Mohon tunggu...
Kimi Raikko
Kimi Raikko Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Just Another Days In Paradise \r\n\r\n \r\n\r\n\r\n \r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Gadget Jadul Kelindas Zaman: TV Kayu, Radio Mini Sampai Pager

10 Juni 2011   03:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:40 965
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_113033" align="aligncenter" width="655" caption="Radio Jadul, sumber: http://2.bp.blogspot.com"][/caption] Sebuah kotak, panjang kira-kira  satu meter, tingginya kira-kira 80 senti dari dalam kotak itu keluar bermacam gambar orang. Ada yang main bola, ada sandiwara dan banyak lainnya. Tidak berwarna alias hitam putih. Setelah saya sekolah barulah saya tahu itu namanya televisi. Televisi itulah mesin pertama yang saya ingat. Bentuknya tidak seperti sekarang. Kotaknya dari kayu dengan merek Fuji. Televisi akan mati jika pintu kotak dari kayu yang sebelah kanan digeser ke tengah. Untuk menghidupkannya waktu itu, belum ada listrik, tepatnya dengan aki. [caption id="attachment_113034" align="alignleft" width="320" caption="Sumber: http://2.bp.blogspot.com"][/caption] Akipun susah didapat. Ayah saya harus berjalan minimal 10 km untuk dapat mencas aki agar bisa menonton malam harinya. Daya tahan aki juga tidak begitu lama. Waktu itu siaran televisi paling cepat dimulai jam 5 sore dan akan berakhir jam 9 malam. Kalau aki sudah mulai habis layar televisi hitam putih itu akan menyempit dari pinggir seperti garis hitam. Lama-kelamaan membesar, itu artinya aki sudah harus dicas. Mencas aki juga tidak banyak orang yang bisa. Karena siaran televisi yang terbatas, saya mulai rajin mendengarkan radio. Ini gadget kedua yang saya kenal. Memiliki radio waktu itu sebuah kebanggaan tersendiri. Radionya cukup besar dengan merek (wah saya lupa) tapi tidak ada colokan listriknya. Radio lama, untuk menghidupkannya digunakan baterai besar. Nah baterai besar ini juga tidak mudah diperoleh sehingga baterai harus dicas. Dicas bukan dengan aliran listrik, tetapi dijemur di bawah sinar matahari. Mulai pagi hari di dekat jendela atau di teras saya membariskan empat atau enam buah baterai besar. Saya tidak tahu benar apa hubungan baterai yang dijemur di bawah sinar matahari dengan kekuatannya. Buktinya tidak lama setelah dipasang di radio, suara radio sudah keroncongan, meliuk-liuk karena kehabisan tenaga. Karena ayah saya memiliki warung minum, banyak sekali orang yang berutang kepadanya. Kadang ada yang ingat membayar, kadang pergi begitu saja. Kadang ada juga yang menitipkan barang untuk jaminan. Saya tidak tahu benar siapa orangnya yangmenitipkan sebuah radio kecil sebagai jaminan. Waktu itu saya sudah agak besar mungkin sekitar kelas 5 atau 6 SD. Di radio waktu itu sedang seru-serunya drama radio Saur Sepuh. Saya selalu rebutan dengan adik untuk bisa bisa menikmati Saur Sepuh, Tutur Tinular, Mak Lampir, Sembara, Farida dan banyak lagi. Radio kecil ini merupakan gadget ketiga yang saya kenal. [caption id="attachment_113036" align="alignright" width="300" caption="Radio saku, jadul, sumber: http://3.bp.blogspot.com"][/caption] Radio kecil ini saya jadikan alat untuk mendekati anak kepala desa yang putih cantik dan sungguh mulus sekali karena ibunya juga berkulit putih, sementara ayahnya seoarng mantri desa yang kemudian menjadi kepala desa. Radio ini saya suruh bawa oleh adik waktu mengaji di TPA di malam hari dan kalau ia bertanya siapa yang punya radio ini katakan saya memilikinya, padahal itu radio jaminan utang. Tenaga radio berasal dari dua (atau tiga?) baterai kecil. Kondisinya sama saja dengan baterai besar, harus dijemur mulai pagi, namun cepat sekali habis. Karena waktu itu sedang tenar lagu Jamilah dari Jamal Mirdad, saya sering menyanyikan lagu ini dengan suara layaknya kaleng ditimpuk batu saat anak kepala desa itu lewat. Sungguh pengalaman yang lucu, bukannya tertarik dengan lagu yang saya nyanyikan, anak kepala desa malah lari terbirit-birit karena suara saya yang tidak ada nadanya hanya menggerung layaknya suara lebah. Perkenalan saya dengan televisi dan radio berlanjut sampai saya SMA. Waktu itu ada acara di stasiun radio lokal, yaitu acara menitip lagu dan salam melalui secarik kertas yang disebut kartu. Namun kondisinya sudah agak maju, radio sudah ada colokan listriknya jadi bisa didengar kapan saja, tidak perlu repot lagi menjemur baterai. Sekitar awal tahun 1990-an mulai ada siaran televisi swasta, tentu saja RCTI. Namun untuk menerimanya harus dengan dekoder yang harganya sangat mahal waktu itu. Sekali lagi hanya orang yang berpunya yang bisa, sedangkan kami tetap saja dengan TVRI. Kemudian saya kuliah ke Padang, yang harus ditempuh dengan bus. Busnya dilengkapi dengan Laser Disc. Saya tidak tahu benar bentuk laser disc tersebut, namun kalau malam, sopir suka iseng memutar film esek-esek, tidak tahu juga dari mana mereka memperolehnya. [caption id="attachment_113037" align="alignleft" width="300" caption="Walkman, sumber: http://www.metrogaya.com"][/caption] Sekitar tahun 1996, karena tinggal di udik dan tidak tahu perkembangan teknologi saya baru merasakan  gadget baru walkman. Gadget ini bisa dibawa ke mana-mana dan bisa memutar kaset, mereknya waktu itu saya ingat Sony. Kini walkman ini sudah digilas oleh kemajuan iPod dari Apple Inc. sehingga Sony menghentikan produksinya. Selesai kuliah saya merantau ke Jakarta, tinggal bersama kakak yang sudah terlebih dahulu bekerja. Kakak memiliki sebuah balok yang di batangnya ada nomor-nomor yang bisa dipencet yang selalu dibawa-bawanya. Sungguh saya orang udik saya pikir itu ulekan sambel, kakak saya bilang itu namanya handphone. Mereknya Ericsson seri GH388. Cukup besar dan tebal dibandingkan dengan handphone sekarang. Baterainya walau panjang cepat habis, paling bertahan hanya sehari dan harus dicas lagi. Handphone ini memiliki antena luar yang cukup panjang. Sayang sekali handphone itu dicopet orang saat saya naik Patas 57 dari lampu merah Matraman. [caption id="attachment_113039" align="alignright" width="300" caption="Ericsson GH388, sumber: http://www.oldmobil.hu"][/caption] Tahun 1999 saya mulai bekerja di Bogor. Teman kantor membawa sebuah handphone Nokia jadul yang sudah rusak. Besarnya lebih besar lagi dibandingkan dengan Ericsson seri GA. Itulah Nokia 121. Cukup bagus untuk mengganjal ban mobil. Namun yang lebih terkenal waktu itu adalah Pager. Teman saya selalu membawa Pager yang berbunyi tittittititit kalau ada pesan. Sampai ada yang membuat lagunya waktu itu. Teman saya itu saya beri gelar SiMaTuPang (maaf bukan SARA), artinya Siang Malam Tunggu Panggilan. Setelah cukup lama bekerja, barulah saya bisa membeli handphone sendiri merek Ericsson berbentuk flip warna kuning. Kemudian saya sempat kenal dengan pembunuh walkman, iPod, saya juga sempat punya CD Player yang bisa dibawa-bawa sepertinya itu juga pengembangan dari walkman Sony terdahulu. Kini tidak banyak lagi yang menggunakan CD Player portable tersebut, sudah digantikan juga oleh iPod. [caption id="attachment_113042" align="aligncenter" width="320" caption="Nokia 121, sumber: http://pics.livejournal.com/"][/caption] [caption id="attachment_113044" align="aligncenter" width="300" caption="Pager, sumber: http://4.bp.blogspot.com"][/caption] Kini, radio besar, radio saku, walkman, dan pager sudah digilas oleh kemajuan teknologi. Televisi kotak kayu juga sudah tidak ada. Handphone pun  semakin canggih. Namun saya tidak pernah lupa dengan masa menonton televisi dengan aki, handphone besar dan pager. Sungguh sesuatu yang  jadul sangat berarti bagi perkembangan teknologi saat sekarang ini. Mojok dulu YUK, lihat Iyut pegang apa coba? hahahahahahaha

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun