Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pelonggaran PSBB, Pemerintah Mulai Panik?

13 Mei 2020   01:56 Diperbarui: 13 Mei 2020   01:51 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Checkpoint pemeriksaan PSBB (infodepok via carmudi.co.id)

Rencana pemerintah mempersiapkan skenario pelonggaran PSBB menimbulkan dilema di tengah masyarakat pada saat angka kasus terkonfirmasi positif masih menunjukkan peningkatan.

Dari data Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 per hari Selasa (12/5/2020) mencatat, jumlah kasus terkonfirmasi positif menjadi 14.749 setelah ada penambahan sebanyak 484 orang. Sedangkan, jumlah kasus meninggal bertambah menjadi 1.007 setelah ada penambahan sebanyak 16 orang.

Dalam skenarionya, pemerintah memperbolehkan masyarakat yang berusia di bawah 45 tahun untuk kembali beraktivitas atau bekerja, agar mereka tidak kehilangan mata pencaharian.

Padahal data menunjukkan, rentang usia 31-45 tahun adalah yang terbesar kedua, dengan jumlah kasus positif sebesar 28,9%. Lalu rentang usia 18-30 tahun dengan angka kasus positif sebesar 18,9%.

Jika dilihat dari segi perekonomian negara, menurut saya, pelonggaran yang dilakukan pemerintah sangat logis dan beralasan. Mengingat UMKM adalah sektor yang paling terdampak, bahkan banyak yang gulung tikar dan melakukan PHK besar-besaran karena kegiatan usaha mereka berhenti total.

Sektor riil adalah garda terdepan perekonomian Indonesia. Seperti yang sudah kita ketahui bersama, sektor UMKM merupakan penyelamat perekonomian negara pada krisis-krisis ekonomi yang sebelumnya pernah melanda Indonesia.

Namun, efektifitas pelonggaran PSBB terhadap sektor UMKM pun masih menjadi pertanyaan. Pemerintah harus mulai berhitung, berapa besar dampak pertumbuhan ekonomi pada sektor UMKM.

Di sisi lain, pemerintah juga harus siap dalam menanggulangi peningkatan angka positif Covid-19 akibat pelonggaran yang diberlakukan.

Menjadi sangat riskan ketika alat pemeriksaan cepat dalam skala besar adalah salah satu kelemahan Indonesia dalam menghadapi penyebaran Covid-19.

Menggantungkan kebutuhan dasar sepenuhnya kepada pemerintah adalah sangat mustahil untuk dilakukan, bantuan-bantuan sosial yang diberikan belum cukup mampu untuk meningkatkan daya beli masyarakat atau hanya sekedar untuk bertahan hidup.

Diberlakukannya PSBB dan pelarangan mudik yang tidak disertai dengan pemberian bantuan sosial yang merata dan tepat sasaran menjadi pukulan yang telak bagi warga negara yang terdampak, terbukti dari beberapa media berita mainstream yang memberitakan adanya kasus kematian akibat kelaparan di tengah pandemi.

Bahkan penulis sendiri sudah lebih dari sebulan yang lalu menjadi korban PHK yang hinggi kini belum menerima pesangon serta bantuan apapun dari pemerintah, sedangkan kebutuhan hidup terus berjalan.

Selain meningkatkan perekonomian sektor UMKM yang terdampak, penyediaan lapangan pekerjaan bagi jutaan korban PHK menjadi fokus utama selanjutnya bagi pemerintah.

Jika pemerintah tidak segera tanggap, angka orang miskin baru akan mengalami peningkatan yang sangat tajam seiring penyebaran kasus Covid-19 yang masih mengalami peningkatan.

Dalam sistem rantai komando, koordinasi masih menjadi PR yang sangat besar pada sistem birokrasi negeri ini. Pemerintah harus segera memperbaiki koordinasi antar kementerian dan lembaga, serta pemerintah daerah, untuk menghilangkan missing link dalam rantai birokrasi setiap kebijakan.

Carut marut rantai komando itu bisa kita lihat dari amburadulnya sistem pendataan penerima bantuan sosial yang memicu tersendatnya distribusi Bansos yang seharusnya sudah diterima oleh penerima yang tepat. Belum lagi di tingkat kementrian yang masih didapati adanya perselisihan kebjiakan yang dikeluarkan.

Sebagai contoh, perbedaan regulasi antara Kementerian Perhubungan dan Kementerian Kesehatan dalam menyikapi pelarangan pengemudi ojek online untuk tetap beroperasi.

Jika perbedaan kebijakan atau regulasi seperti itu terus berlanjut, maka akan menimbulkan ketidakpercayaan dan kebingungan, siapa yang harus dipatuhi dan kebijakan mana yang harus ditaati oleh masyrakat.

Mendasarkan suatu kebijakan hanya pada kepanikan ekonomi dan prediksi tanpa tinjauan keilmuan yang mendalam tentu akan sangat berisiko. Tujuan peningkatan ekonomi belum tentu tercapai, namun justru angka positif mengalami ledakan.

Sebagai warga negara, kami akan mematuhi apapun kebijakan yang diberlakukan pemerintah, asalkan tujuan dalam meningkatkan perekonomian setiap warga negara yang terdampak dapat dicapai, tanpa harus mengorbankan lebih banyak korban jiwa akibat ledakan Covid-19.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun