Mohon tunggu...
Ko In
Ko In Mohon Tunggu... Wiraswasta - Berikan senyum pada dunia

Mendengar dan bersama cari solusi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Anak dan Perempuan Bukan Etalase Kehidupan

5 Januari 2017   15:52 Diperbarui: 5 Januari 2017   16:09 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejarah kekerasan tidak akan pernah selesai.  Kenyataan yang cukup pahit namun realitas ini harus dihadapi dan disikapi sebagai bagian dari warna kehidupan.         

Awal mula kekerasan dari hati karena ada rasa iri atau cemburu, sejak itu bentuk kekerasan terus berkembang. Sebagai mahluk yang memiliki sifat adab, manusia berusaha untuk menekan nafsu kekerasan. Kadang menang dan adakalanya kalah.     

Bentuk kekerasan aneka macam tergantung tujuan dan latar belakang. Demikian pula kekerasan terhadap anak dan perempuan, kelompok yang mestinya mendapat perlindungan karena secara fisik tergolong lemah.

Kekerasan  terjadi  tidak lepas karena adanya dorongan kekuasaan yang sifatnya primitif. Memaknai kekuasaan sebatas pada kepemilikan sehingga   boleh melakukan apa saja yang diinginkan atau dikehendaki.

Wujud kekuasaan primitif cenderung mengarah kepada pemaksaan kehendak. Salah satunya lewat tindak kekerasan fisik. Jika dirunut, akarnya bersumber pada naluri manusia sebagai homo animalicum. Manusia yang memiliki naluri atau sifat seperti hewan.

Hewan biasanya menunjukkan kekuasaan atau superioritasnya dengan cara intimidasi sampai pembuktian siapa yang paling kuat lewat pertarungan secara fisik. Yang menang, yang kuat dan yang berkuasa, yang berhak melakukan apa saja.

Kecenderungan boleh melakukan apa saja, seperti menyiksa, menyakiti sampai menghilangkan nyawa anak atau perempuan sebagai mahluk yang lemah. Merupakan bagian dari skenario pembuktian kekuasaan yang sifatnya primitif. Manakala perempuan menjadi korban kekerasan baik fisik atau psikologis dan anak mengalami hal yang serupa maka di jaman modern ini. Sebenarnya kita masih memelihara orang-orang yang hidup dengan nafsu kekuasaan yang primitif. Termasuk perempuan sebagai ibu yang melakukan kekerasan terhadap anaknya.

Walau terbungkus dengan bahasa edukasi untuk mendidik anak supaya disiplin dan santun atau alasan seribu satu lainnya. Kekerasan tetap kekerasan. Dan pendidikan memiliki peran  besar dalam menekan tingkat kekerasan pada anak dan perempuan.

Beberapa kasus kekerasan umumnya banyak terjadi di daerah pinggiran kota atau pelosok dimana masyarakatnya minim akses informasi serta tingkat pendidikan terbatas hanya sampai pada tingkat dasar.

Informasi dari televisi, media cetak atau saat ini marak dengan media sosial. Umumnya bersifat populis, dangkal kurang memberi penyadaran yang mampu mendorong gairah untuk melakukan tindakan atau perilaku yang positif. Informasi atau pengetahuan yang menjadi trending saat ini sifatnya “habis pakai”. Muatannya terlalu ringan , tidak  membawa pembaca atau pendengar pada tahap renungan atau kontemplatif, yang dalam sampai ke hati.

Disamping itu, sebagian masyarakat  saat ini gemar menelan mentah-mentah setiap informasi yang diterima . Memahami informasi sebatas kulit dan menjadi acuan sebagai kebenaran mutlak untuk dijadikan alasan dalam memutuskan sebuah tindakan atau perbuatan. Padahal perbuatan tersebut jauh dari kebenaran  logis antara akal budi dan realitas keseharian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun