Saya mencoba menulis ini dalam pandangan saya secara professional, jadi memulai dalam titik 0. Bukan dalam memulai dengan like/dislike. Setiap perjalanan pagi ke kantorm di mobil saya membiasakan diri mendengar beragam interview lokala atau internasional akan isu isu tertentu yang sedang ramai diperbincamngkan, dan saat itu saya mendengarkan seuah podcast berbahasa inggris mengenai danantara. Danantara sendiri adalah Badan Pengelolaan Investasi Daya Anagata Nusantara. Danantara merupakan badan pengelola investasi nasional yang dibentuk untuk mengoptimalkan pengelolaan aset negara, saya bukan orang ekonomi, saya tidak paham masalah investasi dan ekonomi Pembangunan, maka saya menulis ini dalam cara pandang komunikasi, bidang yang merupakan bidang saya.
Saat pembentukannya, Pandu Patria Sjahrir ditunjuk sebagai Chief Investment Officer (CIO) atau Pelaksana di Bidang Investasi, dia sebelumnya ada di pertambangan batu bara dan perkebunan sawit milik luhut, nah disini yang saya bilang jika saya mencoba menulis dari titik 0, bukan memulai dari like/dislike.
Mendengar interview dengan pandu sjahrur tadi, saya merasa, danantara ini bukan investasi negara biasa, ujar Prabowo, danantara akan mengelola aset negara sebesar US$ 900 miliar (sekitar Rp 14,678 triliun), menjadikannya SWF (Sovereign Wealth Fund) terbesar ketujuh di dunia, tetiba pula dari sini saya mengingat badan serupa milik Malaysia dan Singapura, 1 MDB Malaysia dan tamasek.Â
Jika melihat tamasek, tentu kita melihat keberhasilan, dari tahun 1974 kita melihat bagaimana tamasek mengelola keuangan negara singapur yang terbilang berhasil dalam berbagai macam sektor seperti pada budang konsumen, media & teknologi, ilmu hayati & agri-food, dan jasa keuangan non-bank. Sementara jika kita melihat satunya yaitu 1 MDB Malaysia, yang penuh dengan skanndal dan korupsi cukup besar yang digunakan mantan PM mereka untuk keperluan pemilu.Â
Danantara sendiri rencananya akan berinvestasi pada hilirisasi sumber daya alam, energi baru terbarukan, produksi pangan, dan pengembangan teknologi kecerdasan buatan. Dari sini saya mulai ada feeling kurang, yaitu adanya investasi bidang pangan, pada interview dengan pandu yang saya dengarkan, investasi pangan ini mungkin akan berupa food estate, kebetulan sy mengajar SDGs sebagai dosen tidak tetap di salah satu PTS terbaik di indonesia, pada salah satu studi kasus yang kami sempat bedah di kelas, food estate, di lapangan, memberikan hasil yang sedikit kuran bagus jika dilihat dari kacamata SDGs, yaitu kurangnya keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek tersebut, dalam pemahaman SDGs, tidak dilibatkannya Masyarakat adalah kesalahan fatal dalam suatu project yang ber-visi sustainable development.
 Dalam pemilihan dewan penasehat pun Kembali menjadi sesuatu yang menjadi kekhawatiran buat saya pribadi, saat menunjuk nama professor Jeffrey Sachs dari Columbia university, saya senang, karena cukup sering baca sepak terjang dia dalam bidang sustainable development, dan suka dengan cara pandang dia mengenai Pembangunan berkelanjutan, namun pada saat muncul nama Thaksin Shinawatra, saya agak malas, saya merupakan pecita sepakbola dan banyak meneliti segi politik dari sepakbola, Thaksin yang juga mantan pemilik Manchester city, juga pernah kena skandal tidak membayar pajak dari Perusahaan keluarganya, penyalahgunaan wewenang, korupsi bank nasional di Thailand. Ok cukuplah, masalah Thaksin ini masalah pemerintahan Thailand dan bukan urusan kita, namun kenapa bisa danantara memilih orang dengan track record yang banyak negatifnya, untuk menjadi dewan penasihat sebuah Lembaga investasi yang mengelola dana Masyarakat satu negara.
Akhirnya, saya mungkin setuju secara garis besar akan dibentuknya danantara ini, dengan melihat visi dan misi dan program kerja mereka, saya merasa kita butuh Langkah berani yang besar untuk mengubah indonesia, namun saya agak menimbulkan sedikit pesimis saat melihat program di lapangan yang kurang matang dan kepemilihan orang2 untuk mengerjakan hal tersebut, menginat jika, maaf, tidak berhasil, ini merupakan uang negara an nilainya bukan senilai  standart korupsi negara seperti biasa, haha saya menulis "seperti biasa", karena memang korupsi seakan menjadi hal yang biasa di indonesia. Lagi lagi, saya bukan orang investasi atau ekonomi Pembangunan, I miht be totally wrong, this just my two cents, semoga kekhawatiran saya salah besar dan indonesia tumbuh menjadi negara besar, amen! Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI