Mohon tunggu...
Izzuddin Muhammad
Izzuddin Muhammad Mohon Tunggu... Freelancer - hamba Allah

penulis pemula

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rasa yang Tak Sampai

26 Maret 2017   14:28 Diperbarui: 26 Maret 2017   14:35 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Abah, sebelumnya saya mohon maaf jika dianggap lancang. Saya menghadap kepada Abah bermaksud mengkhitbah dek Rima, putri Abah. Insya Allah saya siap lahir bathin menjadi imam dek Rima, jika dia berkenan dan Abah mengizinkan” ucap Zakaria mantap......di hadapan cermin. Ya. Di hadapan cermin, bukan Kiyai Rasyid, ayah dari Rima, wanita yang selama ini ia sukai diam-diam.

Seusai menyelesaikan studi strata satunya, Zakaria diminta untuk mengajar di pesantren yang menjadi almamaternya. Kiyai Rasyid sendiri yang meminta sehingga ia tak kuasa menolak. Kini ia punya sebutan baru, “ustadz”, dan menjadi salah satu ustadz yang paling merakyat di mata santri-santrinya.

Ketika hari libur ia sering berbaur bersama santri-santrinya untuk bermain bola. Usia yang relatif masih muda dan tidak terlampau jauh dengan santri-santrinya membuat Zakaria mudah beradaptasi dan masuk dalam lingkungan mereka. Sedangkan di komplek putri, Zakaria pun jadi ustadz yang sering bikin baper santri-santri putri di situ. Maklum, tampangnya lumayan cutedan suamiable di mata para santri putri.

Selain mengajar, Zakaria juga aktif menulis. Dalam sebulan beberapa artikelnya sering di muat di harian-harian lokal bahkan nasional. Ia juga gemar menulis fiksi dan puisi. Tak kurang dari 5 bukunya telah diterbitkan. Di pesantren ia pun didapuk sebagai pembina ekskul menulis bagi para santri, baik putra maupun putri. Hasilnya cukup membanggakan, pesantren tersebut sudah punya majalah bulanan yang selalu dinantikan hari terbitnya oleh seantero pesantren.

***

Sudah lama Zakaria menyukai Rima diam-diam. Setiap kali bertemu dan bersitatap dengan Rima jantungnya berdetak lebih kencang. Nafasnya memburu seakan ada yang mencekik. Ya, tercekik perasaan yang tak pernah berani ia ungkapkan. Ia menolak menganggap diri pengecut. Ia hanya belum siap untuk mengungkapkan sebuah rasa. Baginya, ketika kata cinta sudah terucap, ia harus siap lahir dan bathin menerima segala konsekuensi. Baik mental maupun materi. Maka ia pun memutuskan akan mengungkapkan rasa cinta itu ketika sudah siap menikahi Rima. Jadi nggak perlu pacaran, tinggal ta’aruf beberapa bulan, lantas ketika sama-sama cocok, ya udah, langsung nikah. Insya Allah berkah.

Hingga tibalah ia pada satu kemantapan hati. Setelah meminta doa restu kepada ayah dan ibunya, ia bertekad akan memberitahu Rima isi hatinya selama ini. Namun bukan sekedar bilang cinta, lebih dari itu, ngajakin ta’aruf dan melangkah ke jenjang yang lebih serius. Meski ia tahu belum tentu Rima mau menerimanya. Atau jangan-jangan Rima sudah punya calon? Ah, rasanya tidak. Ia cukup dekat dengan keluarga Kiyai Rasyid. Ia sering dipanggil Pak Kiyai untuk menemaninya ngobrol ngalor-ngidul sembari menyeruput kopi di Gazebo belakang rumah beliau. Ketika Pak Toha, supir pribadi beliau, berhalangan, Zakaria dengan senang hati menjadi  badal(pengganti) untuk menyupiri Kiyai Rasyid. Dan sepengetahuannya, Rima masih menyendiri, tidak sedang dekat dengan lelaki mana pun.

Namun tiba-tiba Zakaria berubah pikiran. Rasanya akan lebih afdol jika ia berbicara pada Kiyai Rasyid, ayah Rima, terlebih dahulu baru berbicara dengan Rima. Tujuannya satu; agar langkah mulia ini semakin berkah. Ia percaya ridho Allah ada pada ridho orang tua. Ridho dari orang tuanya telah ia kantongi, kini tinggal ridho dari orang tua Rima. Setelah resmi mendapat izin dari Kiyai Rasyid, baru lah ia akan berbicara langsung dengan Rima. Berbicara dengan wanita yang ia cintai sejak lama dengan posisi mengantongi keridhoan dari kedua orang tua mereka. Terlepas bagaimana pun hasilnya, Zakaria percaya, selama proses yang ia jalani baik, Allah pasti akan menunjukkan ke-Maha Adilan-Nya.

Pada hari yang telah Zakaria tentukan, ia datang bertamu ke rumah Kiyai Rasyid. Saat itu pak kiyai dan istrinya sedang berada di luar. Hanya ada Bik Minah, asisten rumah tangga keluarga kiyai Rasyid dan Rima di rumah. Zakaria disambut oleh Rima. Gadis itu mengenakan gamis panjang dan jilbab pink. Alamak, makin cantik saja dia setiap hari.

“Abah lagi keluar sama ummi, palingan bentar lagi juga pulang, Kak Zaky mau nunggu atau gimana?”

“Iya, Saya nunggu saja di sini. Boleh kan?” tanya Zakaria berbasa-basi seraya menunjuk kursi di teras rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun