“Benarkah kita sudah menjadi guru humanis?”
Pertanyaan ini tidak sekadar refleksi personal yang muncul dari kesadaran seorang pendidik. Ia adalah gugatan filosofis, lirih namun menusuk, atas arah dan wajah pendidikan kita hari ini.
Jawabannya tentu tidak sesederhana “ya” atau “tidak”. Ia bergantung pada sejauh mana kita, sebagai guru, memahami dan menghidupi nilai-nilai kemanusiaan dalam ruang kelas dan dalam kehidupan profesional kita sehari-hari.
Di era yang penuh tekanan administratif dan tuntutan standar, konsep humanisme dalam pendidikan seringkali terpinggirkan. Padahal, di sanalah akar dari proses mendidik yang sejati: melihat siswa bukan sekadar angka dalam rapor, tetapi sebagai manusia seutuhnya.
Apa Itu Guru Humanis?
Menjadi guru humanis berarti menjadikan kemanusiaan sebagai pusat dari proses pembelajaran.
Pendidikan tidak dimaknai hanya sebagai transfer ilmu dari guru ke murid, tetapi sebagai pertemuan antar pribadi yang saling membentuk. Guru humanis memandang siswa sebagai subjek yang merdeka, bukan objek yang harus dikontrol.
Humanisme dalam pendidikan, sebagaimana ditekankan oleh Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, adalah pendekatan yang membebaskan.
Ia menolak pendidikan bergaya “bank” di mana siswa diperlakukan seperti celengan kosong yang tinggal diisi informasi. Sebaliknya, pendidikan harus menjadi ruang dialogis di mana guru dan siswa saling belajar.