Tengoklah baliho-baliho di tepi jalan itu. Mereka tampak sangat gagah lantaran didirikan di atas penderitaan rakyat. Kalau tidak karena amplop, manusia mana lagi yang sudi memilih mereka?
Ajang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 memang masih jauh. Namun, para bakal kandidat presiden sudah mulai bersiap-siap dengan amunisinya. Mereka tengah bersaing untuk mencuri start, tiga tahun sebelum lonceng kampanye dibunyikan.
Pada saat pemerintah yang kini sedang gencar-gencarnya meminta warga agar selalu menerapkan hidup sehat, justru sistem politik dan para politisi lah yang belakangan ini sedang tidak sehat.
Masih tingginya penularan COVID-19 di tengah masyarakat, nyatanya tak sedikit pun mampu meredam hasrat dan ambisi mereka yang kelewat barbar untuk terus menebar "teror" lewat baliho kampanye. Sejumlah baliho yang memasang wajah-wajah para politisi yang menyeringai di tengah penderitaan warga, mulai marak terlihat di pinggir-pinggir jalan.
Meski tidak menyebutkan agenda, orang gila pun paham bahwa baliho-baliho itu dimaksudkan untuk mempersipakan diri mereka menuju Pilpres 2024 mendatang. Bukan untuk cari jodoh, apalagi wangsit!
Mereka terlihat sangat bahagia dengan senyuman khas elite politik yang sarat akan sandiwara. Sementara, rakyatnya menangis akibat pendemi yang seolah-olah tidak berkesudahan.
Demi memuaskan hasrat terpendamnya, mereka terkesan kompak mengerdilkan nilai-nilai kemanusiaan. Tatkala rakyat menderita dan membutuhkan bantuan, sejumlah elite partai terus melancarkan serangan guna memuluskan agendanya.
Efektivitas Baliho Kampanye
Kampanye melalui baliho bisa dikatakan sudah amat usang pada era serba digital. Saya meragukan efektivitas pemasangan baliho yang dilakukan oleh para politisi.
Apakah Anda akan menetapkan pilihan pada seorang politikus hanya menurut kualitas dan kuantitas baliho yang bisa Anda jumpai di pinggir jalan?
Saya yakin, Anda, pembaca Kompasiana, akan menjawab tidak atau bahkan justru merasa risih akibat baliho yang memang tidak sedap dilihat dan menyalahi nalar.