Mohon tunggu...
Roni DwiRisdianto
Roni DwiRisdianto Mohon Tunggu... Penulis - Seri pertama Bondan dalam judul Langit-Hitam-Majapahit telah tayangbdalam jaringan. Berlatar belakang Majapahit pada masa Jayanegara. Penulis berdomisili di Surabaya.

www.tansaheling.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ia Bernama Sanumerta (Bagian II)

23 Juni 2019   16:41 Diperbarui: 23 Juni 2019   17:05 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mereka adalah budak. Kapan saja aku inginkan, aku datangi mereka. Aku tiduri meski mereka telah menjadi istri," sahut Sanumerta, "Tapi aku tak lagi peduli. Mereka tak lagi suci. Setiap hari mereka dikeloni lelaki yang mengaku sebagai suami. Suami. Kau tahu, apa itu suami?"

Lelaki berselendang hijau tiba-tiba tertimpa malu yang cepat menyebar di wajahnya. Ia mengerti arah bicara Sanumerta. Tatap matanya tak lagi tajam. Ia tak sanggup beradu pandang dengan Sanumerta. Ia menerima kertas dengan angka yang tertera. Ia hidupi anak dan istri dari pemberian Sanumerta. Ia palingkan muka!

Sanumerta keluar dari sebuah penginapan mewah. Ia rampungkan satu pergumulan ranjang dengan wanita panggilan. Tiba-tiba ia ingin pulang.

Setiap bidang dalam semesta belum berhenti bergulir. Matahari belum dapat menyusul rembulan. Tetapi perempuan molek telah berhenti mencintai Sanumerta.

"Ayah!" ia memanggil Sanumerta, lelaki yang telah belasan tahun mendampinginya sebagai suami.

Sanumerta duduk bersandar di ujung ranjang. Ia belum berganti pakaian setibanya dari penginapan.

Sanumerta hanya menarik napas. Tidak menjawab. Ia tahu istrinya yang bertubuh sintal itu akan menyemburkan kata-kata yang banyak dikutip dari ahli agama. Berkhotbah tentang khayalan. Berceramah seperti orang yang tahu segalanya. Tetapi pada siang, istrinya menatap aneh. Sorot mata hampa memancar dari pandangnya.

"Kau tentu masih ingat! Kau pernah berkata padaku tentang bunga yang kuncup dan berkembang. Tentang lembah yang tidak pernah berhenti untuk berbisik. Tentang ngarai yang dapat mendengar jerit hatimu. Tentu kau ingat itu semua, Ayah!"

Nada yang aneh keluar dari tenggorokan wanita berparas ayu itu.

Ia duduk bersebelahan dengan Sanumerta. Satu tangan ia letakkan di atas paha suaminya, kemudian," Namun kau tidak peduli dengan hatiku. Setangkai bunga yang mulai layu. Aku tak mampu berkata lantang bahwa aku rindu padamu."

Sanumerta bergeming.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun