Mohon tunggu...
Ko In
Ko In Mohon Tunggu... Wiraswasta - Berikan senyum pada dunia

Mendengar dan bersama cari solusi.

Selanjutnya

Tutup

Beauty Pilihan

Baju Batik Tulisku yang Pertama

6 Oktober 2019   14:58 Diperbarui: 6 Oktober 2019   17:41 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Semua pakai batik (sumber:dok pribadi)

Setiap kali melihat orang kondangan, muncul keinginan untuk memiliki baju batik. Entah kapan dan siapa yang memulai menjadikan batik sebagai "seragam" tidak tertulis di acara kondangan atau acara-acara resmi lainnya. Mungkinkah ini sebuah solusi yang berdasarkan pertimbangan ekonomis ?

Jas menjadi salah satu setelan baju di acara-acara resmi di berbagai belahan dunia. Namun harga untuk satu setelan jas tergolong tidak murah walau mencoba dengan menekan harga lewat cara minta jasa taylor untuk membuat jas.

Simak anggaran untuk anggota DPRD yang baru, beberapa daerah menganggarkan hampir setengah miliar untuk wakil rakyat. Dana tersebut memang bukan hanya untuk jas pelantikan saja tetapi meliputi seluruh pakaian dinas anggota dewan.

Di Sragen contohnya anggaran pakaian dinas untuk anggota wakil rakyat sebesar Rp 500 ribu, sebagaimana detik.com melaporkan (29/7/2019). Demikian pula dengan laporan faktajabar.co.id (12/8/2019) yang merinci lima jenis pakaian dinas anggota DPRD Garut, Rp 900 ribu untuk satu setel jas pakaian sipil lengkap. Satu setel pakaian resmi seharga Rp 950 ribu, pakaian dinas harian satu setel seharga Rp 800 ribu dan dua setel pakaian sipil harian seharga Rp 800 ribu.

Batik untuk semua (sumber: dok pri)
Batik untuk semua (sumber: dok pri)

Bandingkan dengan harga baju batik yang motif serta kualitas batik tergolong premium, harganya masih di bawah harga jas pakaian sipil lengkap yang dianggarkan buat anggota DPRD Garut sebesar Rp 900 ribu.

Harga yang relatif mahal untuk ukuran saya dalam upaya memenuhi keinginan memiliki dan  memakai batik tulis dalam tiap acara kondangan, akhirnya hanya sebatas mimpi. Walau ada jenis baju batik cap atau printing yang mudah didapat dan harga cukup terjangkau namun keinginan untuk memiliki baju batik tulis. Tetap kuat ada di hati.

Batik tulis mahal karena ada keunikan serta kekhasan. Proses pembuatannya juga lebih rumit, unsur seninya sangat terasa. Walau gambar atau motifnya sama tetapi hasilnya berbeda karena benar-benar asli buatan tangan. Hasil dari ketekunan, ketelitian dan goresan tangan baik lewat pensil dalam bentuk pola atau lewat canting manakala ditutup cairan malam. Menghasilkan karya yang spesifik.

Batik tulis yang harganya murah dibanding dengan batik tulis lainnya. Biasanya gambar, pola atau motif tidak terlalu rumit dan tidak memenuhi lebar kain. Sehingga detail lukisan atau gambar tidak terlalu banyak dan mempengaruhi cepat atau lamanya proses pewarnaan.

Kompasianers Jogja dan batik (sumber: dok pri)
Kompasianers Jogja dan batik (sumber: dok pri)

Maka tidak heran jika harga batik printing atau cap lebih murah dibandingkan dengan batik tulis. Hala jangan heran jika pernah melihat saya tidak memakai "seragam" batik di acara-acara resmi seperti di resepsi pernikahan. Waktu itu cukup memakai baju yang rapi dan sopan. Tentu rasanya menjadi asing dan aneh sendiri. Tetapi ada juga beberapa tamu yang tidak memakai batik. Ah, sedikit lega karena ada temannya.

Hingga pada suatu waktu, saya mendapat hadiah baju batik tulis dari seseorang yang kala itu menjabat sebagai kepala desa. Sebuah hadiah seperti sebuah jawaban akan permohonan yang saya  ungkapkan diam-diam di dalam hati. Keinginan memiliki baju batik tulis akhirnya kesampaian.

Motif atau gambarnya sederhana saat saya  melihat sekilas. Tapi setelah saya lihat mereknya, saya sempat membelalakkan mata sesaat. Merek yang cukup ternama dan terkenal dengan produk-produk batik tulisnya. Rasanya pingin segera pulang, memandangi dan mencoba baju batik baru.

Saya pernah ke toko yang sama dengan merek baju batik tulis yang saya terima tersebut. Kala itu, tujuannya sih membeli. Saya terpaksa cepat keluar dari toko batik ternama tersebut dengan muka dan senyum kecut. Harganya, jelas tidak terjangkau oleh isi dompet. Saat itu saya masih buta sama sekali tentang seluk-beluk batik termasuk juga dengan harganya.

motif batik (sumber: dok pri)
motif batik (sumber: dok pri)

Tidak semua orang mengetahui kapan kemalangan dan keberuntungan terjadi pada dirinya. Mendapat pemberian batik tulis bagai sebuah keberuntungan. Menghadiri acara pernikahan kenalan atau saudara semakin tambah percaya diri. "Seragam" kondangan sudah ada di tangan. Tinggal mencari teman yang selalu bersedia diajak pergi ke acara kondangan, waktu itu.

Bandingkan gambar mata pada kepala burung di baju batik tulis saya, yang saya dapatkan jauh sebelum batik Indonesia diakui oleh UNESCO  sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan non-bendawi. Lingkaran titik putihnya tidak sama besar demikian pula bentuk paruhnya, padahal gambar tersebut masih di kain atau baju batik yang sama.

(sumber: dok pribadi)
(sumber: dok pribadi)

Kegiatan membatik hampir sama dengan kegiatan menggambar atau melukis cuma media serta alat dan cara memproduksinya yang berbeda. Hari Batik nasional tidak hanya mengingatkan saya untuk meramaikan atau memeriahkan suasana batik ditanah air.

Tetapi mengingatkan saya jika ada mata pelajaran atau mata kuliah membatik, dapat dipastikan saya akan remedi berkali-kali. Bulan Oktober dua tahun lalu saya mendapat kesempatan untuk mengikuti kelas membatik. Seperti anak kecil yang akan mendapat pengalaman baru, persiapan sudah dilakukan sejak malam hari sebelum keesokan paginya berangkat.

Kira-kira rasanya seperti murid baru yang akan melihat sekolah, guru dan teman baru serta perlengkapan sekolah yang serba baru. Ekspetasinya tentu dapat dibayangkan karena kita semua pernah menjadi murid baru.

Sebagian perlatan membatik (sumber :dok pri)
Sebagian perlatan membatik (sumber :dok pri)

Sesampainya di kelas membatik semua memang serba baru. Dari canting, kain mori, bahkan wajan kecil terlihat juga masih baru serta beberapa perlengkapan lainnya.

Tibalah giliran untuk praktik membatik. Duduk dengan penuh keyakinan membatik itu mudah seperti yang terlihat dalam foto, gambar atau video bagaimana ibu-ibu membatik. Dari gaya, cara duduk, memegang canting, meniup ujung canting sudah saya pelajari dari rumah. Dan saya lihat lagi penuh seksama di kelas.

Saat membatik dengan cairan malam yang panas ke atas kain mori.  Teriakan pendek walau tidak begitu keras "Waaaa......". Membuat peserta dan mentor kelas batik menengok ke arah saya kaget tetapi dengan cepat berubah jadi tawa geli.

Seharusnya saya membuat garis tipis dan kecil sesuai gambar yang ada, hasilnya bukan seperti garis tetapi lebih menyerupai ulat. Batikan "ulat" merupakan batikan pertama saya, walau gagal saya tidak menyerah. Kali ini dengan mengganti canting, siapa tahu dengan lubang ujungnya yang lebih kecil dapat menghasilkan batik seperti yang diinginkan.

Mencoba batik cap (sumber: dokpri)
Mencoba batik cap (sumber: dokpri)

Saya coba menulis nama saya "ko in" dan tahun "2017" di atas selembar kain putih ternyata tidak mudah. Saat menyadari membatik itu tidak mudah, saya dikejutkan oleh suara pendek "Waaaaa....." dari peserta kelas batik lainnya yang membuat suasana membatik ramai dengan canda. Tidak seperti di video atau film yang memperlihatkan ibu-ibu atau simbah-simbah serius dan tekun membatik lainnya. Tanpa bersuara seperti kami.

Ibu-ibu tekun membatik (Sumber: dok pri)
Ibu-ibu tekun membatik (Sumber: dok pri)

Menulis nama sendiri ternyata juga tidak mudah. Kemudian mentor meminta kami untuk membawa kain hasil batikan ke tempat proses pembuatan batik cap.

Begitu terhiburnya manakala batikan saya diperindah hasilnya dengan batik cap. Sehingga karya batik saya terlihat tidak jelek-jelek amat walau mungkin menurut mentor, saya harus remidi di kunjungan berikutnya. No waaaa. Eh, no waylah yauuu.........

Tak terasa tepat dua tahun saya belajar membatik untuk pertama kali waktu itu. Saya pandangi baju batik tulis pertama saya, yang umurnya lebih tua dari anak pertama saya. Warnanya dominan coklat dan ada gambar burung. Entah siapa yang membatiknya saya tidak tahu.

Ibu-ibu tekun membatik (Sumber: dok pri)
Ibu-ibu tekun membatik (Sumber: dok pri)

Tetapi yang jelas dari tangan terampil penuh ketekunan dihasilkan sebuah karya seni. Saya sering terkagum-kagum sendiri manakala melihat baju batik tulis saya sedang di jemur dengan cara diangin-anginkan.

Jika UNESCO dapat menghargai batik. Bagaimana dengan kita? Apakah memakai batik hanya sekadar ikut-ikutan atau trend. Atau karena ingin mengapresiasi dan menghargai karya seni ? Sehingga spontan keluar kata "Waaauu....", saat orang lain melihat kita memakai batik. Tidak lain karena keren.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Beauty Selengkapnya
Lihat Beauty Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun