Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Kepergian Artidjo Alkostar, Sang Algojo Koruptor yang Patut Diteladani

1 Maret 2021   01:05 Diperbarui: 2 Maret 2021   18:56 1862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hakim Agung Artidjo Alkostar. | (KOMPAS/WISNU WIDIANTORO)

Lantas, saat pulang ke Indonesia, ia mendapatkan gaji selama sembilan bulan yang belum diambilnya. Namun, ia menolak lantaran merasa gaji itu bukanlah haknya.

Keputusan Artidjo itu dikhawatirkan bisa berimbas pada hakim agung lain. Ia pun akhirnya mengambilnya. Uniknya, alih-alih mengantonginya sendiri, ia justru menyumbangkan gajinya tersebut demi keperluan pembangunan masjid di MA. Sebagian dari gajinya juga dibagikan ke masjid di kampung halaman Artidjo di Situbondo dan Madura.

Pria lulusan FH UII Yogyakarta tahun 1976 itu mengungkapkan bahwa resep dari raihan prestasi briliannya semasa menjabat sebagai Hakim Agung adalah kerja ikhlas.

Artidjo mengaku bahwa bekerja ikhlas bukanlah hal yang mudah. Akan tetapi, upaya itu harus dilakukan karena keikhlasan merupakan nutrisi utama dari batin manusia.

"Saya bisa bekerja sampai larut malam, pulang pun membawa berkas, besok sudah habis, tetapi jika kita tidak ihklas itu energi kita menjadi racun dalam tubuh, menjadi penyakit," ucapnya.

Selama 18 tahun menjabat, ia mengaku tak pernah mengambil cuti. Artidjo juga selalu menolak diajak plesiran ke luar negeri karena akan ada implikasi besar bagi tugasnya. Sikap yang tampak sangat kontras dengan pejabat dan wakil rakyat kita yang doyan plesiran.

Menjadi Hakim Agung tak membuatnya tinggi hati. Saat ia ditanya awak media mengenai keinginannya pasca pensiun, Artidjo bahkan lebih memilih pulang kampung dan memelihara kambing.

Ketokan palu Artidjo mampu membuat koruptor terkencing-kencing di popok. Para terdakwa yang awalnya masih bisa tersenyum atas vonis ringan, dibuatnya menangis dan depresi karena ia justru melipatgandakan hukumannya di level kasasi. Hingga pensiun pada Mei 2018 lalu, ia selalu konsisten garang kepada setiap koruptor yang ia tangani.

Artidjo tidak pernah ragu menjatuhkan hukuman berat terhadap para terdakwa korupsi tanpa memandang peta kekuatan serta sepektrum politiknya. Ia juga tidak mengenal kompromi yang terbukti dari sejumlah perkara kakap dan hukuman berat yang pernah ia jatuhkan.

Hukum diciptakan bukan untuk hukum itu sendiri, tetapi untuk kemanusiaan dan peradaban. Begitu menurutnya. Oleh sebab itu, semua anak manusia harus diperlakukan sama dan setara. Keadilan itu, kata Artidjo, tidak mengenal batas.

Bagi Artidjo, tidak ada satu profesi pun yang boleh ditempatkan lebih tinggi dari hukum. Hal itu sama saja dengan oligarki. Pandangan semacam itulah yang patut ditiru oleh seluruh pejabat di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun