Walau industri informasi mulai bergeser dari media cetak ke media elektronik. Kebiasaan membeli surat kabar tidak bergeser dan masih dilakukan oleh mantan Hakim Agung ini, saat pulang ke Yogya.
Manakala booming media cetak, Artidjo setiap hari membeli berbagai surat kabar terbitan lokal atau nasional. Murtini sempat heran, "Kapan bapak membacanya ?" tanyanya dalam hati saat itu, sambil mengenang hal-hal yang unik dan mengesankan dari sosok yang berperawakan kurus.Â
"Terkadang Bapak, sore mampir sambil menyodorkan daftar surat kabar yang besok dibelinya." Kenang Murtini terhadap sosok Artidjo, manakala masih aktif di LBH Yogya.Â
Sebelum pergeseran minat orang membaca dari surat kabar ke gadget. Sudah jarang tulisan-tulisannya ditemukan di halaman opini surat kabar. Kemungkinan besar karena kesibukan pekerjaan yang menyita pikiran. Kemungkinan lain jabatan publik yang disandang, membatasi dirinya untuk tidak banyak menunjukkan opini atau pemikiran pribadi di surat kabar. Boleh jadi Artidjo menjaga etika profesi.
Tetapi gantian para wartawan tidak jarang memperoleh berita menarik dari sepak terjang Artidjo Alkostar sebagai Hakim Agung yang memberi keputusan dan pernyataan berbeda dengan hakim lainnya atau dissenting opinion dalam menangani beberapa kasus besar di Mahkamah Agung. Atau putusannya yang memperberat hukuman bagi para koruptor.
Saya mencoba mengenangnya dengan cara mengunjungi kios koran, langganan almarhum yang dulu banyak menjajakan berbagai macam surat kabar dari koran, tabloid dan majalah.
Kiosnya kecil, sekali lagi kios ini dulu terletak tepat di bawah pohon talok yang berdiri di pinggir jalan dan persis dipinggir sungai kecil. Kios yang sudah berusia 30 tahun dan mungkin pohon talok lebih tua umurnya. Kini ditinggal salah satu pelanggan setianya, Artidjo Alkostar.