Sepak bola dan musik layaknya dua sejoli yang dimabuk cinta. Selalu mesra. Sulit dipisahkan.
Keduanya memang sudah lama menjalin simbiosis mutualisme dalam jalinan yang amat mesra. Begitu setia. Pun sangat sulit dipisahkan. Dimana ada sepak bola, maka di situ pula ada musik.
Apa yang ada di dalam benak kita ketika We Are the Champions yang dibawakan oleh Queen berkumandang? Sepak bola bukan? Wajar saja, karena lagu gubahan Freddie Mercury itu merupakan official theme song Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat. Masih ingat siapa juaranya?
Lantas apa yang bersemayam di benak kita saat mendengar nama Tony Britten? Dapat dipastikan kita sulit mengenalnya karena dia bukan pesepak bola.
Namun, jika saya menyebut lagu tema Liga Champions, saya yakin kita semua sudah sangat akrab dengan aransemen orkestra yang selalu bergema setiap kali kompetisi antar-klub Benua Biru dimulai.
Ketika lagu itu mulai diputar, yang hanya kita ingat adalah saat-saat di mana Liga Champions akan digelar, bukan tentang Tony Britten sebagai komposer di balik masterpiece-nya. Hal itu menandakan sepak bola dan musik sudah menyatu di dalam satu tubuh.
Sejak era sepak bola modern. Musik kerap dipakai sebagai appetizer sebelum lantas main course (kompetisi sepak bola) mulai dihidangkan.
Di ajang yang sama, lagu kebangsaan dari negara-negara peserta menjadi hal wajib yang harus diperdengarkan di stadion sebelum pluit sepak mula dibunyikan.
Begitu halnya kelompok suporter yang juga menggunakan chant-chant untuk membakar semangat pemain-pemain kesayangan mereka ketika bertanding.