Apakah kesan kesan tersebut bisa kita dapatkan di metaverse.
Selain daripada itu biaya pengembangan metaverse pada pariwisata tersebut di mana jika biayanya sama dengan biaya untuk membangun fasilitas dasar di satu destinasi mungkin bisa dipahami sebagai bagian dari biaya promosi.
Namun, jika biaya pengembangannya bisa membangun lebih dari satu kebutuhan dasar di lebih dari satu destinasi maka perlu kita bertanya kepada diri sendiri akan manfaat apa yang dapat diberikan kepada penduduk di destinasi wisata?
Kesimpulan penulis adalah penerapan metaverse pada pariwisata sebagai trigger wanderlust bisa sangat efektif, dan dengan mengatakan demikian juga bahwa metaverse merupakan faktor tidak langsung pada pariwisata.
Faktor tidak langsung pada pariwisata adalah media dan akademika, namun demikian memang metaverse memberikan penampilan yang tidak bisa diberikan oleh format media lain seperti iklan pariwisata misalnya di mana kita ketahui iklan iklan pariwisata yang sering kita lihat di bandara bandara durasinya sangat panjang.
Penerapan metaverse pada pariwisata dapat sangat efektif akan tetapi pada sebatas menjadikannya sebagai teaser yang interactive.
Sedangkan di sisi lain, pariwisata akan selalu melibatkan sense dan perasaan untuk mendapatkan pengalaman yang didapat dari perjalanan wisata dari wisatawan itu sendiri dan juga (utamanya) manfaat kepada penduduk di destinasi wisata yang merasakan secara nyata dari kunjungan dan dampak yang nyata pula.
Menurut penulis, sebagai alternatif mungkin bisa mengembangkan metaverse dalam penerbangan karena hingga saat ini baru Airbus yang akan menerapkannya dan itu pun baru pada tahap pengumpulan ide.
Penerapan metaverse pada penerbangan bisa menjadi alternatif dari simulator pesawat yang sangat mahal harganya, selain juga dapat menghibur juga serta dapat bersifat mendidik sekaligus menumbuhkan minat menjadi pilot dikalangan anak muda.
Salam pariwisata.
Penulis memohon maaf bila ada kekeliruan pada opini penulis ini.