Arti jabatan di Indonesia memang sangat identik dengan adanya superioritas. Yang artinya, segala urusan bisa 'diatur' ketika orang yang tengah terlibat konflik punya akses terhadap pemangku kebijakan. Ada yang hanya mengaku-ngaku. Tak jarang pula yang benar-benar keluarga pejabat.
Dengan modal superioritas yang dimiliki itu, para pelakunya akan mengintimidasi dan mengambil keuntungan tertentu dari sang lawan yang jauh lebih inferior. Para pelakunya berharap lawannya akan takut, dan memilih untuk mengalah/pasrah.
Selain itu, karakter seseorang juga amat berpengaruh dalam menghadapi konflik. Orang-orang yang sejak kecil tak pernah diajarkan tentang kepekaan sosial, akan membuat mereka tumbuh dengan sikap egois dan ingin menang sendiri.Â
Mereka yang sejak belia selalu dipenuhi seluruh keinginannya dan tidak pernah diajarkan berempati, akan tumbuh jadi pribadi yang berperilaku semena-mena.
Hal itu pada akhirnya membuat mereka berpikir kalau semua permasalahan bisa dengan amat mudah diselesaikan lewat privilese yang dimilikinya. Mereka tidak harus berperilaku baik terhadap sesama warga negara lantaran merasa memiliki ikatan kekeluargaan dengan pihak yang lebih berkuasa–yang akan membelanya dalam suatu perkara hukum.
Dengan mengklaim diri sebagai kerabat pejabat tertentu secara terbuka, mereka menganggap dirinya mempunyai status sosial yang lebih tinggi. Hal itu memang terbilang cukup ampuh untuk membuat lawannya mati gaya dan ketakutan.
Mereka juga mempunyai kecendrungan guna meluapkan emosi dan agresi pada pihak yang dianggapnya musuh. Nyaris semua orang yang kerap memakai jalur keluarga pejabat memang begitu gemar marah atau mencaci-maki setiap orang yang terlibat konflik dengan mereka.
Hipotesis itu didukung hasil penelitian yang bertajuk "Social Status and Anger Expression: The Cultural Moderation Hypothesis" yang dilakukan di Jepang. Studi itu mengungkapkan fakta bahwa orang yang memiliki status sosial lebih tinggi akan cenderung menunjukkan ekspresi kemarahan yang lebih banyak.
Status sosial lebih tinggi pada kalangan tertentu bisa memberikan hak istimewa untuk menunjukkan kemarahan melalui hubungan yang dimediasi oleh otoritas-otoritas pengambil keputusan (pejabat).
Menurut Ralf Dahrendorf, konflik hanya muncul lewat relasi-relasi sosial dalam sistem. Oleh karena itu, konflik tak akan melibatkan individu ataupun kelompok yang tak terhubung dalam suatu sistem.
Dalam teori Dahrendorf, relasi-relasi di dalam struktur sosial sangat ditentukan oleh kekuasaan. Adapun kekuasaan yang dimaksud olehnya, ialah kekuasaan atas kontrol dan sanksi yang memungkinkan pemilik kekuasaan memberikan perintah dan meraih keuntungan dari orang yang tidak berkuasa.