Mohon tunggu...
Wahyu Barata
Wahyu Barata Mohon Tunggu... Penulis - Marketing Perbankan

Wahyu Barata.Lahir di Garut 21 Oktober 1973. Menulis puisi, cerita pendek,dan artikel. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Sari Kata, majalah Aksara , Media Bersama, Kompas, Harian On Line Kabar Indonesia, beberapa antologi bersama, dan lain-lain.Kini bekerja sebagai marketing perbankan tinggal di Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Upaya Melindungi Para Pekerja Anak

8 April 2021   08:22 Diperbarui: 8 April 2021   08:32 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di sekitar lingkungan keluarga, saudara, kerabat, teman, saya melihat anak-anak perempuan usia 10-15 tahun bekerja sebagai asisten rumah tangga. Mereka bilang untuk membantu ibu sama adik-adik. Saat saya tanyakan apa sambil sekolah? Ada yang masih sekolah, ada juga yang setelah lulus sekolah dasar harus bekerja, meskipun sebenarnya mereka masih ingin sekolah  dan bergaul dengan teman-temannya di dunia pendidikan. Ada juga yang harus menjadi buruh pabrik, buruh cuci dan setrika, buruh sapu-sapu di pasar, buruh jualan makanan dan minuman, bahkan ada yang dipekerjakan menjadi pekerja seks komersial, karena sangat terdesak kebutuhan hidup.

Menurut saya sebaiknya anak-anak laki-laki dan anak-anak perempuan yang bekerja diprogramkan untuk anak asuh sampai mereka menyelesaikan pendidikannya. Kalaupun mereka ingin bekerja di keluarga kita dengan niat dan keinginan sendiri izinkan saja lalu diberi upah layak dan manusiawi, pekerjaan maslahat, beban dan waktunya sesuai dengan kesanggupan mereka.

Saya sebenarnya tidak setuju kalau anak-anak diberdayakan di usia dini. Namanya juga anak-anak yang masih tumbuh dan berkembang, belum punya kewajiban apa lagi dibebani pekerjaan. Kita orang dewasa harus berupaya agar dunia anak mengalir secara alami.

Dunia anak kan dunia bermain, belajar, dan bergaul, sambil bersosialisasi dengan lingkungannya. Kasihan kalau  anak-anak dari kecil dijejali tanggung jawab yang seharusnya belum menjadi bagian dari pekerjaan mereka. Apa lagi anak-anak perempuan. Orang tua tidak benar menerapkan pendidikan. Memang keberadaan setiap orang atau keluarga berbeda, tetapi bukan masalah anak-anak itu berasal dari keluarga mampu atau tidak mampu.

Saya mengerti bagaimana sulitnya memperoleh sesuatu untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tetapi itu kan tanggung jawab kita para orang tua untuk melindungi keluarga, melindungi anak, bukan memberdayakan anak di usia dini.

Melihat kenyataan di depan mata kita, begitu banyak pekerja anak di bawah umur, seyogyanya pemerintah mengentaskan masalah ini, memberi solusi bagaimana sebaiknya. Meskipun di negara berkembang seperti di Indonesia konsekuensinya masih banyak hal yang tidak masuk akal bisa menjadi wajar.

Persiapan dan perencanaan  membangun keluarga sangat penting. Sejauh mana, seberapa besar kemampuan untuk melindungi anak-anak kita di kemudian hari sejak lahir sampai tumbuh besar, sebelum mereka mandiri. Jangan hanya bisa melahirkannya saja tetapi tidak bisa mengurusnya. Bukankah anak-anak itu anugrah  dan titipan dari Tuhan? Kita harus menjaga titipan Tuhan ini sebaik mungkin, bukan memberdayakan dan menghasilkan dari tenaga anak yang belum sepantasnya bekerja. 

Pendidikan merupakan kebutuhan dan hak semua anak dalam proses tumbuh kembangnya (hak dasar anak). Para pekerja anak, baik laki-laki maupun perempuan, berhak mendapatkan pendidikan optimal. Krisis ekonomi berkepanjangan, kemiskinan keluarga yang tak terentaskan, terbatasnya keuangan pemerintah khususnya alokasi dana pendidikan menjadi kambing hitam untuk menutupi kurangnya perhatian dan kemampuan kita dalam memberikan pelayanan pendidikan.

Melatih anak bekerja pun harus ditinjau. Saya khawatir pada kenyataannya hak-hak anak cenderung diabaikan . Para pekerja anak umumnya anak-anak kurang beruntung. Mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya, harus membantu keluarga mereka, juga untuk mencukupi biaya sekolah. Tetapi malah aktivitas sekolah mereka dikorbankan untuk kepentingan ekonomi.

Anak-anak yang terpaksa bekerja mengorbankan waktu belahar dan bermain mereka, sehingga kehilangan masa kanak-kanak yang ceria, dan terjebak dalam rutinitas yang melelahkan, menjerumuskan, dan membahayakan.

Para pekerja anak sering dianggap kurang mendapat pendidikan, cenderung putus sekolah, dan tidak punya masa depan. Beban kerja mereka setiap hari mengganggu pendidikan mereka. Mereka sering mengalami kelelahan fisik dan psikis sehingga menggangu proses belajar, seperti mengantuk di kelas jam belajar berkurang, sulit menerima pelajaran, kurang intensif bersosialisasi pelajaran dengan teman-teman.

Bukankah tegas peringatan dalam Undang-Undang Nomor23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 88,"Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara 10 (sepuluh) tahun dan atau denda paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah)."

Berbeda pekerja anak dengan anak bekerja. Pekerja anak adalah anak-anak yang aktif bekerja mencari mencari nafkah. Sementara anak bekerja merupakan anak yang pasif bekerja. Tidak seluruh pekerjaan anak di dalam dan di luar rumah menjadikan mereka pekerja anak. Contoh, anak-anak di rumah dengan ikhlas membantu orang tuanya menyapu dan mengepel lantai.

Hanya saja harus kita amati ada unsur eksploitasi atau tidak? Anak boleh bekerja, tetapi tidak boleh mengabaikan kesempatannya belajar, menuntut ilmu di sekolah. Berikan juga kesempatan bermain selama tidak membahayakan diri mereka.

Sampai hari ini pekerja anak masih menjadi masalah di Indonesia. Masih banyak anak yang menjadi bagian dari angkatan kerja. Separuh lebih anak-anak usia sekolah tidak dapat menyelesaikan pendidikannya.

Yang lebih buruk lagi eksploitasi seksual komersial anak. Banyak sekali pekerja seks di Indonesia berumur di bawah 18 tahun.

Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk melindungi anak-anak laki-laki maupun anak-anak perempuan dari bahaya bekerja di tempat atau bersama orang dewasa, antara lain :

- Pelayanan pendidikan gratis, wajib, relevan, dan menarik.Semua anak berhak mendapat pendidikan layak. Anak-anak dan orang tua harus memilih sekolah lebih baik daripada bekerja.

- Pemerintah harus menjembatani agar semua anak mempunyai akses terhadap pendidikan wajib sebagai upaya mengatasi masalah pekerja anak. Harus ada hukum yang daoat menjadi dasar untuk menindak pengusaha yang mengeksploitasi anak-anak. Dan harus tersedia sumber daya untuk upaya ini. Masalah pekerja anak harus menjadi agenda penting bagi Departemen Sosial, Departemen Keuangan, dan instansi terkait lainnya.

- Keluarga dan masyarakat selama ini sering tidak keberatan kalau anak-anak bekerja. Bekerja sering dianggap lebih tepat bagi anak-anak perempuan daripada bersekolah. Kita harus merubah anggapan dan sikap seperti ini, sebab tidak melindungi anak-anak.

- Hukum dan peraturan yang melarang pekerja anak harus diterapkan dan ditegakkan secara konsisten. Pemerintah dan pihak berwenang harus mengetahui berapa anak bekerja di berbagai bidang. Harus mengetahui gender, usia, dan etnis anak, untuk memahami mengapa mereka menjadi rentan pada awalnya, dan untuk menentukan tindakan yang tepat.

- Anak-anak harus dihindarkan dari pekerjaan terburuk bagi pekerja anak, lalu dirawat dan diberi pendidikan. Kita harus memperhitungkan pendapat anak-anak dalam program yang bertujuan untuk membantu para pekerja anak. Bila anak-anak akan diberi pilihan agar tidak bekerja lagi dalam pekerjaan berbahaya, sebaiknya mereka menjadi mitra dalam menentukan jenis pilihannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun