Mohon tunggu...
Kiki Handriyani
Kiki Handriyani Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis, Pegiat Literasi Digital, ibu dua anak.

Penulis freelance, Founder Blogger Mungil (Blogger Mungil), Kontributor di media online. Sudah menerbitkan beberapa buku. Buku solo terbit 2010 yaitu sebuah novel "Jadikan Aku Yang Pertama", kemudian buku antologi bisnis berturut-turut.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tahan Jari untuk Memaki

25 Oktober 2017   09:58 Diperbarui: 25 Oktober 2017   23:32 784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di tengah ke-hetic-kan mengurus pekerjaan, menyempatkan menulis secuil keresahan saya sebagai seorang perempuan, ibu, dan pekerja di media dan sosmed. Tulisan ini ditujukan pada semua yang berkenan membaca dan mau mencoba memahami sekelumit keresahaan saya.

Berfikir dengan hati di jaman digital saat ini, mutlak diperlukan. Bukan hanya membaca dari sebuah postingan yang kadang setelah di cek ternyata itu hoax atau hanya kemarahan seseorang. Apa yang  terjadi kemudian? Kita marah-marah ketika membaca postingannya, komentar pedas bahkan menyakitkan, membawa isu SARA lantas ramai-ramai blokir/boikot atau apapunlah istilahnya untuk tidak berhubungan dengan produk atau perusahaan tersebut.  Padahal, kita belum tahu dan membaca klarifikasi atau pembelaan dari pihak yang lain. Kita lupa ada ribuan bahkan jutaan mulut yang mencari rejeki di sana. Kita tiba-tiba menjadi pintar, bijak, dan serba tahu padahal baru membaca dari salah satu opini. Rejeki memang sudah diatur, tapi lebih banyak orang yang tidak/belum punya akses untuk pindah kuadran karena berbagai halangan. Ini yang harus kita pahami sebelum memaki tanpa bukti dari kedua belah pihak.

Tahu apa yang terjadi kemudian akibat postingan yang kita viralkan? Masyarakat heboh, yang tidak tahu ujung pangkalnya ikut memaki, menjelekkan dengan bahasa yang saya yakin bahkan ibu bapaknya tidak pernah mengajari waktu kecil. Kemudian orang beramai-ramai mendiskritkan dengan alasan ini dan itu. Saya Muslim dan suku Jawa, dari kecil hidup hidup di lingkungan heterogen suku dan agama, tahu bagaimana interaksi dengan berbagai macam orang tersebut berjalan baik, santun dan saling menghormati. Hingga sekarang, bahkan ketika rekan profesi menghina agama saya, saya balas dengan komentar yang terstruktur kalimat dan adem dibaca.

Tapi kenapa di jaman modern dengan fasilitas lengkap, orang malah makin mundur pemikirannya? Kemana larinya nilai-nilai agama yang sudah diajarkan orangtua sejak kecil untuk berkata baik, santun dan tidak menghina? Kemana rasa tepo seliro kita sebagai orang Timur yang mengedepankan rasa sosial dibandingkan ego pribadi? Saya turun ke lapangan langsung untuk liputan, melihat bagaimana orang -- orang yang saya hadapi mulai dari orang pinggiran di kawasan kumuh, kelas menengah di instansi bahkan campuran orang asing dan WNI di hotel mewah, yang bahkan saya masih suka norak melihat interior dan jumlah makanannya. Acara mulai dari yang islami, campuran setengah Islami dan modern, bahkan yang super modern dengan mata disuguhi tubuh molek, baju mini dan gaya gemulai laki-laki tampan.

Apa saya lantas mengeluarkan sumpah serapah kenapa saya melihat pemandangan yang boleh dibilang sangat tidak sesuai dengan nilai agama dan norma? Apa saya ikut-ikutan cipika-cipikidengan lawan jenis ketika bertemu rekan atau relasi di acara? Apa saya ikut marah-marah ketika narsum atau pembicara mengeluarkan pernyataan yang menurut saya "tidak benar, bukan begitu, ini salah"? TIDAK.

Kalau saya ikut-ikutan dan tidak punya prinsip, kemana larinya jiwa penulis dan jurnalis pada diri saya? Apa yang akan saya sampaikan pada pembaca dan follower yang menunggu berita baik, konten baik, yang akan mereka sampaikan lagi pada keluarga dan teman? Teman, percayalah, tidak semua pejabat itu jahat, tidak semua pejabat itu bersih dari kesalahan. Semua manusia punya sisi kekurangan dan kelebihan, apalagi pejabat dan pemangku jabatan yang sangat riskan tergelincir. Saya sebagai pekerja kata dan media meminta dengan sangat, tahan mulut untuk memaki, tahan jari untuk memviralkan sesuatu yang kita sendiri belum cek dan ricek, dan seimbangkan emosi agar tidak berat sebelah.

Percayalah, kami di lapangan begitu banyak mendengar dan melihat bagaimana sebuah berita bisa dipelintir, hanya untuk satu kepentingan, hanya demi kemenangan. Kami sendiri harus cek dan ricek, menggunakan mata batin untuk menyaring berita. Banyak berita yang kadang off the record, tidak naik beritanya hanya karena tidak menjual. Stetament baik dipotong, hingga pembacanya menelan mentah-mentah dipayungi kebencian dan emosi. 

Gunakan media sosial untuk kebaikan, untuk berkata baik, untuk berjiwa baik. Jika kita disakiti, jangan balas memaki. Kalau itu kita lakukan, apa bedanya kita dengan orang yang kita maki? Apakah agama mengajarkan keburukan pada umatnya, bahkan walau meyebut seseorang dengan sebutan yang menyakitkan? Ingatlah selalu, sebuah tulisan bisa dipersiapkan memang untuk "menghancurkan" nama baik seseorang atau perusahaan.

2019 sudah di depan mata, huru-hara Pilpres 2019 sudah mulai dipersiapkan. Belajar dari pengalaman sebelumnya, Pilpres akan semakin banyak melahirkan statementdan berita hoax, berita untuk menggiring rakyat pada satu titik opini dan tujuan. Mari jaga lisan dan hati kita untuk tidak ikut dalam barisan yang mampu menyakiti orang lain. Jika ingin "melawan", lawan dengan sebuah tulisan dan aksi yang mampu menyejukkan hati, yang bisa membuat kita semakin pintar dan bijak.

Saya percaya, jaringan teman-teman sosial media saya adalah orang-orang yang baik dan terjaga. Jika marah, luapkan amarah itu dengan tulisan yang menyejukkan tanpa kata makian. Jika hal itu baik, sebarkan dengan niat ikhlas demi informasi yang baik. Mari jaga nama baik kita, jaga keluarga kita, jaga negara kita dari hal-hal yang merongrong negara ini, dengan konten dan berita yang baik. Lawan sesuatu yang menyakitkan dengan cara yang profesional dan elegan, bukan dengan makian dan hinaan karena semua itu bisa saja berbalik pada diri kita sendiri. Jujur, situasi apapun tidak akan menjadi baik dan aman jika kita sendiri masih mudah digoyahkan dengan berita yang tak jelas ujung pangkalnya.

Indonesia menyambut Pilpres 2019, jaga hati dan pikiran dari hal-hal yang bisa membingungkan. Karena yang terlihat baik bisa jadi buruk, yang terlihat buruk bisa jadi baik, hanya dengan satu kata pancingan. Salam #SejutaSemangat demi konten baik dan #IndonesiaBicaraBaik.

I BELIEVE YOU, ALL MY FRIENDS.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun