebur. Sang pewawancara lebih banyak mengernyitkan dahinya mendengar jawaban saya. Padahal, bahasa Inggris si pewawancara juga tak begitu baik, jauh dari kemampuan yang seharusnya. Ujung-ujungnya, dia cuma berkata, "Okay, nice to meet you".

Susahnya mencari pekerjaan membuat saya bernazar, "Andai ada perusahaan yang mau menerima saya, saya rela digaji berapa pun, yang penting kerja". Sepertinya nazar saya didengar. Di bulan Oktober 1999, saya menerima panggilan dari sebuah penerbitan buku. Saya sampai lupa kapan saya kirim surat lamaran ke perusahaan tersebut. Seperti pengalaman sebelumnya, saya pun tak berharap banyak dari hasil wawancara kelak.

Pada hari yang sudah ditentukan, tanggal 08 Oktober 1999, saya datang ke kantor perusahaan penerbitan tadi. Bertemu dengan General Manager (GM)-nya. Ada beberapa pelamar yang juga menunggu. Tak lama, saya pun disuruh masuk ke ruang GM. Sang GM membolak-balik berkas saya. Dia tanya, "Sudah punya pengalaman kerja di penerbitan?". Saya jawab pasrah, "Belum Pak, kerja saja belum pernah Pak". Entah kenapa, sang GM sepertinya percaya pada kemampuan saya setelah melihat dan membaca tulisan-tulisan yang terlampir dalam berkas lamaran saya.

Katanya, "Saya butuh orang yang bisa nulis dan menyunting naskah". Kemampuan saya menurutnya memenuhi syarat yang dia inginkan. Dia pun menerima saya dan bertanya kapan saya bisa mulai bekerja. Bukan main senangnya saya saat itu. Saya pun langsung berkata, "Saya bisa secepatnya Pak". Dia pun langsung menyuruh saya masuk tanggal 12 Oktober 1999. Gaji yang ditawarkan tak begitu besar, tapi lumayanlah untuk biaya hidup sendiri selama sebulan. "500 ribu cukuplah", batin saya. Paling tidak, saya sudah lepas dari predikat pengangguran dan tak menyusahkan orang lain lagi. Saya pun bisa pamer ke kakak, abang, dan orang tua kalau saya sudah dapat kerja.

Sebulan kemudian, saya pun menerima gaji pertama, "alhamdulillah yah" senangnya bukan main. Dalam benak saya ketika diterima kerja, gaji pertama akan disisihkan untuk orang tua (walau tak banyak), buat transport dan makan, sisanya ditabung. Kalau untuk senang-senang, sepertinya belum cukup. Rencana itu pun saya jalankan, namanya juga sudah niat dan nazar, harus saya laksanakan biar tak kualat, biar berkah untuk penghasilan selanjutnya. Aneh memang, gaji pertama saya cukup sampai akhir bulan, padahal saya masih harus bolak-balik Jakarta - Bogor setiap harinya sebelum memutuskan untuk kost.

Barangkali, itulah yang namanya berkah. Kalau kita gunakan untuk hal yang berguna, gaji tak seberapa pun dapat mencukupi, asal disiplin mengelolanya. Di bulan kedua bekerja, saya sudah diberi lemburan. Penghasilan di bulan berikutnya pun bertambah, demikian seterusnya. Kini, sudah 12 tahun saya menekuni pekerjaan kesenangan saya. Apa yang saya dapat? Banyaklah, hingga saya tak bisa menyebutkan satu per satu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun