Mohon tunggu...
Kiky Rifky
Kiky Rifky Mohon Tunggu... Freelancer - Writer

Menulis untuk hidup abadi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tangga Surga

17 September 2022   00:52 Diperbarui: 17 September 2022   01:05 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Ren, biru langit Dieng masih terbayang-bayang membuatku sering berkunjung ke kenangan kita di sana. Aku terus mengingat-ingat setiap jengkal perjalanan kita dari Kanzus sampai Batur, sesekali melirik jilbab hitam yang pasrah dihempas angin dari spion. Indah sekali.
Kanzus-Dieng, bagiku inilah Tarimku.

 Menghadiri majelis maulid serta majelis ilmu, lalu berkunjung ke tempat bersejarah seperti Sapuro maupun Masjid Wakaf adalah seperti ziarah ke Zanbal maupun Huraidhah. Lalu ke Dieng sama halnya ke desa Tayyeb di Harraz, Sana'a, Yaman. Desa tertinggi yang tak pernah turun hujan sebab lokasi desa yang jauh lebih tinggi dari awan sehingga tak pernah dilalui hujan. Bedanya, Dieng tetap hujan yang selalu menjadi kenangan.


Hadirnya dirimu dengan abaya dan hijab hitam nan lebar melengkapi nuansa Tarim saat itu. Kita pernah bercita-cita ke sana dulu di awal kenal, tapi langit Dieng seolah bicara cukup di sini saja. Aku sendiri menyadari bahwa Tarim mungkin menolak pendosa sepertiku agar negeri seribu wali itu tetap suci. Cukup bagiku mencintai negeri itu dengan segala pesona dan penduduknya.


Sinar lembut mentari Batur dan dingin yang khas menjadikan obrolan kita selalu hangat, wajah teduhmu membuatku mencintai taman di atas Candi Arjuna yang sebelumnya taman itu hanya taman biasa. Sejak dudukmu di tempat itu, segala tentang taman itu menjadi sempurna dengan sinar matahari yang lembut, teduh, udara sepoi-sepoi, dan pemandangan menakjubkan yang sulit dilupa meski gratis.


Tumbler merah bertuliskan Bapenda kota Semarang yang berisi kopi tahil, dua gelas cangkir kecil, beberapa bungkus jajan menjadi saksi sekaligus teman yang turut mendengarkan obrolan demi obrolan yang memohonkan ampun tiap kesalahan kita dan menjadi saksi atas obrolan berfaedah dari lisan kita.


"Empat tahun kita bersama, Mang." Katamu, aku segera  pulang ke masa itu, masa di mana aku masih melihatmu sering bercelana, memakai kaos strip, keras kepala, mementingkan pekerjaan daripada kebersamaan, tidak menghargai waktu orang lain, hingga semua itu menjadi sesal oleh pengalaman tak menghadiri majelis Ummu Salim dan kebiasaan dosen sholih yang senantiasa meminta maaf telah meminta waktu mahasiswanya meski hanya beberapa menit.


Di taman itu sangat indah, bukan, Ren? Padahal masih banyak destinasi yang visualnya jauh lebih indah tapi mungkin sedikit yang menawarkan suasana romantis seromantis taman itu. Bahkan hal remeh seperti menguji kesehatan mata dengan melihat candi Arjuna yang jauh dan membaca angka di botol mineral dengan mata kiri pun meninggalkan kesan tersendiri.


Kita berbincang dengan pasokan udara sangat sejuk dan segar yang menyehatkan paru-paru kita, sudah lama paru-paru merindukan udara sesejuk itu dan kita lupa mensyukurinya. Kesejukan itu masih kalah sejuk dengan cerita-ceritamu tentang Tarim. Hanya saja hatiku tak selembut dulu yang sering kali kisah darimu membuat mataku berembun.


Bunga-bunga di taman itu menolak layu sebab hadirmu, padahal aku menyangsikannya ketika kita beranjak dari warung soto. Sepuluh hari sebelum kita duduk di taman itu, aku di sana bersama bunga-bunga bermekaran yang harusnya seminggu setelahnya layu. Tapi, bunga-bunga itu seperti atsar 'Aina yang mencemburui bidadari bumi yang bernama wanita.


Benar, Ren! Bunga-bunga itu penasaran dengan wujudmu yang mungkin sudah menjadi perbincangan penduduk langit sebab kau mencintai orang-orang yang disanjung di langit, bahkan sesekali kau bakar bukhur yang wanginya membelah langit. Karenanya, Aina turun menjelma bunga dan menyaksikan sendiri mengapa kau layak dicemburui.


Catatan Aina menyebutkan bahwa kilaumu bagai intan hitam, hijab panjangmu yang tersapu angin bagai kepak sayap gagak yang menjadi identitas wanita pengikut Sayyidah Fathimah, wajah teduhmu dengan sinar yang pancarannya tak menyilaukan seperti ufuk berpulangnya purnama Dzulhijjah. Tawamu yang sumbang dan tingkahmu yang aneh mendeskripsikan bahwa kau masih manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun