Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Ini Dia Faktor Terbentuknya Indonesia

2 November 2020   23:57 Diperbarui: 15 November 2020   00:47 119 0
Pada suatu malam yang mendung, secangkir kopi panas, dan alunan simphoni dari rintik hujan yang menyerbu bumi. Balutan sarung melilit tubuh menambah hangat malam ini. Pada menit 01:06:51 Minke yang seorang anak Bupati itu menyampaikan pidatonya dihadapan pembesar Belanda.
"Sejak Majapahit berdiri, negeri ini disatukan oleh sumpah yang ambisius. Meski pada akhirnya runtuh. Tapi semangat Majapahit itu menjadi api bagi masyarakat Hindia hingga hari ini. Peradaban kami adalah peradaban yang memiliki kebijakannya sendiri. melebihi sumber daya alam yang luar biasa yang merayu bangsa-bangsa lain. Pada hakikatnya, harkat dan martabat kami sedari awal sudahlah tinggi."
Ya, penulis baru saja menonton film Bumi Manusia yang diangkat dari Tetralogi Pulau Buru karya Maestro Pramoedya Ananta Toer. Tidak seperti orang lain yang menonton Bumi Manusia di bioskop saat film itu baru rilis, penulis terbiasa menunggu film terkait hadir di web film bajakan baru setelah itu bisa menikmati tayangan film. Kebiasaan yang mencerminkan kaum proletariat memang, hehe. Namun sebetulnya jauh sebelum masterpiece itu hendak diangkat menjadi sebuah film, penulis telah lebih dulu membaca seri novelnya. Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Sedangkan dua judul lagi, yaitu Jejak Langkah dan Rumah Kaca belum sempat dibaca.
Beberapa minggu sebelum menonton film itu, penulis sempat terlibat diskusi ringan dengan teman yang mampir ke rumah. Obrolan itu membawa pada satu pertanyaan, "Apa yang menjadi faktor pemersatu Indonesia", atau "Kenapa bangsa yang berbeda-beda ini bisa disatukan dalam satu negara bernama Indonesia?".
Dugaan sementara mengemuka pada jawaban bahwa bangsa ini dipersatukan karena perasaan senasib sepenanggungan atas penjajahan untuk kemudian bersatu padu mengusir bangsa asing dan membentuk pemerintahannya sendiri. Namun, timbul lagi pertanyaan. Bukan hanya Indonesia yang saat itu dijajah, hampir seluruh bangsa Asia dan Afrika berada dalam penjajahan Barat pada abad ke 18-19 Masehi. Pertanyaan seperti, kalau alasan persatuan itu senasib dan sepenanggungan kenapa Malaysia atau Singapura tidak bergabung saja menjadi Indonesia. Toh, mereka juga sama-sama dijajah. Sama-sama senasib dalam cengkeraman kolonialisme. Duh, bikin tidur tak nyenyak saja pertanyaannya.
Hadirnya teman diskusi itu membawa satu pertanyaan yang belum terjawab dan terus mendekam di kepala sampai akhirnya ketika penulis menonton film Hanung Bramantyo itu secercah jawaban mulai sedikit terkuak. Ya, faktor historis lah yang menjadi dasar terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan bukan hanya Indonesia, hampir seluruh negara di dunia terbentuk tidak terlepas dari historis dari negara masing-masing.
Fantastis memang, bangsa yang memiliki ratusan suku dan ribuan bahasa daerah ini bisa menjadi satu negara kesatuan. Belum lagi luas wilayah yang membentang dari samudera pasifik hingga samudera hindia ini, rasa-rasanya jika satu Provinsi dibentuk menjadi satu negara bisa saja terjadi. Walaupun memang syarat terbentuknya suatu negara itu bukan dihitung dari seberapa luas wilayahnya.
Kembali ke persoalan historis.
Jauh sebelum Republik ini tebentuk, nusantara terdiri dari banyak kerajaan. Periode Hindu-Budha, juga era Kesultanan Islam menjadi bukti bahwa sebelum lahir Indonesia sudah ada negara dengan bentuk Monarkhi. Pada masa Hindu-Budha tercatat kerajaan besar Sriwijaya dan Majapahit yang fenomenal. Bahkan keduanya masuk dalam kategori 100 imperium besar dunia.
Meminjam istilah "Minke" yang mengatakan "Bangsa ini disatukan oleh sumpah yang ambisius", merujuk pada sumpah amukti palapa Gajah Mada, perdana menteri kerajaan Majapahit. Duet fenomenal Hayam Wuruk dan Gajah Mada membawa Majapahit pada era kejayaan dan menjadi negara yang disegani. Majapahit memang Indonesia di masa depan, atau secara terbalik bisa dikatakan Indonesia saat ini merupakan Majapahit di masa lalu. Hal ini cukup beralasan dengan beberapa simbol Majapahit dan kebudayaan Hindu-Budha yang diadopsi oleh Indonesia.
Pertama, lambang negara.
Lambang Negara Republik Indonesia adalah burung Garuda. Pertanyaannya, adakah burung Garuda di dunia nyata. Jawabannya adalah tidak ada. Burung Garuda merupakan hewan mitologi tunggangan dari Dewa Wishnu dalam kepercayaan agama Hindu. Tentu jangan heran kenapa hewan mitologi ini dijadikan sebagai lambang negara. Karena pada dasarnya tebentuknya Indonesia tidak telepas dari relasi historis dengan kerajaan masa lampau. Kisah Garuda terdapat dalam kitab Mahabharata. Burung garuda ini melambangkan kekuatan. Mungkin para pendiri bangsa ingin menjadikan Indonesia negara yang kuat yang mampu mengolah potensinya, dari potensi laut yang membentang sampai tanahnya yang subur. Gemah Ripah Loh Jinawi, itulah dambaan orang-orang terhadap Indonesia. Islam mengenalnya dengan sebutan Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur. Sebelas dua belas makna dari dua kalimat ini.
Kedua, semboyan negara.
Bhineka Tunggal Ika adalah semboyan yang diambil dari Kakawin Sutasoma karangan Mpu Tantular pada abad ke-14. Sejak zaman dahulu toleransi umat beragama sudah dijalankan bangsa kita. Bhineka Tunggal Ika mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Budha pada masa itu.
"Rwaneka dhatu winuwus Budha Wiswa
Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen
Mangka ing jinatwa kalawan siwatatwa tunggal
Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa"

Kurang lebih artinya seperti ini:
"Konon Budha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda,
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Budha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran."

Darimana penulis tahu kutipan naskah kuno beserta artinya, tentu dari intenet. Tepatnya dari web Kemendikbud. Kutipan Mpu Tantular ini dibuat pada masa kerajaan Majapahit, memperkuat argumen bahwa pengaruh Majapahit terbawa sampai era Indonesia modern.
Ketiga, bendera negara.
Merah putih, banyak yang mengira penetapan bendera merah putih tidak terlepas dari peristiwa perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato pada tanggal 19 September 1945. Padahal asumsi ini salah besar. Sebelum insiden perobekan bendera, merah putih memang sudah menjadi simbol pemersatu bangsa. Para pejuang kerap membawanya dalam peperangan melawan penjajah. Merah yang bermakna berani dan putih yang bermakna suci, menjadi penyemangat pejuang kemerdekaan dalam menghadapi tank dan meriam serdadu Belanda.
Lalu pertanyaannya, kenapa warna merah putih yang dijadikan bendera nasional. Kenapa bukan hijau biru yang melambangkan hijaunya hutan dan biru lautan tanda Indonesia sebagai negara agraris dan maritim misalnya. Usut punya usut, ternyata penetapan bendera merah putih pun berhubungan erat dengan Majapahit. Patut diketahui bahwa merah putih merupakan umbul-umbul kerajaan Majapahit. Sang Saka Getah-Getih Samudera atau Sang Saka Gula Kelapa adalah sebutan bagi bendera kerajaan Majapahit. Bendera ini mempunyai corak lima garis merah dan empat garis putih horizontal yang sama lebar, berawalan warna merah dan diakhiri oleh warna merah pula. Gula kelapa itu berwarna merah dan terbuat dari sari kelapa yang berwarna putih. Itulah mengapa bendera Majapahit dinamakan Sang Saka Gula Kelapa. Adapun getah memang berwarna putih dan getih (darah dalam bahasa Jawa) berwarna merah. Sehingga sebutan lain dari bendera itu Sang Saka Getah-Getih Samudera. Panji Sang Saka Getah-Getih bahkan masih dipakai oleh Angkatan Laut kita, KRI Dewaruci yang selalu berkeliling dunia dalam setiap festival seringkali mengibarkan panji Majapahit ini. Sebuah simbol kerinduan pada kejayaan angkatan laut masa lampau. Bahkan, bisa jadi itu sebagai identitas Indonesia sebagai negara maritim yang ingin ditunjukan pada dunia.
Kerajaan lain pada masa lampau disebut-sebut menggunakan panji dwi warna pula. Sebutlah kerajaan Singasari dan Mataram yang juga mempunyai panji merah putih. Ini menandakan warna merah dan putih sudah menjalani perjalanan panjang dalam terbentuknya Republik. Sehingga jelas tidak ada hubungannya dengan peristiwa perobekan bendera Belanda. Secara logika, pejuang saat itu merobek bendera Belanda karena memang ada kemiripan. Yaitu warna merah putih sebelum warna biru.
Keempat, luas wilayah.
Tidak fair rasanya jika membicarakan simbol namun tidak mengikut sertakan alasan wilayah. Bahkan inilah yang menurut penulis sendiri sebagai alasan terkuat Indonesia terbentuk. Pada masanya, Majapahit merupakan kerajaan besar. Menurut Kakawin Negarakertagama, wilayah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura) dan sebagian kepulauan Filipina. Jelas ini merupakan jelmaan Indonesia saat ini. Wilayah kekuasaan yang besar mirip seperti luasnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tanda bahwa alasan sebenarnya bangsa yang beragam suku dan budaya ini bisa bersatu kembali dan membentuk negara republik karena memang pada awalnya tiap wilayah sudah pernah dipersatukan. Pernah suatu kali penulis menonton tayangan ILC di TV One, dan ada statement menarik dari Prof. Salim Said. Beliau berkata bahwa alasan Bung Karno selalu berpenampilan mewah dan elegan karena sosok Bung Karno sadar, ditengah krisis yang dialami bangsanya, rakyat mendambakan sosok raja. Sosok pemberani yang bisa menjadi pelindung ditengah kesusahan akibat penjajahan barat. Penampilan Bung Karno seolah ingin mengatakan pada dunia, bahwa Indonesia ini besar dan mempesona. Ditambah lagi konsepsi Bung Karno mengenai persatuan mirip dengan visi Hayam Wuruk dan Gajah Mada yang berambisi menyatukan Nusantara. Dalam kesempatan lain, Prof. Salim Said mengatakan Bung Karno menganggap dirinya sebagai raja jawa. Raja yang mempersatukan, mengangkat derajat rakyat yang telah dijatuhkan harga dirinya oleh bangsa asing. Ini artinya, eksistensi Majapahit dipertahankan dalam bentuk baru, kita menyebutnya kemudian sebagai NKRI. Sampai kapan NKRI akan bertahan, tentu ini menjadi pertanyaan menarik pula untuk menanti dibahas.
Alasan lain, mungkin ini sedikit kontroversial, yaitu Bangsa Jawa. Ya, Jawa. Kita mungkin bertanya-tanya. Kenapa Jawa menjadi pulau paling padat penduduk dan kadangkala mempertanyakan, kok pembangunan wilayah terlalu terpusat di Jawa. Ini masih hipotesa penulis, namun berdirinya Indonesia banyak dipengaruhi oleh peran Jawa. Berawal dari Majapahit. Pusat kerajaan Majapahit selalu di Jawa. Mulai dari Mojokerto, Trowulan, dan Kediri, ketiganya merupakan wilayah di Jawa Timur. Jawa juga melahirkan banyak raja-raja besar. Lalu kedatangan Belanda di Banten untuk pertama kali pun kemudian berhasil menguasai kerajaan-kerajaan di Jawa. Saat kerajaan Nusantara berjatuhan kemudian digantikan oleh Hindia-Belanda, pusat pemerintahan kembali ditetapkan di Pulau Jawa, tepatnya Batavia atau yang sekarang menjadi Jakarta. Peristiwa historis ini menjadikan Jawa wilayah yang sibuk, dan tentunya membuat pembangunan di wilayah ini menjadi pesat. Diluar dari dampak penjajahan yang memang merugikan dari sisi kemanusiaan. Jadi bukan hal yang aneh jika muncul statement selalu Jawa yang diperhatikan pemerintah. Karena memang secara historis wilayah ini sudah ramai sejak dulu.
Historis Jawa yang mentereng dengan besarnya peradaban masa lampau membangkitkan semangat untuk mengembalikan sisi yang hilang itu pada diri Bung Karno. Semangat ala raja Jawa membawa Bung Karno menjadi sosok yang mempunyai visi besar mengembalikan kejayaan Majapahit. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan reinkarnasi dari Majapahit. Ini yang mungkin menjadi jawaban kenapa Presiden Republik selalu dari suku Jawa. Kita memang dipersatukan dalam perbedaan, namun secara historis Jawa selalu tampil sebagai pemimpin. Inilah hasil buah pikir selama penulis membaca novel ataupun menonton film Bumi Manusia dan berdiskusi dengan teman mengenai "alasan pemersatu Indonesia". Mungkin akan ada tulisan lain yang menjawab dari sudut pandang lain pula atau bahkan membantah argumen ini. Itu lebih baik demi perbendaharaan pengetahuan mengenai kebangsaan dan keindonesiaan.  

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun