Mohon tunggu...
Gema Bastari
Gema Bastari Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Paramadina

Selanjutnya

Tutup

Politik

Refleksi Indonesia 1 Mei 2012 (Perihal Kenaikan Harga BBM)

30 Juli 2012   23:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:25 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

”Pemerintah akan menganggarkan total Rp 25,6 triliun untuk 18,5 juta rumah tangga sasaran (RTS) dalam program BLSM. Setiap RTS akan menerima Rp 150.000 per bulan selama sembilan bulan. Dana itu akan dikucurkan setiap tiga bulan.”

-Kompas.com 15 Maret 2012-

Pernahkah Anda membayangkan memiliki uang 25 Triliun Rupiah? Semisal suatu ketika ada seorang multimilioner yang sedang melakukan transaksi 25 Triliun Rupiah dengan rekannya kemudian entah bagaimana salah mengetik nomor rekening yang ia tuju menjadi nomor rekening Anda. Otomatis rekening Anda akan terisi dengan uang 25 Triliun Rupiah yang tidak pernah Anda minta sebelumnya. Apa yang akan Anda lakukan?

Dalam kondisi seperti tadi, seseorang akan memiliki dua pilihan, mau berpikir pendek atau berpikir panjang. Jika orang tersebut memilih untuk berpikir pendek, maka ia akan menggunakan seluruh uang tersebut untuk konsumsi. Konsumsi pertama yang akan ia lakukan adalah konsumsi terhadap kebutuhan pokok, namun dengan tingkatan yang jauh lebih tinggi. Untuk rumah ia akan membeli sebuah unit di wilayah Pondok Indah, untuk pakaian ia akan membeli pakaian rancangan designer nomor satu dunia, dan untuk makanan ia akan segera pergi ke restoran paling mahal di Jakarta dan menikmati makanan-makanan mewah yang belum pernah dicicipinya.

Setelah semua itu sudah dibeli, ia akan mengonsumsi kebutuhan sekundernya, kemudian tersiernya. Smartphone terbaru, Notebook terbaru, Gadget terbaru, Mobil termahal, Sepeda Motor termahal sampai tiba-tiba 25 Triliun itu hanya tersisa 100 juta saja. Pada saat itulah ia baru sadar bahwa semua barang-barang yang dibelinya telah begitu usang dan sudah tidak dipakai lagi. Sementara itu, produk-produk baru yang lebih canggih pun bermunculan. Dengan begitu semua barang yang telah dikonsumsinya akan mengalami penurunan nilai dan uang 25 Triliun yang telah berubah menjadi Pakaian, Gadget, Mobil, Motor, dan kotoran hasil makanan mewah, mungkin nilainya hanya tinggal 5 Triliun saja.

Namun jika orang tersebut memutuskan untuk berpikir panjang, maka ia akan berpikir bagaimana supaya uang 25 Triliun tersebut dapat menjadi berlipat ganda. Hal termudah yang dapat dilakukannya adalah berinvestasi di sejumlah sektor yang diasumsikan akan bersinar di masa depan. Setelah uangnya semakin banyak, langkah selanjutnya tentu adalah membuat sebuah usaha, sebuah usaha yang tentunya akan kuat, kokoh, dan mampu bertahan lama. Hal ini tentunya akan menciptakan sebuah lapangan pekerjaan yang memberikan gaji sesuai UMR kepada setiap karyawannya. Dengan begitu, uang 25 Triliun yang digunakannya untuk berinvestasi dan berwiraswasta tersebut telah berubah menjadi lembar-lembar saham, asset-asset tak bergerak, dan terdistribusi dengan baik kepada semua orang. Jika dihitung dengan mengikutkan uang yang terdistribusi kepada orang-orang, maka nilainya mungkin dapat mencapai 75 Triliun. Itulah yang didapat dari berpikir panjang.



Apakah Pilihan Pemerintah Indonesia?

Dengan memutuskan untuk mengalokasikan uang 25 Triliun Rupiah yang didapat dari pengurangan subsidi BBM kepada BLT atau Bantuan Langsung Tunai, pemerintah telah membuktikan dirinya sebagai orang-orang berpikiran pendek yang hanya mampu berpikir untuk urusan konsumsi. Dalam hal ini, konsumsi yang mereka lakukan adalah konsumsi popularitas dan kekuasaan politik. Sayangnya, mereka tidak menyadari, bahwa begitu uang 25 Triliun tersebut berubah menjadi pulsa, bensin, dan kotoran hasil makanan, popularitas tersebut akan menurun kembali seiring dengan nilai 25 Triliun tersebut.

Padahal jika pemerintah mau memilih untuk berpikir panjang, mereka akan menyadari bahwa 25 Triliun Rupiah bukanlah jumlah yang kecil. Jika uang tersebut dijadikan sebuah perusahaan, tentu uang tersebut akan semakin berlipat ganda dan akan menyedot banyak pekerja dari golongan tidak mampu yang akan dibayar dengan gaji UMR. Itu tentu jauh lebih banyak daripada 150 ribu yang didapat dari penyaluran BLT. Lebih lagi, dampak yang akan dirasakan oleh masyarakat berkat adanya perusahaan ini akan dirasakan lebih dari sembilan bulan penyaluran BLT. Bukankah itu jauh lebih baik daripada memberikan BLT?

Sayangnya pemerintah kita memang tidak terdiri dari orang-orang yang mampu berpikir panjang. Kebanyakan hanyalah orang-orang yang hanya tahu bagaimana mempertahankan karir politik mereka, namun tidak tahu bagaimana harus mengabdi pada masyarakat. Hal ini memang aneh, sebab di negara-negara barat, orang-orang yang berkecimpung dalam pemerintahan akan disebut dengan Public Servant yang berarti pelayan publik. Hal ini dimaksudkan agar mereka sadar bahwa pekerjaan mereka adalah melayani masyarakat, bukan dilayani. Bagaimana dengan di Indonesia? Sebutan Pegawai Negeri Sipil telah menjadi suatu kebanggaan tersendiri karena mereka akan mendapat pelayanan yang begitu menyenangkan dari pajak yang dibayarkan masyarakat ke instansi mereka. Sulit rasanya mengharapkan mereka untuk mampu berpikir panjang demi kemajuan negara ini.

Tapi biar bagaimanapun, kesalahan pemerintah adalah kesalahan rakyat Indonesia yang telah memilih mereka juga. Kita semua sudah sepakat bahwa negara Indonesia akan dijalankan dengan sistem Presidensial. Hal ini berarti masa jabatan Presiden adalah tetap dan beliau tak dapat diturunkan hanya karena membuat sebuah kebijakan. Maka dari itu akan aneh rasanya kalau mahasiswa ilmu politik yang sudah mengetahui hal itu sejak ia duduk di semester I tiba-tiba datang bergerombol, merusak pagar gedung DPR, kemudian meminta Presiden untuk turun. Rasanya seperti mereka tidak pernah masuk kelas Pengantar Ilmu Politik saja.

Kemudian rakyat pun tidak boleh hanya mengeluh dan menyuarakan apa yang tidak mereka sukai saja. Mereka harus mengatakan dengan tegas apa sesungguhnya yang mereka inginkan dan menyediakan solusi untuk melakukannya. Pada saat itu, satu-satunya solusi yang dapat diberikan pemerintah untuk mengatasi kenaikan BBM hanyalah dengan memberikan BLT saja yang sudah kita ketahui tidak akan memberikan manfaat cukup banyak kepada rakyat. Jika kita tidak menyukainya, maka sampaikanlah solusi yang lain dengan cara bermusyawarah. Bukankah itu cara orang-orang Timur dalam menyelesaikan masalah yang selalu kita bangga-banggakan? Ataukah kita sudah melupakannya karena pengaruh globalisasi?

Pada akhirnya, kebijakan menaikkan harga BBM tersebut pun dibatalkan. Pemerintah pada akhirnya tidak mengambil pilihan apapun dan membiarkan persoalan di negeri ini semakin berlarut-larut. Dan saya pun semakin tak mengerti citra apa yang sebenarnya ingin dibangun oleh pemerintah Indonesia saat ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun