Mohon tunggu...
Drs. Komar M.Hum.
Drs. Komar M.Hum. Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA Al-Izhar dan Fasilitator Yayasan Cahaya Guru

Berbagi dan Menginspirasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Indonesia dan Aku, dalam Pertumbuhan Menuju Kebinekaan

2 Desember 2017   00:57 Diperbarui: 12 Desember 2017   20:05 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertumbuhan Dimensi Kesadaran

Sudah selayaknya,  manusia berkembang dari horison kesadaran sempit menuju horison kesadaran lebih luas, dari manusia  pulau kecil atau manusia gua menuju manusia galaksi, sebagaimana yang dialami oleh aku sebagai pribadi dan Bangsa Indonesia sebagai komunitas majemuk.

Dahulu kala, nenek moyang kita hidup dalam kelompok-kelompok kecil, mengembangkan kebudayaan berburu dan meramu, hidup berpindah-pindah atau menetap di gua-gua. Mereka sangat tergantung  pada kemurahan alam, dan kehidupan mereka dituntut untuk selalu selaras dengan alam. Ketika mulai menetap, mereka mengembangkan kebudayaan yang lebih kompleks dan unik dalam komunitas yang lebih besar, kemudian terbentuk identitas kesukuan atau etnisitas. Maka munculah kebudayaan  Aceh, Minang, Batak, Sunda, Jawa, Dayak, Bugis, Asmat, dan sebagainya, di bentangan geo-budaya Nusantara.

Sebelum terjadinya momentum Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, suku-suku Nusantara hidup dalam  kebudayaan kesukuan, namun setelah peristiwa itu, mereka berkembang menjadi "Manusia Pasca Suku", menuju horison yang lebih luas yaitu Nasionalisme Indonesia, di mana seluruh etnis yang ada di wilayah jajahan Hindia Belanda, mengikrarkan dirinya dalam suatu komunitas yang tidak lagi diikat oleh kesamaan primordial:  etnis, agama, kepercayaan dan yang sejenisnya, namun disatukan oleh cita-cita yang mulia untuk membentuk suatu negara kebangsaan. Inilah yang menjadi landasan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Jika kita cermati dengan seksama naskah "Soempah Pemoeda", mencerminkan kesadaran plural, keterbukaan pikiran dan kerendahan hati, bahwa bangsa ini dibangun di atas kemajemukan dalam banyak hal. Semuanya membentuk mosaik yang indah dalam wadah keindonesiaan. Tidak ada yang lebih penting atau lebih berharga dari yang lainnya. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.

Setelah pembentukan negara kebangsaan, langkah selanjutnya adalah bagaimana bangsa ini memasuki pergaulan masyarakat internasional, sehingga bisa tampil dan disegani dalam komunitas bangsa-bangsa di dunia. Inilah yang disebut dengan proses globalisasi. Manusia Indonesia berkembang menjadi "Manusia Pasca Indonesia" meminjam istilah Romo Mangun Wijaya , tidak lagi terkungkung oleh nasionalisme sempit: "right or wrong is my country". Coba perhatikan kenyataan di sekitar kita.

 Ibu-ibu kita yang selama ini bergaul hanya dalam lingkup kasur, dapur, dan sumur, sekarang  sudah go international sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke berbagai peloksok dunia, sebagai  bentuk jawaban atas tantangan globalisasi. Coba perhatikan pula kurikulum pendidikan kita; selera makan, gaya berpakaian dan cara bergaul anak-anak muda kita; seragam dan  persenjataan TNI; atau alat-alat kantor yang kita gunakan. Siapa yang bisa memungkiri bahwa kita sudah menjadi "Manusia Pasca Indonesia"?

Masa Kecil nan Indah namun Membuat Resah

Aku lahir di sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh hamparan sawah nan luas. Lahan pertanian di daerah saya merupakan areal yang sangat subur karena merupakan daerah 'kipas alluvial" dan sangat produktif menghasilkan beras dengan kualitas baik, sehingga daerah saya Karawang terkenal sebagai lumbung padi nasional. 

Interaksi mendalam dan penuh persahabatan dengan teman sebaya dan alam yang indah adalah "Pendidikan Usia Dini" (PAUD),  yang aku alami semasa kecil. Walaupun tidak ada gedung, guru dan kurikulum formal, namun pengalaman  tersebut begitu berkesan sangat mendalam bagi kehidupan aku selama puluhan tahun kemudian, membentuk gaya hidup, perspektif dan filosofiku dalam menjalani kehidupan ini.

Sejak kecil aku sudah terlibat dalam proses produksi padi yang menjadi komoditas andalan kampung kami. Ketika ayah mencangkul di sawah, aku sering membawakan makanannya dan membersihkan cangkulnya dari lumpur yang menempel sebelum digantung pada tiang pinggir kandang kerbau.  Saat ayah membajak sawah dengan kerbau, aku sering mengikutinya dari belakang, karena dari tanah yang diangkat dan dibalikan oleh mata bajak sering keluar belut, yang harus saya tangkap dengan susah payah karena licin dan berebut dengan teman lainnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun