Di sebuah desa yang tenang di Kecamatan Sutojayan, Blitar, terdapat sosok guru yang tak hanya dikenal karena ilmunya, tetapi juga karena ketulusannya dalam mendidik dan berdakwah---Nawang Lukman Priyonggo, S.Ag. Sehari-hari, beliau mengajar Pendidikan Agama Islam di SD Islam Aisyiyah Kalipang. Namun lebih dari itu, beliau adalah sahabat spiritual bagi murid-muridnya dan teladan dalam kehidupan keseharian. Bagi Nawang, mengajar bukan sekadar transfer ilmu, tapi cara menyemai nilai-nilai iman, akhlak, dan kasih sayang di hati anak-anak.
Ketika kesempatan Lomba Berdakwah Gema Ramadhan 2025 hadir, Nawang tak melihatnya sebagai ajang mencari pujian, melainkan sebagai ladang amal dan ruang belajar. "Saya ingin menyampaikan pesan kebaikan kepada lebih banyak orang, terlebih di bulan Ramadhan yang penuh rahmat," tuturnya lembut.
Dakwah yang Tumbuh dari Ketulusan
Tema tausiyah yang dipilihnya, "Sucikan Hati untuk Meraih Ridho Ilahi", berangkat dari refleksi pribadi: bahwa hati yang bersih adalah pintu segala kebaikan. Dalam proses persiapan, Nawang menyusun materi dengan hati-hati, mengulang hafalan ayat dan hadits, dan rutin berlatih public speaking. Ia mencatat sendiri poin-poin penting, membuat kerangka dakwah yang terstruktur, bahkan merekam penampilannya untuk mengevaluasi.
Tantangan terberat bukanlah kompetisi itu sendiri, melainkan membagi waktu antara tugas sekolah, keluarga, dan latihan. "Ada satu titik saat saya merasa tidak yakin materi saya bisa tersampaikan dengan baik, padahal latihan sudah berulang kali," kenangnya. Namun dukungan dari keluarga dan sahabat membuatnya kembali bangkit. Bagi Nawang, setiap latihan bukan beban, tapi bentuk pengabdian.
Menang Tak Membuat Lupa Diri, Kalah Tak Menghentikan Langkah
Ketika namanya diumumkan sebagai finalis, Nawang tertegun. Ketika akhirnya meraih juara 3, ia hanya bisa bersyukur sembari menunduk. "Bagi saya ini bukan soal peringkat, tapi amanah yang makin besar untuk terus berdakwah," ucapnya penuh haru. Lomba ini menjadi cermin untuk memperkuat spiritualitas, memperbaiki teknik komunikasi, dan menumbuhkan empati saat menyampaikan pesan-pesan Ilahi.
Ia menyebut Nabi Muhammad SAW sebagai sumber inspirasi utamanya: "Beliau berdakwah dengan kelembutan, kesabaran, dan akhlak mulia. Itu yang saya coba teladani, meski belum sempurna."
Menerangi Sekolah, Menghidupkan Masyarakat
Usai lomba, Nawang tidak berhenti. Ia justru semakin terdorong mengembangkan kegiatan dakwah di sekolah, merancang program pembinaan akhlak, membentuk kelompok kajian kecil, dan mengajak siswa untuk aktif berdialog tentang keimanan dan kehidupan. Ia juga mulai merintis kegiatan dakwah di masyarakat sekitar, termasuk dengan rekan-rekan guru PAI di wilayah Blitar.
Ia percaya, literasi Al-Qur'an dan semangat dakwah harus ditanamkan sejak dini, tidak hanya lewat ceramah, tapi juga lewat keteladanan dan pendekatan yang hangat. "Kita perlu menanamkan bahwa Al-Qur'an bukan hanya untuk dihafal, tapi untuk dihayati dan diamalkan," ujarnya tegas.
Menyalakan Cahaya di Mana Pun Berada
Kepada sesama guru PAI, Nawang berpesan agar tak ragu untuk terus belajar dan berdakwah, meski dari tempat yang sederhana. "Kita tidak harus punya panggung besar untuk berdakwah. Di ruang kelas kecil pun, kita bisa menjadi cahaya. Satu kata yang tulus bisa menggerakkan hati yang gersang," ungkapnya penuh keyakinan.
Penutup: Dakwah Adalah Tanggung Jawab Setiap Insan Beriman
Kisah Nawang Lukman Priyonggo adalah bukti bahwa berdakwah bukan monopoli para ulama atau ustadz di mimbar, tapi bisa dilakukan oleh siapa saja, di mana saja, selama ada niat dan ketulusan. Dari ruang kelas, ia menyalakan cahaya. Dari podium lomba, ia menyebarkannya lebih luas. Dan kini, dengan semangat yang tak padam, ia terus melangkah, menjadikan dakwah sebagai jalan hidup, bukan sekadar kegiatan musiman.