Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Begini Cara "Google Effect" Bikin Otak Kita Menjadi Manja

8 Januari 2021   03:59 Diperbarui: 8 Januari 2021   08:55 2145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Google effect. | AmsStudio / Shutterstock.com

Setiap hari, otak kita menemukan banyak informasi baru. Sulit bagi manusia untuk menyimpan seluruh informasi itu dalam ingatan. Oleh karena itu, kita harus lebih memprioritaskan informasi apa yang kita pilih untuk diingat.

Dampak dari fenomena "Google Effect" adalah informasi yang telah didapatkan lazimnya akan segera kita lupakan begitu selesai menggunakannya, seperti halnya pengalaman yang dirasakan oleh penulis.

Itulah yang menjelaskan mengapa kita masih dapat mengingat kata-kata yang kita hafal semasa kecil. Akan tetapi, kita lebih sulit mengingat frasa-frasa baru sajak kita terlena dalam pelukan Google.

Google bahkan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari. Akan selalu saja ada aktivitas yang melibatkan Google, mulai dari mencari definisi kata, berburu berita dan sumber menulis, ide memasak, hingga cara cepat untuk mengeringkan celana dalam yang basah akibat kehujanan.

Saking krusialnya, bahkan Google pun telah diserap sebagai kata kerja dalam Oxford English Dictionary pada tahun 2006. Tak lama berselang, kamus versi lain pun mengikuti langkah serupa.

Google ialah mesin yang bisa digunakan untuk mencari informasi di lebih dari 1,9 miliar situs di jagat maya dan digunakan oleh lebih dari 90% pengguna internet.

Layaknya candu, Google selalu memaksa kita untuk terus-menerus terlarut dalam dekap manjanya. Meskipun cukup jarang menyebut angka, Google membeberkan bahwa mereka sudah memproses sekitar 1,2 triliun pencarian dalam setahun, atau sekira 3,5 miliar per hari di seluruh dunia pada tahun 2012 silam.

Sumber: Nypost.com
Sumber: Nypost.com
"Alih-alih pergi ke perpustakaan untuk mencari informasi," tulis Jan Brophy dalam "Is Google Enough?", "kini kita lebih memilih mencari informasi dengan hanya beberapa klik dan sentuhan tuts papan ketik (menggunakan Google)."

Celoteh Jan mendeskripsikan bagaimana proses pencarian informasi di era kiwari, dan bagaimana Google mulai menggeser peran buku (dalam bentuk fisik) sebagai pusat informasi mengenai peradaban.

Bagi generasi "digital natives", aktivitas penelitian pada dasarnya identik dengan melakukan pencarian di Google, alih-alih membaca atau belajar di perpustakaan.

Entitas pendidikan semakin bergantung pada metode internet untuk siswa dalam mengakses materi dan melakukan riset. Imbasnya, mereka akan semakin sedikit mengingat hal-hal yang telah dipelajari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun