Mohon tunggu...
Khusnul Zaini
Khusnul Zaini Mohon Tunggu... Pengacara - Libero Zona Mista

Menulis Semata Mencerahkan dan Melawan ....!!!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gerakan "Melawan Lupa" Tanpa "Sejarah Kelam" Baru

29 Juni 2023   18:58 Diperbarui: 29 Juni 2023   18:58 1333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Selalu bergembira dengan semangat membangun ke-gembira-an itu, memang mudah dilontarkan pada kawan sejawat. Meskipun belum menjadi keseharian bagi si-pelontar anjuran. Gembira yang bisa menggembirakan, semangat yang bisa menyemangati, sabar- ikhlas yang bisa menyabar-ikhlaskan itu, menjadi "sesuatu yang mahal di negeri ini".

Mengapa demikian, karena durasi waktu untuk “mencatat dan mengingat peristiwa” yang bisa menelangsakan hati dan pikiran massa selama ini, dalam faktanya “masih relative pendek” dalam ingatan warga bangsa Indonesia. Pensikapan dengan cara “permakluman dan cepat merasa kasian” itulah yang telah mempengaruhi prilaku mereka selama ini, semata karena pengaruh budaya dan perikehidupan keseharian bangsa Indonesia.

Berbagai studi kasus soal pembunuhan aktivis HAM, penculikan hingga pembunuhan aktivis mahasiswa dan buruh, peritiwa Gestapu 1965, gerakan angkatan 66 mendirikan Orde Baru, perampasan harta benda dan perenggutan nyawa secara paksa yang melanggar HAM, gerakan reformasi 1998 menumbangkan rezim Orde Baru, polarisasi warga masyarakat paska kontestasi perebutan kekuasaan (ketua RT, RW, Kades, Bupati/Walikota, Gubernur, Presiden), masifnya kasus pidana korupsi, hingga terbongkarnya kasus penyelamatan Bank Century tahun 2008 yang melibatkan mantan Wakil Presiden Boediono itu, semuanya itu bisa dikategorikan sebagai tragedi peristiwa luar biasa.

Membangun kesadaran public secara kolektif melalui “Gerakan Melawan Lupa” ini, dimaksudkan untuk selalu mengingat rekam jejak sejarah tragedi peristiwa luar biasa yang pernah dilakukan warga biasa, oknum pejabat public, maupun pimpinan aparat keamanan negara. Tentu beragam alasan mengapa mereka lakukan. Bisa jadi karena demi status social dan popularitas, demi menjaga dan mempertahankan kedudukan jabatan tertentu, atau karena dipaksa elite penguasa tertentu.

Sejarah kelam tragedi peristiwa luar biasa harus tersampaikan dan menjadi pelajaran hidup bagi generasi penerus bangsa, agar tidak terulang lagi kejadiannya. Mereka berhak tahu meski hanya sebatas pengetahuannya saja, tetapi tidak berhak turut mengadili pelakunya. Peristiwa sejarah beserta dampak ikutannya itu, harus dijadikan referensi sekaligus kaca politis dalam bersikap dan bertindak para generasi selanjutnya, setelah mempelajarinya atau mendapat cerita sejarah itu.

Implikasinya dengan maraknya kasus pidana korupsi yang berdampak luar biasa terhadap sendi-sendi perekonomian bangsa itu, disinyalir para pelakunya sudah mengkalkulasi resiko dampak kehidupan pribadi dan keluarganya, meski dengan resiko menjalani sanksi hukuman penjara. Mereka yakin vonis hakim yang diterimanya akan ringan/minimal, ketika masih dimungkinkan praktik bisnis perkara hukum dengan para oknum polisi, jaksa maupun hakim.

Satu dari beberapa alasan “Gerakan Melawan Lupa” harus dikibarkan, karena ada fenomena “nilai dan praktik sanksi sosial” sedang tergerus erosi budaya akibat tuntutan zaman berikut infiltrasi budaya asing tentang prilaku hidup mandiri. Semakin terpuruknya “praktik local wisdom” yang ditandai dengan symbol “aib dan harga diri keluarga” di atas segalanya itu, kini sepertinya tidak lagi penting. Indicator ukurannya sudah tergantikan dengan status sosial berbasis “materi dan kedudukan”. Fenomena inilah yang membuat banyak orang nekad melakukan korupsi tanpa ada lagi rasa takut dan malu.

Selain itu, melalui gerakan ini diharapkan bisa dijadikan media pembelajaran mengenai potret sejarah kelam kekerasan kolektif masa lalu. Menjadi bekal atau referensi untuk membangun kehidupan masa depan yang lebih toleran, manusiawi, damai, dan aman. Sejarah kelam bangsa yang terkait peristiwa politik perebutan kekuasaan, cenderung berakhir dengan hilangnya puluhan hingga ratusan ribu nyawa korban. Meskipun tidak tertutup kemungkinan, mereka yang menjadi korban bukan pelaku sebenarnya. Sedangkan alasan penyebab sejarah kelam terjadi, bisa karena kondisi hidup yang buruk, penindasan pemerintah terhadap rakyat, konflik agama atau etnis, atau tregedi yang disebabkan karena sebuah pertandingan olahraga.

Kerusuhan social-politik Mei 1998, merupakan contoh potret sejarah kelam bangsa Indonesia yang dipicu karena praktik penindasan pemerintah penguasa terhadap rakyat. Situasi dan kondisinya semakin parah karena dipicu krisis finansial Asia, yang terus bergulir hingga terjadi kasus penembakan dan terbunuhnya empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Dampak ikutannya harus dibayar mahal dengan diturunkannya secara paksa dan konstitusional Presiden Soeharto.

Peristiwa kelam lain yang tidak akan pernah terhapus dalam ingatan sejarah politik bangsa Indonesia adalah kasus Gestapu PKI 1965. Rentetan peristiwa hingga meletusnya Gestapu ini, korelasinya berawal dari pendirian sikap dan keyakinan Soekarno bersikukuh tidak berkenan membubarkan PKI, meskipun saat itu sedang menghadapi berbagai tekanan politik dari seluruh elemen pelajar dan mahasiswa serta lawan-lawan politiknya.

Keberanian, keyakinan dan ketegasan politisnya ini, ditengarai Soekarno sedang menjalankan “politik standar ganda”. Soekarno ingin menunjukkan sikap dan pikiran demokratisnya kepada dunia dengan menghormati HAM di satu sisi, tetapi disisi lain, Soekarno sedang melakukan “uji petik tesis scenario NASAKOM” untuk menyatukan “Tiga Kekuatan Politik: Nasionalis, Agama, Komunis” demi mempertahankan kekuasaannya dengan dalih “Revolusi belum selesai”.

Simpulannya bahwa realisasi praktik demokrasi tanpa ada pendidikan politik dan kapasitas intelektual yang cukup dan seimbang bagi para pelakunya, maka resiko dampak yang terjadi hanya akan melahirkan anarkhisme bagi masyarakat kelas bawah, dan peluang terjadinya abouse of power (penyalahgunaan kekuasaan) bagi elite parpol dan penguasa.

Pada akhirnya, praktik demokrasi cenderung diterapkan tanpa syarat dan rambu-rambu, sehingga dalam implementasinya dipenuhi prilaku public yang saling melemahkan (mengejek, memfitnah, menyebarkan berita hoax, membuka dan mengumbar aib calon pemimpin kompetitor). Padahal praktik demokrasi dalam konteks perebutan kekuasaan itu, tema bahasannya adalah beradu ide dan gagasan besar yang akan diterapkan untuk memperbaiki system dan praktik politik ketatanegaraan dalam membangun negeri.

Tagline “PT Pegadaian (Persero)” yang terkenal dan familiar “Mengatasi Masalah Tanpa Masalah” itu, sekilas nampak sepele bahkan menjadi guyonan bagi khayalak. Rangkaian kalimat itu sejatinya tersembunyi “pesan politis sangat radikal dan provokatif”. Jika direnungi, tagline itu mampu mempengaruhi alam bawah sadar public untuk bertindak secara instan. Tagline ini bisa dijadikan “cermin cara berfikir positif” meski ada resiko yang harus dihadapi.

Pesan politis PT Pegadaian (Persero) itu relative relevan dengan pendeklarasian “Gerakan Melawan Lupa Tanpa Sejarah Kelam Baru” bagi generasi Z (generasi pasca milenial). Semangat gerakan ini untuk menghindari “keterpenjaraan improvisasi karya kontemporer” mereka, agar tidak disesaki dengan “cerita sejarah kelam tanpa ujung”. Bangsa-negara ini butuh kehadiran generasi penerus dengan “pikiran merdeka yang kreatif-radikal” untuk menghadapi tekanan politik dan persaingan ekonomi global negara lain. Mereka harus menjalani dan menikmati kehidupannya, tanpa dipaksa memahami dan menanggung beban sejarah yang memungkinkan dimanipulasi fakta kebenarannya.

Kewaspadaan untuk tetap berfikir kritis-analitik dengan berbagai tindakan memenuhi keinginan lembaga donor maupun lembaga finansial internasional atas bantuan yang diberikan, harus tetap terjaga agar etik dan moralitas sebagai nasionalis sejati tidak tergadaikan. Mengapa ini menjadi penting? Karena pameo “tidak ada makan siang gratis” itu berlaku disetiap masa, tempat, hingga proses negosiasi yang sarat dengan skenario transaksional. Fenomena selama proses ini bisa memicu seseorang/sekelompok orang dalam organisasi tertentu menjadi “Intelektual Pandir”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun