Pada sepertiga malam yang hening dan syahdu, di atas sajadah biru panjang yang tertata rapi, aku mengusap wajahku yang tirus dengan kedua tangan. Mukena putih telah melekat di tubuh kurus ini. Dengan hati yang luruh dan penuh harap, aku bermunajat kepada Sang Penentu Takdir Hidup melalui shalat malam, memohon agar Allah SWT mengabulkan semua doaku.
Namaku Jauharotul Badi'ah, nama indah pemberian kedua orang tuaku, yang bermakna "Permata yang Indah." Aku adalah anak sulung dari lima bersaudara, lahir dan dibesarkan di Blitar pada 51 tahun silam. Sejak kecil, aku dikenal sebagai anak yang tekun belajar. Bahkan saat belum lancar membaca, aku selalu minta diajari ibu setiap selesai salat maghrib.
Sore harinya, aku belajar Al-Qur'an bersama ibu dengan metode yang sangat telaten dan disiplin. Satu ayat diulang sampai dua belas kali hingga benar-benar lancar. Setiap selesai satu juz, ibu meminta mengulang kembali dari awal. Proses itu terus berlanjut hingga aku benar-benar bisa membaca Al-Qur'an secara tartil. Aku menjalaninya dengan senang hati.
Saat duduk di bangku MTs, aku mulai bercita-cita menjadi guru, seperti ayahku. Aku rajin mengumpulkan kliping informasi ujian masuk perguruan tinggi negeri. Setelah lulus dari MAN Denanyar Jombang, aku sempat ingin mondok di pesantren tahfidz di Kudus. Namun, ibu tidak menyetujuinya. Waktu itu aku tidak mengerti alasannya. Baru belakangan aku sadar, alasan ibu bukan karena tak setuju pada niatku, melainkan karena keterbatasan biaya.
Aku melihat sendiri bagaimana ibu sering meminjam uang ke tetangga untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, karena gaji ayah sebagai guru sangat kecil. Sejak itu, aku bertekad tidak ingin membebani mereka. Dari masa sekolah dasar hingga kuliah, aku tidak pernah meminta uang saku. Bahkan saat kehabisan uang di pondok, aku tak pernah meminta tambahan.
Tahun 1994, aku memutuskan pergi ke Jakarta, tinggal bersama salah satu kerabat ayah demi bisa kuliah di IAIN Jakarta (sekarang UIN Jakarta). Setelah satu semester, aku pindah ke Yayasan Darun Nisa, yang menaungi yatim piatu, dhuafa, dan lansia. Di sana aku tinggal sambil membantu pekerjaan apapun. Sayangnya, karena kelelahan dan kekurangan gizi, aku jatuh sakit. Setelah satu tahun di sana, aku kembali ke kampung halaman dan melanjutkan kuliah di STAIN Tulungagung.
Alhamdulillah, setelah lulus tahun 1999, aku langsung diterima sebagai guru honorer di MTsN 1 Blitar, mengajar Bahasa Arab. Pagi hari aku mengajar di sekolah formal, sore hari aku mengajar di TPQ As-Salam, yang merupakan rintisan ayah dan ibu.
Tahun 2001 aku menikah, dan mengikuti suami pindah ke Gresik. Di sana, aku melanjutkan pengabdianku sebagai guru di MI Al-Husna dan mengajar di TPQ Baiturrahman, GKB. Pada tahun 2002, anak pertama kami lahir, kami beri nama Annisa Nabila Rahma. Sejak kecil aku mendidik dan mengajarinya sendiri, termasuk membaca dan mengaji. Nabila tumbuh menjadi anak berprestasi sejak TK. Tahun 2014, kebahagiaan kami semakin lengkap dengan kelahiran anak kedua, Mahira Alya Kamila.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Pada Mei 2015, suamiku wafat, saat Mahira baru berusia lima setengah bulan, dan Nabila duduk di kelas dua SMP. Dunia terasa runtuh. Hampir setahun aku hidup dalam kegelapan, tak mampu menatap masa depan.
Setelah selamatan 40 hari wafatnya suami, aku memutuskan kembali ke kampung halaman di Blitar. Mahira sering sakit dan membutuhkan perhatian penuh, sementara Nabila butuh pendampingan untuk beradaptasi. Setelah satu tahun, kesehatan Mahira mulai stabil, dan Nabila mulai berprestasi kembali.