Di subuh yang belum sempat bersolek,
Langkah Rayhan lebih dulu mengetuk bumi,
Dengan doa ibunya yang belum kering dari sajadah,
Ia mengikat niat, menjemput rezeki.
Motor tua, suara nyaring,
Berderak mengantar tekad yang jernih.
Ia bukan lelaki biasa,
Tapi anak sulung yang belajar menjadi cahaya.
Sejak ayah pergi,
Rayhan menjadi bahu yang tak pernah meminta ganti.
Ia menukar mimpinya sendiri
Agar dua adik perempuannya tetap bisa bermimpi.
Ia bukan pemilik toko besar,
Hanya penjaja sayur di ujung pasar,
Tapi ia jual kejujuran dalam keranjang kecilnya,
Dan menolak kasihan dengan senyum lapang dada.
Di sakunya ada catatan rahasia:
Buku Salma. Sandal Rania. Obat Ibu.
Dan sedikit tabungan,
Untuk masa depan yang belum sempat ia rancang.
Rayhan tak pernah mengeluh,
Ia tahu, hidup bukan soal memiliki,
Tapi menjaga.
Menjaga cinta, menjaga keluarga, menjaga iman di tengah badai dunia.
Sore hari, ia pulang bukan membawa harta,
Tapi tawa.
Dan pelukan hangat dari rumah mungil yang penuh cahaya.
"Mas Rayhan, kamu pahlawan kami," bisik Rania,
Dan langit pun seakan merunduk hormat
Pada pemuda sederhana
Yang diam-diam menjadi matahari keluarga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI